Skip to main content
Nota

Butet 60 Tahun

By December 12, 2021One Comment

Ketika terbit buku Urip Mung Mampir Ngguyu: 60 Tahun Butet Kartaredjasa (Buku Mojok, November 2021) oleh Agus Noor, dkk—begitu tertera di sampul—saya mengakui Agus Noor adalah sutradara yang hebat. Seperti kerjasama dia dengan Butet di panggung, buku ini ramai, meriah, menghibur, bikin mesem-mesem, bikin tertawa, bikin berpikir kontemplatif, dan seterusnya. Asu tenan.

Pada buku untuk merayakan ulang tahun ke-60 Butet tanggal 21 November lalu, mendoakan kesehatannya, serta melihat kiprahnya dalam dunia kesenian, kita tidak hanya melihat Butet sebagai lakon utama tetapi juga sosok para penulis, saya hitung jumlahnya 50. Lima puluh orang tersebut nama-nama terkenal terdiri dari pejabat, seniman, pengusaha, wartawan, aktivis, artis, dan lain-lain. Tidak heran buku menjadi tebal, 514 halaman.

Hanya saja, dibanding buku-buku sekarang yang ditulis oleh orang yang mung mampir nulis, buku ini tidak intimidatif dan melelahkan. Kemasan dan perwajahannya bagus, isinya, bandingkanlah kita seperti nonton pentas Indonesia Kita atau Teater Gandrik di TIM. Kadang berlarat-larat, berpanjang-panjang, tapi kita senang, terhibur tertawa-tawa.

Diawali tulisan Moh. Mahfud MD, Menko Politik, Hukum, dan Keamanan. Sebagai pejabat—sebagaimana umumnya pejabat/penguasa—pernyataan-pernyataan Pak Mahfud biasanya menyebalkan belaka, tapi tidak dalam buku ini, ketika yang bersangkutan bicara sebagai teman.

Pak Mahfud rileks, apa adanya. Dia menceritakan pengalaman ketika sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pada tahun 2011 dibujuk oleh Butet dan Sujiwo Tejo untuk ikut pentas ludruk berjudul Kartolo Mbalelo di TIM.

“Kalau saya ikut main, nanti bisa salah dan alur ceritanya rusak sehingga tidak lucu lagi,” kata Pak Mahfud pada mereka.

Butet menjawab: “Justru yang lucu itu kalau Pak Mahfud salah ngomong dan salah tingkah, kalau tampil serius dan benar maka panggungnya menjadi kaku dan tidak lucu.”

Pengalaman tadi dirasakan olehnya sebagai pengalaman yang menyenangkan, sesuatu yang katanya jarang bisa dia nikmati sebagai dosen maupun pejabat.

Mudah-mudahan Pak Mahfud nanti bahagia ketika tidak lagi jadi pejabat.

Ada pula Ashadi Siregar. Dia penulis idola saya. Novelnya Cintaku di Kampus Biru dulu sempat membuat saya punya cita-cita yang terbukti gagal: ingin jadi play boy.

Melalui buku ini saya baru tahu, bahwa dia menemukan jodoh karena pergaulannya dengan Butet. Dia bertemu Hilda Korda, wanita Kawanua kelahiran Surabaya, tatkala Hilda menjadi pemain gitar kelompok musik humor Butet bernama Rheze.

Ah, ternyata kisah cinta Ashadi lurus-lurus saja, tidak sedramatik novel-novelnya.

Kini pasangan itu telah dianugerahi cucu, saya bahagia mendengar ceritanya.

Goenawan Mohamad selalu mampu mengaitkan pemikiran-pemikiran mendalam atas semua hal, termasuk tentang modus kesenian Butet. Tulisan dia beri judul “Kuasa dan Ketawa”.

Ketawa yang datang dari pementasan Butet bukan disebabkan humor yang mengukuhkan status; ia humor untuk perubahan, begitu antara lain tulisnya. Dia mengutip filosof Inggris Simon Critchley, “… lelucon yang sesungguhnya mesti mengubah keadaan di mana kita berada.”

Lain lagi Sujiwo Tejo. Sama-sama pernah jadi wartawan, sama-sama orang panggung, hemmm sama-sama orang yang mengaku setia pada istri, dalam tulisannya di sini Tejo mengaku dirinya tidak seberuntung Butet. Ia mempertanyakan, Butet dehem-dehem saja dimuat di koran Kompas, sedangkan dirinya jumpalitan bikin karya yang oleh publik dianggap besar tidak dimuat di koran ini.

Begitu pun soal hubungan dengan kalangan perempuan. Menurut Tejo Butet tak dibenci umumnya feminis.

“Aku dibenci… heuheuheu…,” tulisnya memelas.

Sungguh pengetahuan baru, soalnya selama ini setahu saya banyak cewek termehek-mehek jatuh cinta pada Tejo.

Atau aku keliru. Yach, ternyata kita cuma wang sinawang yo Mbah.

Semua orang mengungkapkan diri apa adanya di sini.

Handoyo, General Manager Brand Communication PT Djarum, mengenang pertemuan pertamanya dengan Butet bertahun-tahun lalu. Butet datang ke kantornya dengan stopmap Sriti, proposal untuk pameran lukisan ayahnya, Bagong Kussudiardja.

Melalui buku ini saya jadi tahu bahwa dulu ayah Handoyo di Kudus adalah pemilik tobong ketoprak—pertunjukan rakyat yang digemari di Jateng dan Jatim. Pernah Handoyo bertutur pada saya, semasa kecil sering ikut jaga loket.

“Kalau pas hujan, penonton sedikit. Jadi sedih,” saya ingat ia bertutur demikian, membikin saya terharu.

Epilog ditulis oleh Puthut EA, kepala suku Mojok.co. Selain menceritakan Butet pada era perlawanan terhadap orde baru paruh kedua tahun 1990an, ia menceritakan dirinya—yang seperti para aktivis lain—diburu militer. Puthut tidak punya tempat kost, berpindah-pindah tempat, tidak tahu esok hari bakal masih hidup atau sudah mati.

Orde baru pancen asuuuuuu.

Saya tidak akan menceritakan semua penulis di sini. Silakan beli dan baca sendiri.

Sekarang banyak penerbit independen menerbitkan buku-buku bagus. Ada penerbit Mojok, Marjin Kiri, Komunitas Bambu, Pojok Cerpen & Tanda Baca, dan lain-lain. Mendukung mereka selain mendukung literasi berarti juga mendukung independensi.

Hanya saja saya tetap merasa perlu mengulas apa yang diceritakan oleh Hersri Setiawan, dituliskan oleh Ita Fatia Nadia.

Hersri mengungkap hal penting dalam sejarah gelap Indonesia tahun 1965. Hersri adalah petinggi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), lawan BKS BuMil (Badan Kerja Sama Budayawan dan Militer) di mana ayahanda Butet, Bagong Kussudiardja aktif di dalamnya.

Tahun 1980, setahun setelah dibebaskan dari penjara termasuk pengasingan di Pulau Buru, Hersri bertemu Bagong di Yogya.

Dalam pertemuan itu secara pribadi Bagong menjelaskan dirinya pada Hersri, bahwa kepercayaan militer pada masa itu ia gunakan untuk menyelamatkan teman-teman seniman, termasuk pelukis besar Affandi.

“Aku sudah berusaha menyelamatkan kawan-kawan,” kata Bagong kepada Hersri.

Narasi-narasi kecil seperti ini, bukankah berguna untuk menggempur grand narrative sejarah yang selama ini dimanipulasi penguasa?

Oh ya, saya juga menulis di buku ini.

Ibarat pentas kolosal dengan nama-nama besar, saya diikutkan main, meski cuma seperti buto pewayangan, muncul sekelebat koprol dan menggelundung di panggung, tak lebih dari itu.

Itu pun saya sudah senang banget, tidak mungkin terjadi kalau saya tidak kenal Butet dan Agus Noor.***

12/12/2021

Join the discussion One Comment

Leave a Reply