Skip to main content
Nota

Kisah dari Palmerah

By November 3, 2025No Comments

HARI Minggu (2/11) lalu, seperti biasa menikmati kopi dan membuka-buka lembaran koran pagi, suatu judul tulisan membuat saya ingat telah melewatkan janji dengan seorang teman. Judul tulisan yang saya maksud adalah “Menyimak Kisah dari Palmerah”, laporan mengenai pembukaan pameran keluarga Kompas-Gramedia yang berlangsung empat hari sebelumnya, Rabu, 29 Oktober 2025, di Bentara Budaya, Jl Palmerah Selatan.

Hari itu saya membuat janji dengan teman untuk sama-sama datang. Petang usai pembukaan pameran kami berencana ke pub lawas di Jakarta Pusat.

Tahun ini pub tersebut berumur 50 tahun.

Di penghujung bulan Oktober kami ingin ikut merayakan October Fest.

Manusia berencana, cuaca menentukan.

Kondisi jalanan Jakarta sangat amburadul pada cuaca seperti itu.

Macet, banjir, pohon-pohon tumbang.

Derita kota yang tumbuh tanpa perencanaan.

Nyali kami mengkeret.

Kami urung ke Palmerah dilanjutkan ngebir merayakan October Fest.

Jadilah saya cuma bisa termangu-mangu mengenang Palmerah seperti judul tulisan tadi, ketika tiba-tiba handphone saya berdering.

Dari teman yang gagal sama-sama datang ke pembukaan pameran.

“Sayang ya, kita tidak datang,” katanya.

“Tidak apa,” kata saya padanya. “Kisah dari Palmerah bukan hanya ada pada seni rupa, tapi pada memori kita,” lanjut saya.

“Oh, bener juga,” tukasnya.

Saya bungah, merasa bisa menghibur  teman.

“Kisah dari Palmerah yang tak kalah menarik adalah cerita cinta, baik yang terbuka maupun undercover,” saya bicara lebih lanjut.

“Betul, betul, hua-ha-ha,” dia tertawa girang.

Saya makin bersemangat.

“Coba masing-masing orang berefleksi, berapa jumlah pacar di Palmerah kala itu. Ada yang berakhir happy end seperti kaidah film agar disukai penonton. Ada yang menyisakan patah hati serupa dongeng kasih tak sampai. Ada pula yang meninggalkan sangat banyak file, meskipun puluhan tahun kemudian file-file tersebut tidak akan pernah dibiarkan jadi file terbuka yang bisa diakses semua orang karena saking memalukannya.”

Teman tadi tambah terbahak-bahak.

Saya bayangkan dia mendengar ocehan saya sembari koprol berguling-guling di lantai.

Uraian saya tadi berdasar fenomena, bahwa di masa depan office crush tidak akan pernah ada lagi.

Dikarenakan perkembangan teknologi, orang tidak memerlukan kantor, bisa bekerja dari mana saja.

Kantor akan jadi fenomena masa lalu.

“Mbok kamu bikin tim untuk menelusuri file-file lama seperti itu,” teman tadi mengusulkan.

“Terus diusulkan untuk dibikinkan acara serupa, dengan penerbitan buku Palmerah Uncensored, disertai diskusi dengan pembicara para pelaku, napak tilas artefak Palmerah, dan lain-lain. Dulu di Palmerah ada salon, bioskop, warung pojok, dan lain-lain,” saya membalas usulnya.

Selintas teringat lagu Warung Pojok dari kelompok tarling Cirebon.

“Jenius,” ia menukas. ”Nanti akan saya usulkan kepada para pemangku di Palmerah,” tambahnya.

“Baiklah. Saya pamit, akan membawa Mundo jalan-jalan,” kata saya mengakhiri percakapan yang saya tahu kurang bermutu tapi menggembirakan.

Saya pasang rantai di leher Mundo.

Kami jalan-jalan.

Cuaca di kampung kami sangat cerah.

Palmerah adalah tempat terindah kala itu.***

 

3/11/2025

 

 

 

Leave a Reply

(enter the number only)