Sangat tersentuh saya melihat video yang diunggah oleh Young Buddhist Association, menggambarkan para biksu yang tengah melakukan ritual jalan kaki dari Thailand menuju Candi Borobudur, Indonesia. Mereka akan ikut merayakan Waisak di Borobudur bulan Juni mendatang. Mudah-mudahan bisa ketemu.
Media massa, termasuk media online, cukup ramai memberitakannya. Berita semacam ini jauh lebih berguna daripada mereka memberitakan gaya hidup orang kaya dengan sikap gumun, mengira aspirasi semua manusia semata-mata pengin jadi kaya belaka.
Melihat exposure orang hidup mewah di media sosial bagi saya sangat tidak menarik, sama tidak menariknya dengan melihat mereka yang pamer foto di sawah-sawah.
Intinya sama: dua-duanya tercerabut dari kewajaran hidup.
Para biksu itu seperti saya ketahui dari berbagai pemberitaan memulai perjalanan tanggal 23 Maret lalu, dari Nakhon, wilayah di bagian timur Thailand, kira-kira 70 kilometer dari Bangkok. Saya pernah ke situ naik bis dari Eastern Terminal di daerah Ekkamai Bangkok.
Saya tidak memiliki pengetahuan mencukupi mengenai ritual yang disebut thudong seperti itu. Yang senantiasa mengusik saya dari Buddhisme adalah doktrinnya yang bersifat “melepaskan dari keterikatan”.
Guru silat saya, Gunawan Rahardja, adalah seorang Buddhis.
Puluhan tahun belajar darinya saya selalu merasa kian bodoh, karena setiap pencapaian kemudian akan dia minta untuk dilupakan, dilepaskan.
“Kalau begitu saya bisanya kapan Guru?” tanya saya padanya agak frustrasi.
Dia tersenyum.
“Nanti, 50 tahun lagi.” Jawabnya.
Mengingat umur, saya artikan sampai akhir hayat saya tidak akan pernah bisa silat.
Yach, tidak apa. Itung-itung tetap senang memiliki kegiatan daripada nganggur.
“Jangan percaya pada hasil, percaya pada disiplin,” ucapnya.
Mengenakan jubah kecoklatan, beberapa tanpa alas kaki, melalui unggahan video tadi saya lihat para biksu berjalan dalam panas dan hujan.
Dari Thailand mereka menuju Malaysia, dilanjutkan Singapura.
Lalu dari Singapura naik kapal menuju Batam.
Beberapa hari lalu diberitakan mereka jalan sampai Bekasi setelah diterbangkan dengan pesawat dari Batam ke Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Rute selanjutnya tentunya Karawang-Cikampek-Cirebon-Brebes-Pemalang-Tegal, dan seterusnya.
Sesampai di Hutan Roban saya tidak tahu apakah mereka akan belok kanan melalui daerah Bawang sampai Temanggung sebelum turun ke Magelang, ataukah lewat Semarang, Bawen, Secang, lalu Magelang.
Semoga semua lancar.
Mereka tidak membawa bekal apa-apa. Makanan didapat dari mereka yang memberi sepanjang perjalanan.
Begitulah kehidupan para biksu.
Dulu saat mengunjungi Luang Prabang, Laos, setiap pagi hari pukul 05.00 saya selalu mengikuti kegiatan yang disebut “Morning Alms”, bersiap di pinggir jalan yang masih sepi sambil membawa makanan untuk diberikan kepada para biksu (monk) yang keluar pagi hari.
Di antara beberapa orang yang bersila di tepi jalan untuk memberi bekal pada biksu juga selalu ada kaum tidak berpunya ikut menanti di pinggir jalan.
Para biksu ini kadang membagi yang mereka dapat pada kaum dhuafa tersebut.
Pengalaman berbagi yang sangat menyentuh.
Soal ketangguhan mereka jalan kaki, tak ada orang meragukannya.
Pernah saya naik ke kuil suci The Tiger’s Nest di Bhutan, negeri di lereng Himalaya. Terletak di tebing tinggi dan terjal, bagi yang tak terbiasa bebannya bukan hanya mendaki lereng pegunungan tapi juga oksigen yang sangat tipis di ketinggian Himalaya.
Jangankan jalan, bernapas pun sangat berat.
Pada jalur itu bisa didapati bangku-bangku untuk istirahat, donasi dari keluarga yang saudaranya meninggal sangat mendaki.
Sambil terengah-engah waktu itu saya terperanjat melihat beberapa biksu berjalan naik menuju kuil, melangkah ringan bak kijang.
Seperti berlari, dalam sekejap mereka hilang dari pandangan.
Betulkah pandangan saya?
Saya mencoba mencerna ajaran Guru, jangan-jangan inilah yang disebut spirit dalam Sam Po Kun atau Permainan Tiga Mutiara yang ia ajarkan pada saya.
Menghilangkan gejala kebendaan, wadag, tubuh.
Atau setidaknya menyadari.
Peraih anugerah nobel, Hermann Hesse, dengan mencekam menceritakan perjalanan Siddhartha dalam novel dengan judul sama.
Siddhartha muda meninggalkan segala kemewahan istana dan keluarga, memilih hidup yang selain bersifat kontemplatif juga menanggung banyak keresahan.
Dia memilih mengarungi penderitaan, samsara, penolakan, kedamaian, sebelum akhirnya menemukan wisdom.
Sampai mana para biksu tersebut saat ini, tatkala saya menulis catatan ini?
Mohon info, mudah-mudahan masih banyak yang peduli pada jalan sunyi.***
15/5/2023
pkl 13.50 WIB