Skip to main content
Nota

Entitas Roh Bustomi

By October 23, 2023No Comments

PAGI tadi saya menerima pesan mengejutkan dari teman baik saya, Myrna: Turut berduka mas Bre atas kepergian mas Bustomi. Saya termangu-mangu. Bingung, kehilangan akal, tidak tahu apa yang tengah saya pikirkan dan apa yang  harus saya perbuat.

Yang paling besar mungkin penyesalan—termasuk begitu terlambat membuka pesan Myrna yang disampaikan via WhatsApp. Pagi saya terbiasa tidak selalu berurusan dengan handphone.

Bustomi adalah sahabat saya, atau tepatnya saya salah satu dari orang yang dekat dengannya di antara banyak temannya dari pergaulan dia yang saya tahu sangat luas.

Sekaligus saya tahu, seperti saya, di antara teman-teman yang dekat dengannya, saya ragu seberapa banyak mereka tahu tentang Bustomi: keluarganya, kehidupan sehari-harinya, tempat tinggalnya (paling hanya tahu di daerah Ciganjur).

Bustomi selalu muncul, selalu ada di antara kami, tapi kami tidak banyak tahu tentang dirinya.

Foto2: Wiediantoro

GM Sudarta yang semasa hidup akrab dengan Bustomi dulu diam-diam menjulukinya dengan judul lagu The Beatles: Nowhere Man.

Nowhere Man datang,” bisik GM yang meja kerjanya di Redaksi Kompas dekat dengan meja kerja saya.

Bustomi adalah karyawan percetakan Gramedia. Di antara karyawan bagian lain, dia sedikit orang  yang sering bertandang ke Redaksi Kompas. Amat jarang karyawan bagian lain menginjak Redaksi (pernah saya berpikir, jangan-jangan banyak yang menganggap Redaksi adalah “tahta suci” di Palmerah).

Bustomi sangat santai. Ia kenal hampir dengan semua wartawan terutama di Desk Kebudayaan.

Efix Mulyadi kadang memetik gitar menyanyikan Nowhere Man, dan tentu itu ia asosiasikan pada Bustomi.

Dalam kehadirannya yang tidak kentara Bustomi adalah orang yang entengan selalu membantu siapa saja.

GM Sudarta yang selain kartunis terhebat di Indonesia yang tak tergantikan sampai saat ini dan mungkin sampai kiamat nanti yang juga pelukis, untuk urusan katalog pameran dan cetak-mencetak mempercayakan pada Bustomi.

Bukan hanya soal cetak-mencetak, urusan lay out, dan lain-lain yang menjadi keahliannya, ia membantu teman-teman untuk urusan apa saja: pindah rumah, cari barang-barang antik, menemani kesana kemari, dan lain-lain.

Orang yang memberi tanpa meminta.

Khusus dalam hubungan dengan saya, dulu ia sering menemani saya pada perjalanan ke luar kota.

Kemana saja tak mungkin saya rinci satu persatu.

Satu dua yang saya ingat dia  ikut saya ke Salatiga (ketika ibu saya almarhum masih di Salatiga), ikut ke Klaten (ketika ibu saya kemudian pindah ke Klaten), ke Cimahi ketika adik saya nikah dapat wanita Cimahi, dan lain-lain.

Ia pula “provokator” yang membuat saya menerbitkan buku kumpulan cerpen pertama saya Urban Sensation! pada awal tahun 1990an.

Belakangan ia menangani penerbitan terbatas tulisan dari blog saya, berjudul Menulislah Seumur Hidup: Biru Cinta Masa Pandemi.

Dia “melangkahi” saya, beli rumah di Salatiga, bertetangga dengan kartunis yang tak kalah kondang, Pramono.

Sebagai “Nowhere Man” (sitting in his nowhere land, making all his nowhere plans for nobody) saya makin tidak tahu tahu angin yang membawa dia kecuali dia tiba-tiba muncul di kediaman saya entah di Ciawi atau Bintaro.

Dia mengaku kadang di Ciganjur, kadang di Salatiga, kadang di Purwokerto.

Purwokerto adalah kota isterinya. Mengenai isteri dan pernikahannya tidak banyak teman yang tahu. Mungkin tak ada teman ia undang waktu nikah.

Ketika belakangan makin jarang saya bertemu dengannya kecuali entah bagaimana kalau saya batin tiba-tiba dia mengirim pesan, saya berpikir jangan-jangan entitas Bustomi adalah roh.

Sejak lama pula saya membatin bahwa dia memang roh, hermit atau danyang Bentara Budaya.

Dalam penghayatan kami di Palmerah pada masa itu tentang kebudayaan, spirit melebihi formalitas institusi.

Direktur Bentara Budaya silih berganti, GM Sudarta, JB Kristanto, Efix Mulyadi, dan seterusnya.

Di balik semua itu ada “penggembira” yang selalu ada di Bentara Budaya, gedung dan lembaga ini seperti rumah batin mereka, selalu ada di situ meski tak tercatat sebagai staf Bentara atau apa pun.

Bustomi, Wiediantoro, Hermanu, Hari Budiono, dan masih beberapa nama lagi adalah para pelopor yang menjadikan lembaga ini hidup, punya gairah, karena digerakkan “roh”.

Lembaga kebudayaan tanpa roh tak lebih gudang handuk.

Beberapa hari ini saya berpikir mengenai dia, ingin mengajak ketemu di Bentara hari Jumat nanti.

Belum sempat saya mengontaknya, yang datang kabar yang membuat saya linglung.

Setelah shock oleh berita yang disampaikan Myrna reda, saya mengontak beberapa teman.

Wiediantoro belum tahu kelanjutan kabar.

Pelukis Erica dari Yogya menunjukkan screenshot percakapan dengan Bustomi kemarin.

Gunawan Wibisono, fotografer yang dulu banyak memotret artis-artis cantik dan sexy  belum tahu perkembangan berita.

Tiba-tiba terpikir Darmawan, pemilik Kedai Tjikini.

Mudah-mudahan dia tetap sumber berita terpercaya melebih kantor berita mana saja.

Saya telepon dia.

“Saya sedang di rumah Bustomi,” jawabnya.

Ia cerita begitu dengar kabar langsung cari ojek menuju ke Ciganjur.

Menurut dia yang tengah menunggui jenasah dimandikan, jenasah akan segera dibawa ke Purwokerto.

Kembali saya termangu-mangu.

Tidak mungkin saya mengejar sampai Ciganjur.

Bustomi, dia yang memprovokasi penerbitan buku saya.

Dia dengan inisiatif sendiri mengumpulkan tulisan-tulisan saya di koran, menjadikan buku, dan memberikan kepada saya sebagai kejutan hadiah (terima kasih Bus, isteri saya Vivi jadi tahu tulisan-tulisan lama saya dan jadi kagum pada Min Kebo ini).

Mungkin pergaulan saya denganmu ditakdirkan pada tataran roh.

Wadag sifatnya fana, roh abadi.

Itulah kamu dengan saya, kamu dengan teman-teman lain yang luar biasa banyaknya.***

23/10/2023

Leave a Reply