No pain, no gain.
MEMBACA buku Autobiografi Erros Djarot, yang terungkap pada bab demi bab dari buku setebal 669 halaman itu adalah jejak pertaruhan seorang petaruh: dalam soal asmara, studi, karier, politik, dan lain-lain. Pendeknya, hidup adalah pertaruhan.
Seperti saya kutip di pembuka tulisan: no pain, no gain.

Bayangkan. Untuk merebut hati pujaannya, Dewi Trijati Surianegara—kini kami teman-teman Mas Erros memanggilnya Mbak Dewi—yang ketika itu bersikap cuek bahkan ketus terhadapnya, Erros menyiapkan diri untuk menaklukkan bukan saja Dewi, tapi juga orangtuanya sekalian.
Kala itu, paruh pertama tahun 1970an, Dewi tengah kuliah di jurusan ilmu sosial politik dari universitas bergengsi, Sciences Po, Paris. Ayah dia, Ilen Surianegara, wakil duta bedar RI, berkedudukan di Bonn, Jerman.
Erros pada masa itu tinggal di Koln, Jerman. Ia mengerjakan sejumlah hal secara serabutan: kerja, kuliah, ngeband.
Seperti hendak menaklukkan Napoleon di Waterloo, dia pelajari kebiasaan dan kegemaran Ilen Surianegara (gemar main catur, juara se KBRI), maupun isterinya, panggilannya Tante Tating, hobi masak.
Tambahan info dari staf lokal KBRI, Dewi tengah liburan di Bonn.
Berangkatlah Erros naik kereta ke Hangelar, Bonn, tempat tinggal keluarga tersebut.
Masuk rumah, yang membukakan pintu Tante Tating. Erros langsung memuji-muji aroma masakan yang sedap.
Ketika kemudian Ilen muncul, usai basa-basi Erros menyatakan ingin belajar catur dari Ilen.
Kaget sang wakil dubes. Ada anak muda, gondrong, tiba-tiba menantang catur.
Erros mengeluarkan strategi, mengacaukan konsentrasi lawan dengan terus-menerus mengajak ngobrol tentang Bung Karno, yang membuat Ilen terbenam dalam nostalgia.
Dewi, yang sempat muncul untuk menghidangkan teh hangat, sebenarnya sempat memperingatkan ayahnya: hati-hati, di balik rambut gondrong anak band otaknya menyimpan banyak trik.
Benar saja, setelah permainan berlangsung sekitar 30 menit, Erros menggerakkan bidak kuda sambil berseru: “skak mat”.
Ilen terbangun dari nostalgia, seperti tak percaya.
Ia dipecundangi tamunya yang pada kesudahannya berhasil menaklukkan hati putri sulungnya.

Fryda pada peluncuran buku Erros.
BEGITULAH Erros bertutur melalui bukunya. Musim berganti. Asmara mekar antara dia dan Dewi.
Saat melamar dan kemudian menikah, ayahanda Dewi telah pindah tugas, menjadi Dubes RI untuk Tunisia, berkedudukan di Tunis.
Masa itu Erros tengah kuliah film di London.
Sebagai anak muda dengan keuangan belum mapan, ia menyampaikan pesan melalui sastrawan Ramadhan KH, panggilannya Mang Atun, agar Mang Ali Sadikin (kala itu Gubernur DKI Jakarta), kalau hendak kasih hadiah pernikahan jangan yang lain-lain, uang cash saja.
“Alhamdulilah,” demikian ucap Erros. Dari Ali Sadikin ia mendapatkan uang yang ia lukiskan untuk bolak-balik London-Paris-Tunis bisa dilakukan lebih dari 10 kali.
Dengan uang itu ia bisa mengambil cincin nikah untuk Dewi dan dirinya yang ia pesan dari toko perhiasan di Piccadily Circus, London.
Begitu pun kariernya di film. Celetukan sembarangan tatkala Teguh Karya tengah menyelesaikan film Kawin Lari yang dibintangi Slamet Rahardjo dan Christine Hakim (Erros berada di ruang pemutaran rush copy film untuk menemui kakaknya, Slamet Rahardjo), membuat sutradara yang sangat disegani itu gusar.
“Maaf Oom Steve,” Erros berkata kepada Teguh, menyadari kelancangannya.
“Enggak usah minta maaf. Buktiin kamu ngerti film. Kamu bikin musik untuk film ini. Jangan cuma bisa ngomong doang,” sergah Teguh Karya, yang oleh lingkungan dekat dipanggil Steve.
Tanpa pernah punya pengalaman menggarap musik film, mau tak mau Erros melayani tantangan Teguh Karya.
Hasilnya, pada Festival Film Indonesia tahun 1976 film ini menyabet Piala Citra untuk Tata Musik Terbaik.
Dalam dunia musik ini pertaruhan tak kalah besar terjadi tatkala ia menggarap soundtrack film Badai Pasti Berlalu.
Sangat keras perjuangan dia untuk menggoalkan musik yang oleh Teguh Karya dianggap “aneh”.
Pada kesudahannya, dunia musik pop Indonesia mencatat, Badai Pasti Berlalu adalah salah satu album terbaik abad ke-20.
PELUNCURAN buku dilangsungkan di Jakarta, tanggal 19 Oktober lalu. Buku autobiografi dilengkapi buku lain yang tak kalah tebal, berjudul Erros Djarot, Apa Kata Sahabat.
Acara dihadiri banyak sekali teman Erros, semua orang penting. Minder datang sendirian, saya nebeng politikus PDI Perjuangan Prof Hendrawan Supratikno.

Dari kanan: Hendrawan Supratikno, Bambang Wuryanto, Ario Bimo, Banyu Biru, Once, pada peluncuran buku Erros.
Keluasan pergaulan Erros sejatinya tampak dari dia muda seperti tercermin dalam autobiografinya.
Selama di Eropa, selain bergaul dengan “orang-orang resmi” kedutaan ia bergaul dengan orang-orang yang dipinggirkan di zaman orde bau kala itu, orang-orang buangan, para eksil baik di Inggris maupun di Perancis.
Sekadar mengingatkan situasi zaman itu, orang-orang Indonesia di luar negeri umumnya takut bergaul dengan orang-orang yang dicap kiri. Bahkan berpapasan di jalan pun sebaiknya dihindari.

Roy Marten di antara para tamu.
Dalam kiprah politiknya di PDI maupun ketika partai ini bertransformasi menjadi PDI Perjuangan, Erros mengambil peran “ngumpulke balung pisah” (mengumpulkan tulang-tulang yang terpisah-pisah).
Seperti diketahui banyak orang, Erros punya peran tidak kecil mengantar Megawati menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan, kemudian menjadi presiden ke-5 RI.
Baik dalam dunia seni maupun politik, Erros Djarot, selain petaruh adalah “networker balung pisah”.
Buku akan berlanjut pada buku kedua yang tampaknya akan lebih banyak berfokus pada masalah politik. Tjung Yie Sim mungkin bakal tak muncul lagi.
Sebagai “networker balung pisah” dan petaruh, melihat kondisi bangsa ini mungkinkah ia tergerak membikin taruhan besar?
Bukan untuk isteri, anak-anak, cucu, ataupun lingkaran teman dekat melainkan untuk bangsa.
Erros for president!
Bagaimana Mas?***
25/10/2025


