“YANG tidak penyair, tidak perlu ambil bagian,” demikian pernyataan Chairil Anwar yang sangat sering dikutip orang terutama kalangan sastra. Saya tidak tahu dalam konteks apa penyair besar tersebut mengucapkan kata-kata tadi, tapi saya punya pendapat pribadi: semua orang harus ambil bagian dalam dunia sastra.
Para ibu rumah tangga, pelawak, dokter, calo tanah, bankir, masinis, pegawai negeri dan lain-lain terlebih politisi dan pejabat harus ambil bagian dalam sastra entah membeli buku, membaca, mendiskusikannya, menulis, bikin perpustakaan, pokoknya apa saja jangan sampai jadi penguasa tidak baca buku mainannya mobil-mobilan Tamiya.
Tanpa literasi kognisi manusia tidak berkembang, sivilisasi mandek, kebudayaan bangkrut, manusia jadi makhluk kurang akal, kalau dibiarkan bakal terus merosot jadi tanpa akal, artinya jadi primata seperti ratusan ribu tahun lalu ketika manusia belum menemukan bahasa.
Aspek kognisi manusia dari bagian neocortex—yang menjadikan Homo sapiens menjadi human beings (hanya manusia punya proses “being”, tidak ada dog being, monkey being, dan lain-lain)—inilah yang kini tergerus oleh digitalisme.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk analog. Oleh perkembangan teknologi digital ia diubah jadi makhluk digital.
Memang segalanya jadi serba praktis, mudah, enak, produktif, karena produktif semua bisa lekas kaya, lekas pintar, lekas mashur, tapi itu semua tidak mengubah konstatasi saya, bahwa digitalisme menggerus kemanusiaan.
Diperantarai gawai, individu berhadapan dengan individu lain bukan sebagai dirinya, melainkan sebagai representasi. Dalam domain representasi, individu menjadi siapa saja kecuali diri dia yang sebenarnya.
Bukan lagi aku ada karena engkau; engkau ada karena aku (no niro no ningsung, no ningsun no niro) tetapi aku palsu di hadapanmu; engkau palsu di hadapanku.
Dalam kepalsuan itulah perlahan-lahan kemanusiaan bangkrut.
DENGAN kesadaran kurang lebih seperti di atas saya membentuk Tarekat Surat.
Mengapa surat? Surat, saya artikan sebagai dunia tulis-menulis, sastra, literatur, bagian dari cara manusia untuk berkomunikasi, berekspresi, berimajinasi, dan mengembangkan kognisi.
Bersama teman baik saya Dr Kurnia Setiawan, dekan dan pengajar sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, kami menyelenggarakan workshop menulis. Pertama kali di Yogya, di Akademi Bahagia, disusul sekitar tiga bulan lalu di Jakarta di Dia.lo.gue yang berada di kawasan hip, Kemang.
Pada kegiatan yang terakhir itu, para peserta menghasilkan tulisan berupa cerita pendek, esai, puisi, semacam catatan harian dan sebagainya, suka-suka mereka karena bagi saya otak atau pikiran perlu senantiasa diaktifkan dengan kata, dengan bahasa.
Pada mulanya adalah kata, demikian bunyi sebuah ayat.
Kegiatan menulis dalam pandangan saya bukan soal bikin tulisan yang harus bagus, jadi best seller, menghasilkan banyak duit, menjadikan penulis bak dewa, melainkan yang utama adalah suatu gladi pikiran untuk memelihara kepribadian.
Sama seperti olah badan, juga untuk memelihara kepribadian, mempertahankan kejujuran. Sebab tak ada yang lebih jujur dari tubuh: lapar butuh makan, capai butuh istirahat, ngantuk butuh tidur.
Mengolah pikiran sama dengan mengolah tubuh: untuk mempertahankan kejujuran.
TULISAN para peserta workshop menjadi buku, semacam antologi dengan judul Tarekat Surat. Buku diluncurkan Minggu (24/11/2024) petang kemarin saat Jakarta dan sekitarnya diguyur hujan sangat deras.
Sungguh dibutuhkan usaha luar biasa bagi mereka untuk datang ke acara ini dalam keadaan cuaca seperti itu.
Apalagi kalau mengingat bahwa pada era ini siapa sih manusia sudi bersusah payah sesrawungan, kalau semua bisa dilakukan dengan goleran sambil pegang handphone.
Tapi lagi-lagi, kenyataannya kreativitas terjaga dan berkembang kalau manusia punya kesempatan berinteraksi satu sama lain secara langsung.
Richard Florida yang banyak melakukan studi tentang urbanisme menengarai, kota-kota kreatif di dunia adalah kota-kota di mana manusia bisa bertemu pihak yang dituju dengan jalan kaki paling lama 40 menit.
Ia mencontohkan banyak kota kreatif di dunia antara lain New York. Seorang model atau disainer misalnya, ingin ketemu agennya cukup jalan kaki, 30 menit sampai tujuan.
Jelas itu cuma ilusi untuk Jakarta, kota yang tumbuh tanpa perencanaan.
Begitu hujan, banjir di mana-mana.
Beberapa teman urung hadir karena terjebak banjir.
Butuh militansi untuk ketemu antar manusia di Jakarta yang tidak seperti New York.
Maman S Mahayana, pengajar sastra, kritikus, menuju tempat acara langsung dari bandara setelah penerbangan dari Jambi.
Berbagai macam cerita teman-teman yang hadir tentang perjalanan menuju tempat ini seperti pelawak Tarzan, politikus Hendrawan Supratikno, wartawan dan penyair Benny Benke, penjaga marwah Bentara Budaya Jakarta dulu Wiediantoro, desainer Jeffry Tan, rektor UMN Ninok Leksono dan isterinya yang gapyak Mbak Rini, dan masih banyak lagi.
Tidak ada yang dilarang untuk ambil bagian.
Sebaliknya, semua harus ambil bagian.
Ada teman-teman wartawan Kompas Hilmi Faiq, Dahono, Sarie, yang setelah itu lanjut ngobrol di Kemang yang banyak tempat nongkrong.
Mereka sedikit dari wartawan sekarang yang sepaham dengan saya bahwa pekerjaan wartawan sebenarnya adalah nongkrong dan ngobrol-ngobrol.
Itulah hakekat seni: srawung.
Surat tak beda jauh dari silat, untuk meluaskan sesrawungan.
Dalam silat tubuh mengalirkan gerak, dalam surat bahasa mengalirkan pikiran.***
25/11/2024