Omicron masuk Indonesia. Mudah diduga, hanya soal waktu varian baru yang konon lebih menular dibanding delta tersebut masuk ke sini. Krisis masyarakat dunia bakal jadi perkara yang tak akan ada habis-habisnya.
Melalui pandemi terlihat adanya kekuatan besar yang ingin menjadi pemborong tunggal untuk segala hal.
Untuk mengatasi covid—dan entah apa lagi nanti—kali ini hanya industri farmasi modern yang merasa diri siap. Entah pantas disyukuri atau dicurigai, setiap varian baru muncul, kecemasan merebak, segera tersedia vaksin penangkal.
Seperti rumus iklan untuk jualan produk, manusia dirongrong agar terus-menerus merasa kurang dan hidup dalam kecemasan.
Sejak lama industri obat-obatan hidup dengan mekanisme itu.
Usaha memahami kondisi manusia secara holistik—termasuk penyembuhan diri secara holistik—melulu jadi arus pinggiran.
New Age, sipiritualisme baru generasi baby boomer, surut seiring Led Zeppelin, Deep Purple, Rolling Stones yang makin tua dan tak lagi manggung.
Gantinya generasi digital tanpa spiritualitas.
Industri digital sekarang sama cekatannya dengan industri farmasi obat-obatan.
Untuk kelumpuhan demi kelumpuhan sosial manusia segera tercipta aplikasi baru, platform baru, intinya membawa manusia kian tergantung pada gadget—teknologi gaya hidup yang memperbarui diri setiap musim sepeti fashion.
Sejumlah pihak tambah makmur karena pandemi, dan memberi nasihat melalui penguatan motivasi, bagaimana jadi kaya secara mendadak.
Di mana lagi ketergantungan manusia pada alam berikut ritus tradisi dan kebudayaan?
Rejim penyembah modal sebisa-bisanya memutus hubungan manusia dengan alam. Ini dengan sendirinya memutus hubungan manusia dengan kebudayaan.
Mereka tidak paham sumber daya kultural. Tahunya menguras sumber daya mineral.
Mereka mengobrak-abrik rimba gunung sungai laut dan seisinya.
Manusia, seperti ucapan Rousseau yang terkenal, memang lahir bebas tapi terantai di mana-mana. Nyatanya kita memang tidak memiliki banyak pilihan. Itu sebabnya dia menganjurkan revolusi melalui pemikiran sentral Le Romanticism c’est la Revolution.
Ketiadaan pilihan terlihat bagaimana siklus alam dijawab dengan prosedur industrial.
Kelumpuhan sosial dijawab dengan versi anyar piranti digital.
Kebudayaan dan daya hidup dilengserkan oleh pihak yang teriak-teriak mengenai revolusi 4.0. Padahal pamrihnya ya cuma modal.
Penguasa pada era ini tidak butuh resi, brahmana, pujangga, cerdik-pandai.
Yang mereka butuhkan bukan filosof bersepatu sandal melainkan selegram yang setiap kali mengunggah foto cantik, buzzer, influencer, youtuber dan sejenisnya.
Ada yang melakukan secara sadar ada yang tidak sadar, mereka menyebarkan disinformasi, propaganda, agitasi, dan lain-lain untuk kepentingan modal dan kekuasaan.
Negara jadi panggung sirkus.
Setelah menguasai yang serba fisik, dunia simbolik juga hendak mereka kuasai.
Dunia simbolik hubungannya dengan cara manusia bernalar.
Media digital yang sebagai teknologi memang sejatinya mengubah sistem neuron kita, efektif untuk menjungkir-balikkan mekanisme bernalar. Sebagian besar media online tak keruan isinya.
Learned helplessness, didera perasaan tak berdaya sehari-hari, orang berangsur-angsur menjadi kurang peduli.
Tidak ada yang peduli pada pergeseran semantik.
Dulu hal yang dikategorikan positif dianggap baik.
Kini sebaliknya. Kalau melalui tes seseorang positif artinya dia tidak sehat, berbahaya bagi kelangsungan hidup sendiri dan orang banyak.
Istilah positif adalah liabilitas, dan percayalah, ini akan segera berlaku pada semua hal.
Positif dianggap jelek, negatif dianggap baik.
Energi positif kehidupan diganti energi negatif.
Merebaknya energi negatif telah kita rasakan dan menguasai hidup kita sehari-hari sekarang.
Layar digital isinya energi negatif: perkosaan, korupsi, adigang-adigungnya kekuasaan, vonis hukum yang mencederai rasa keadilan banyak orang, dan lain-lain yang kita konsumsi sedari bangun tidur sampai tidur selamanya ketika saatnya tiba nanti.
Kita sama-sama melihat penguasa berbohong seperti bernapas.
Tendensi negatif dipertontonkan secara banal. Tanpa beban.
Dunia digital menyemburkan apa yang disebut energetic madness.
Kehidupan macam apa yang hendak kita bangun dengan energi semacam itu.
Dunia yang lara tak cukup bisa diobati secara fisik.
Manusia adalah kesatuan dari pikiran (mind), badan (body), daya (spirit).
Brigade yang menghancurkan kebudayaan sehari-hari menyebarkan energi negatif berupa kebohongan, tingkah laku tak layak untuk mendapatkan perhatian publik, serta kegilaan-kegilaan yang tak terjangkau pikiran orang waras.
Mereka tak bisa diobati, tidak bisa diselamatkan.
Yang bisa kita selamatkan adalah diri sendiri, dengan memelihara kesadaran, menjaga kewarasan, setia pada kejujuran.
Kita harus kembali,
Return.
Kembali pada jalan kebudayaan.***
17/12/2021
NB: Untuk mas Erros Djarot
Pergeseran semantik yang berbahaya: negatif itu baik, positif itu menular dan perlu segera dikarantina!