Idul Fitri, sejauh yang saya telusuri, Id artinya kembali. Kembali kepada yang fitri.
Kata ‘kembali’ bagi saya pribadi adalah kata yang mitik.
Dari zaman Sebelum Masehi sampai zaman modern ‘kembali’ menjadi bagian dari obsesi manusia.
‘Kembali’ membuat Odysseus balik ke Ithaca.
Tanpa daya tarik ‘kembali’ ke Bohemia dengan masa lalunya (begitu para penulis Ceko yang kabur dari negerinya menyebut Ceko yang pernah diduduki Soviet) tidak akan lahir karya-karya Milan Kundera.
Mengingat bacaan semasa lebih jauh di masa lalu, tanpa ‘kembali’ tidak akan saya menikmati karya Rendra Ia Sudah Bertualang.
‘Kembali’ menginspirasi banyak karya sastra.
Saya sendiri pemuja ‘kembali’, pemuja rindu.
Mukadimah Guru Besar perguruan silat saya juga menyebut kata ‘Kembali’.
Bunyinya: Kami Perguruan Persilatan Persatuan Gerak Badan, akan memulangkan ilmu kami kepada alam melewati tekad dan perbuatan untuk membela kemanusiaan, membela kebudayaan dan membina api cinta kasih.
Pada hari raya seperti ini—sekali lagi bagi saya pribadi—‘kembali’ juga memiliki makna harfiah.
Mereka yang biasa membantu di rumah kembali ke keluarga masing-masing.
Saya (dan istri) kembali pada diri sendiri: menyapu sendiri; masak sendiri; nyuci sendiri; setrika sendiri; dan lain-lain.
Khusus untuk bersih-bersih rumah, ada orang maupun tidak, sebenarnya saya biasa melakukannya sendiri.
Saya menyukai kegiatan menyapu halaman, lantai, merapikan tanaman, memangkas dahan-dahan dan sejenisnya.
Selain agak terobsesi dengan kebersihan, saya memerlukan keseimbangan gladi tubuh dan gladi otak.
Kadang otak mengaktifkan tubuh, kadang tubuh mengaktifkan otak, begitu prinsip yang saya pelajari.
Berhenti membaca/menulis saya nyapu; berhenti nyapu saya membaca; kurang lebih demikian dinamikanya. Ke bioskop, nongkrong di bar, saya khawatirkan bakal menjadi masa lalu manusia.
Kadang saya memegang 2 sapu sekaligus. Yang satu bergerak ke samping, satunya bergerak depan-belakang. Pokoknya berbeda kiri-kanan, semata-mata untuk melatih kesadaran tubuh.
Rumput sulit dipangkas pagi hari. Embun membuatnya lunak, memudahkannya berkelit. Harus tunggu agak siang. Ketika ada matahari dia tegak, mudah dipotong.
Sebenarnya lebih banyak lagi bisa diomongkan. Hanya saja, bangkitnya kesadaran tubuh, kecerdasan badan, tidak mudah diaksiomakan sebagaimana kerja otak.
Tubuh tidak mengenal rumus. Hanya bisa dilatih dengan praktik sehari-hari.
Ada ungkapan: jangan percaya pada hasil, pada disiplin.
Mohon pamit, saya hendak nyapu.***
Kembali. Pulang. Kata yang sangat sederhana tapi juga sangat sulit dan terlalu ruwet….