Mengapa mudik?
Jangankan dalam suasana sendu Lebaran yang membuat rindu kampung halaman. Setiap saat amat sering diri ini tersedot pada kenangan masa lalu. Dugaan saya demikian pula terjadi pada banyak orang di kota yang tidak bahagia.
Dulu Dr Umar Kayam menyebutnya sebagai “kebudayaan ulang-alik”. Kegamangan menghadapi dunia modern membawa manusia kembali ke akar tradisinya. Proses ulang-alik tersebut melahirkan anyaman yang terbentuk dari serat-serat kebudayaan.
Tegangan antara masa kini dan masa lalu itulah jati diri kita.
Tanpa perlu konseptualisasi muluk-muluk, setiap orang menyimpan tegangan tersebut dalam diri masing-masing. Ada masa lalu yang ingin mereka rawat, pelihara, ziarahi.
Sebagian orang beruntung masih memiliki ayah, ibu, nenek, sanak saudara, rumah pusaka, dan lain-lain di mana jejak masa lalu memberikan wujudnya yang konkrit.
Sadar seramnya Covid 19, saya tidak mudik. Sudah 2 abad saya tidak kemana-mana.
Menasihati diri agar sabar, meski kesabaran makin pendek seiring kesadaran bahwa waktu kita kian pendek. Banyak teman telah mendahului.
Seperti semua orang, sejatinya yang kita takutkan bukanlah kehilangan masa depan, tapi masa lalu.
Itulah sebabnya dari dulu saya skeptis terhadap misalnya khotbah para motivator, agar bersemangat menentukan target masa depan, 2 triliun dalam 2 minggu.
Jangan percaya. Mana mungkin. Tidak ada jalan kebudayaan seperti itu, hanya jalan korupsi yang memungkinkannya.
Bukit yang saya rindukan bukan bukit digital masa depan, tapi bukit kecil, sebutannya gumuk, di atasnya terdapat makam pepunden, dan dari situ dulu desa kami lahir, lama-lama menjelma jadi kota.
Penghormatan terhadap masa lalu, sejarah, museum, situs-situs kuno, dan semacamnya adalah refleksi dari keinginan manusia untuk menjaga, memelihara, dan mengembangkan peradaban.
Bagi penguasa, merawat masa lalu, selain tidak boleh buta sejarah, juga harus ingat pada janji yang pernah diucapkan.
Lunasi dan pertanggungjawabkan janji-janji kalian.
Jangan tambahi dengan janji-janji masa depan. Banyak yang sudah tidak percaya lagi.
Mau pulang kampung atau tidak kami tidak peduli. Kalian punya kuasa untuk menekuk segala peraturan.
Pada mulanya adalah kata. Ziarahi ucapanmu pada masa lalu.
Baru setelah itu salaman.***
Sebentar lagi takbiran menggema dan rasa rindu itu makin tak terbendung…
Betul. Saat itu semua yg saya lihat berubah menjadi rindu, termasuk bunga tanjung, warna biru bunga rindu.
Terimakasih mas. Inspiratif. “Masa lalu” juga yg kerap diam diam hadir di saat saya lelah. Mengajak pulang ke desa, memandangi langit dari kebun. Melihat geriap bintang gemintang yg terhampar tanpa tepi.