Skip to main content
Nota

Mengenang Samuel Mulia

By June 26, 20225 Comments

Saya sangat menyayangi Samuel Mulia. Banyak teman menyayangi sosok unik ini. Begitu kabar berpulangnya Samuel menyebar Sabtu (25/6/2022) petang, teman-teman saling berhubungan menyatakan kekagetannya dan rasa kehilangan mendalam.

Hari berikutnya, Minggu tatkala saya menulis catatan ini, orang datang silih berganti ke tempat dia disemayamkan, Grand Heaven di bilangan Pluit Jakarta Utara.

Triawan Munaf, Krisdayanti, Lawrence Tjandra, Wanny Bakti, Mira Wibowo, Linda Wiryawan, Rany Sofyan, Kintan Umari, Petty SF, Tenik Hartono, Tari dan Philip, Julianty Tulung, Cicilia King, Dicky, Helga, Lynda Ibrahim, Sarie Febriane, Hilmi Faiq, Nurhidayati, Sally Kuswanto, Anton Diaz, Jarot M Blok, Ari, Miky, Truly Hutagalung, Nobon, Ninuk Pambudy dan dokter Indra Pambudy, Iril, Budi Basuki, dan lain-lain yang saya sulit mengingatnya.

Rencana jenasah dikremasi Kamis (30/6/2022).

Oleh kalangan dekat Samuel Mulia dikenal dengan omongannya yang blak-blakan, kadang pedas. Dia mengakui secara terbuka preferensi seksualnya, bahwa dirinya homo.

Aku iki elek, ginjel mung siji, bencong pula,” ucapnya.

Ia suka mentertawakan diri sendiri.

Sam (paling kanan) bersama teman-teman Januari 2022.

Karena keakraban, saya memanfaatkan kemerdekaan saya untuk memanggil dia dengan sebutan suka-suka saya: jeung.

Mungkin hanya saya yang memanggilnya jeung. Jeung Sam.

“Tasmu apik Jeung,” kata saya suatu kali, melihat tas dari bahan kanvas warna hitam yang ia cangklong di pundak.

“Pengin, Mas?” sahutnya.

“Ya,” jawab saya.

Tiba-tiba dia mengeluarkan segala isi tas, memindahkan ke kantong plastik. Tas diberikan pada saya.

“Nih untuk kamu,” ucapnya.

Sampai sekarang tas itu masih saya simpan.

Tambah butut, tapi menurut saya tambah edgy.

Terkenang bagaimana terbentuk keakraban saya dengan Sam.

Pertama saya cuma mengenalnya melalui tulisan-tulisan dia di majalah fashion dan gaya hidup di Jakarta.

Saya suka tulisannya.

Cerdas, mampu menggambarkan dunia fashion dan kalangan atas urban, selain kadang lucu.

Tahun 2005, tatkala sebagai Kepala Desk Kompas Minggu hendak meredesain koran Kompas edisi Minggu untuk lebih memberi perhatian pada dinamika urban, terpikirlah saya tentang dia.

Saya lihat liputan mengenai gaya hidup terutama gaya hidup kota besar oleh berbagai media waktu itu biasanya terasa kurang berjarak, ikut arus, melihat dunia konsumsi tidak dengan sikap kritis tapi gumun.

Ninuk Pambudy dan saya, menghormati Sam.

Selain reportase mengenai kehidupan urban, menurut saya perlu esai pendek setiap Minggu untuk melukiskan dinamika masyarakat urban tersebut.

Segera terpikir nama rubrik yang cocok: Parodi Urban.

Siapa yang cocok untuk mengisinya?

Setelah berdiskusi dengan wakil saya di Desk Kompas Minggu pada masa itu, Ninuk Mardiana Pambudy (selanjutnya menjadi  bos saya sebagai Pemimpin Redaksi Kompas), terpilihlah nama Samuel Mulia.

Saya ingat, bersama Ninuk saya bertemu dengan Sam di sebuah kedai kopi di Plasa Senayan.

Kami memberi gambaran mengenai rubrik tadi dan meminta dia untuk mengisinya setiap Minggu.

Ia kaget. Pada mulanya ragu, tapi akhirnya bersedia setelah kami bujuk-bujuk.

Hubungan saya dengan dia kian dekat, karena ternyata dia adalah sahabat cewek yang saya pacari ketika itu, namanya Vivi Yip, yang kemudian menjadi isteri saya.

Dia menjadi teman keluarga, sering ketemu, dolan ke tempat tinggal kami di Ciawi, saya pernah mengunjungi rumah orangtuanya di Denpasar, Bali, dan lain-lain.

Di Bali saya melihat Pantai Sanur, tempat Sam sering dibawa ayahnya untuk renang di pantai.

“Gratis Mas, renang di Sanur. Kalau kita mau bisa terus bernenang sampai ke Hawaii,” ucapnya pada saya.

Cara bertutur Sam selalu membuat saya pengin tertawa.

Saya mengajaknya ke sebuah bar bergaya Irlandia di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Bar bersuasana kasual, pelayan berpakaian santai, bahkan bersandal jepit. Pengunjung kebanyakan kaum ekspatriat, menikmati bir.

“Waduh, suasananya lanang banget ya, Mas,” komentar Sam.

Pernah pula saya mengajaknya ke sebuah kafe, yang tengah melangsungkan nobar alias nonton bareng final Piala Eropa. Saat itu berhadapan kesebelasan Jerman melawan entah kesebelasan apa saya lupa.

Penonton bersorak sorai berganti-ganti menyemangati kesebelasan pilihan masing-masing.

Sam ikut bersorak-sorai, tak peduli pemain mana yang pegang bola.

Heran saya, sebenarnya dia di pihak mana.

Akhirnya dia tanya saya: “Mas, aturan mainnya itu sebenarnya bagaimana?”

Saya cuma bisa garuk-garuk kepala.

Dari kiri, Kiki Martin, Darmawan, George Alain, Samuel Mulia, Menik Anggraeni.

Di luar kekonyolannya saya tahu dia adalah orang yang serius dalam profesi dan pekerjaan.

Disiplinnya luar biasa. Kecamannya keras pada orang yang kerja sembarangan, apalagi tak kenal etika.

Dari sejak pertama kali mengisi rubrik Parodi Urban, dia tidak pernah absen, bahkan tatkala dia sakit dirawat di rumah sakit.

Setiap hari Rabu dipastikan dia sudah mengirim tulisan ke sekretaris kami waktu itu, Heru Sudarwanto. Untuk kontributor lain Mas Heru bahkan kadang mengejar-ngejar, mengingatkan tentang deadline. Yang demikian tidak terjadi pada Samuel Mulia.

Di Jakarta Samuel tinggal sendirian di apartemen di bilangan Slipi.

Ia sangat keukeuh dengan prinsipnya: tidak ingin nyusahin orang.

Sangat sedikit orang yang akan ia hubungi tatkala dia mengalami persoalan, terutama yang berhubungan dengan kesehatannya.

Seperti terjadi pada hari Sabtu itu.

Pagi hari ia menghubungi sahabat dia, Virginia Rusli (panggilannya Vivi) untuk dicarikan obat pereda nyeri. Katanya dadanya terasa nyeri.

Siang hari ia mengirim pesan pada sahabatnya yang lain, Helga, agar datang. Ia ingin diantar ke rumah sakit.

Helga yang tengah belanja di supermarket datang ke apartemen sekitar satu jam setelah menerima pesan.

Pintu apartemen Sam terkunci. Digedor keras-keras tidak ada jawaban. Panggilan telepon dan lain-lain tak terbalas.

Dengan bantuan pihak apartemen, seorang penghuni apartemen yang juga merupakan teman Sam, disertai pengurus RW, pintu dibuka secara paksa.

Sam didapati telah tiada.

Kabar berpulangnya Sam kami terima sore itu juga ketika di rumah banyak orang yang juga merupakan teman-teman Sam.

Mendadak kami semua terdiam.

Sore beku seketika.

Selain tidak ingin merepotkan orang, seperti parodinya yang sering menggambarkan kegundahan pribadinya mengenai kabajikan hidup, tentang baik-buruk, tentang kefanaan dunia, begitulah Sam menjalani hidup.

Dengan caranya sendiri, dia tahu bagaimana cara berpulang menghadap Sang Khalik.

Good bye Jeung. You’re the best.***

26/6/2022

Join the discussion 5 Comments

Leave a Reply