Skip to main content
Nota

Menjadi Kiri dalam Sehari

By September 28, 2025No Comments

HARI Sabtu (27/9/2025) lalu di Ruas Bambu Nusa, ruang untuk mengolah eko-kebudayaan milik saudara seperguruan saya, Yaya Widya Poerwoko di Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, diselenggarakan acara yang sifatnya menggali kembali sejarah yang terlupakan.

September, bagi bangsa ini adalah “bulan mengingat dan melupakan”.

Acara yang berlangsung sehari penuh dari pukul 09.30-17.00 itu diisi oleh berbagai perbincangan, dari menilai kembali Lembar Harian Rakyat periode 1960-1968 sampai genosida di negeri ini pada paruh kedua tahun 1960an.

Tidak ketinggalan penampilan paduan suara Dialita, yang khusus untuk hari-hari ini pada masyarakat di sini tentu lebih relevan dibanding penyanyi Inggris Dua Lipa yang punya lagu terkenal Dance the Night.

Alias Swastika (tengah) dan Muhidin M Dahlan (foto Pojok Cerpen)

Muhidin M Dahlan, seorang arsiparis, mempresentasikan sosok Delsy Syamsumar (1935-2001), seniman cerdas di balik ilustrasi-ilustrasi koran Bintang Timur, koran revolusioner pada zamannya yang ditutup usai peristiwa 65.

Di kemudian hari selain dikenal sebagai komikus, illustrator (karya ilustrasinya menghiasi berbagai majalah hiburan pada era 1970an), juga sebagai art director pada sejumlah film. Tulisan-tulisan penulis terkenal waktu itu, Motinggo Busye, biasanya dilengkapi ilustrasi karya Delsy.

Ciri khas ilustrasi Delsy yang mungkin masih dikenang oleh sejumlah orang sampai sekarang adalah sosok wanita yang selalu digambarkan “sentosa” badannya.

Beruntung semasa jadi wartawan saya pernah mengenal dan mewawancarai Delsy Syamsumar di kediamannya.

Alia Swastika, kurator, membahas bagaimana seniman-seniman kontemporer saat ini menjadikan ruang publik sebagai medium berkarya untuk menyuarakan sesuatu.

Pada peristiwa seni rupa tahunan ArtJog, cukup banyak seniman menampilkan karya dengan latar belakang tragedi 65.

Sore hari, Joss Wibisono yang banyak melakukan studi mengenai gerakan dan tokoh-tokoh kiri, memberikan kuliah umum mengenai anomali sejarah dan perkembangan mutakhir kajian genosida.

Joss Wibisono (foto Pojok Cerpen)

Joss yang tinggal di Amsterdam, alumnus kajian holocaust dan genosida di Universiteit van Amsterdam, beberapa bulan terakhir menjadi dosen tamu di perguruan tinggi di Yogya.

Sangat menarik mengikuti berbagai ceramah dia mengenai tokoh-tokoh maupun perkembangan gerakan kiri baik di Indonesia maupun Belanda pada tahun 1930an dan sesudahnya. Ia kaya data, disajikan dengan narasi memikat. Joss juga pintar nyanyi.

“Untuk masuk kategori genosida harus ada pelaku. Bukan hanya korban thok,” ucap Joss. “Bab pelaku kuwi okeh sing ora mikir,” tambah dia pada saya dalam bahasa Jawa (tentang pelaku ini banyak yang tidak memikirkannya).

Pada kuliah umumnya di Ruas Bambu Nusa ia menguraikan definisi klasik mengenai genosida, yakni pemusnahan secara sengaja dan sistematik terhadap kelompok orang berdasarkan kebangsaan, etnis, ras, dan agama.

Pemusnahan PKI yang dianggap atheis pada tahun 1960an menurut dia sudah pas sekali dimasukkan kategori di atas.

Secara khusus Joss menyoroti pemusnahan yang terjadi di Bali. Pembunuhan dilakukan oleh kalangan militer bekerjasama dengan milisia di Bali, Tameng Marhaenis.

Ruas Bambu Nusa dengan keteduhan pohon bambu yang ditata dalam skema Taoisme merupakan tempat yang nyaman untuk berbincang dan minum kopi.

Di luar topik di atas, ada pembahasan mengenai “Seri Perempuan Penyintas 1965” oleh Magdalena Sitorus.

Terus terang, seluruh acara dan perbincangan yang saya ceritakan tidak saya ikuti secara langsung karena pada waktu itu saya di Bandung.

Ibarat reportase, sekali-kali mengandalkan mata batin.

Siapa tahu lebih jelas dari mata biasa.

Atau anggaplah ini jenis reportase dengan pendekatan metanaratif.

Saya bisa menangkap greget penampilan paduan suara Dialita di bawah Ibu Uchikowati.

Penampilan Dialita (foto Pojok Cerpen)

Mereka mengajak seluruh peserta acara untuk nyanyi bersama.

Mereka bagikan partitur lagu Viva Ganefo.

Viva viva viva, Ganefo Ganefo

Bravo bravo bravo, Ganefo Ganefo

Bravo bravo bravo, Viva Ganefo

Ganefo adalah pesta olah raga di zaman Bung Karno, singkatan dari Games of the New Emerging Forces.

Semangatnya menggelora.

Saya ingat, di kampung dulu ada anak diberi nama oleh orangtuanya Bagus Ganefo. Panggilannya kemudian Po’o.

Saya membayangkan betapa meriahnya acara pada hari Sabtu itu.

Hidangan utamanya tak kalah menyesuaikan diri dengan tema acara: emping genjer.

Benar-benar seperti kongres kiri.

Untuk semua pihak yang alergi terhadap kiri, tidak usah buru-buru cemas, merasa akan adanya ancaman, bangkit rasa kecurigaan.

Santai saja.

Pada zaman di mana ideologi telah bangkrut diganti  strategi konsumsi dan gaya hidup, menjadi kiri juga cukup sehari.

Selebihnya kita mengapung dalam fleksibiltas gaya hidup sehari-hari yang sifatnya tidak tetap, state of unstable condition, saat ini kiri, habis itu kanan, masuk dalam globalisasi konsumsi, mampir ngebir di Prawirotaman, dan seterusnya.

Bravo, bravo, bravo.***

28/9/2025

Leave a Reply

(enter the number only)