HUBUNGAN saya dengan dunia imajiner adalah di situ saya partisipan, pelaku, menjadi bagian dari padanya. Merbabu bagi saya adalah dunia imajiner di mana saya sebagai protagonis (dan antagonis) melakoni seluruh hidup saya baik yang saya ingin melakoninya atau pun tidak, saya menyukainya atau tidak, saya bakal menyimpannya dalam kenangan atau tidak.
Merbabu adalah bagian dari nasib saya.
Ketika hendak pindah ke Jakarta untuk bekerja di koran Kompas saya pamit pada Merbabu. Waktu itu akhir tahun 1981.
Ditemani seorang kawan yang kini telah tiada kami mendaki Merbabu.
Berangkat siang hari kami menumpang oplet dari Terminal Pasar Sapi Salatiga menuju Kopeng.
Dari Kopeng mulai jalan kaki, menyusuri pinggiran tempat wisata yang waktu itu masih bagus, melewati desa-desa, hutan cemara, pemukiman yang kian sepi, sampai kemudian sekitar pukul 20.00 sampai desa tertinggi namanya Watu Gubug.
Di Watu Gubug kami istirahat sejenak di rumah penduduk yang berbaik hati menyediakan kami makan malam.
Saya katakan pada mereka, saya tidak akan melupakan kebaikan mereka seumur hidup.
Sengaja kami meninggalkan Watu Gubug agak malam, agar sampai puncak Merbabu pas fajar hendak menyingsing.
Sesuai rencana, kami sampai puncak Syarif (salah satu puncak tertinggi Merbabu) di ambang fajar.
Perlahan kami melihat langit timur memerah.
Seperti loyang emas Matahari muncul perlahan.
Semburat cahayanya yang mulai menimpa pucuk Merbabu inilah yang sehari-hari kami lihat dari kota yang kami cintai, Salatiga, biru emas Merbabu gunung kami.
Setelah menikmati keajaiban Merbabu—Ibarat bersetubuh sampai puncak orgasme—kami turun.
Kali ini melewati jalur selatan, menuju Selo, Boyolali.
Melalui jalur ini kami melewati padang kembang Edelweis.
Meski ada larangan mengusik alam, tak tahan saya memetik setangkai, untuk saya berikan pacar saya di Salatiga pada masa itu (ketika saya pindah ke Jakarta dan tulisan saya muncul di Kompas ia berkirim surat pada saya, merasa bangga, bahwa penulis ini pernah membawa bunga Edelweis dari Merbabu untuknya).
Sungguh saya tidak mengira, puluhan tahun kemudian, Merbabu inilah yang menggerakkan saya untuk menulis novel pertama saya, Blues Merbabu, terbit Februari 2011.
TAK saya sadari pada masa ketika saya pamit pada Merbabu, bahwa di kemudian hari bagi saya menulis novel adalah jalan saya untuk mencari diri sendiri—dalam rumusan filsuf Heidegger, mencari “kemanusiaan yang hilang”.
Menulis adalah sebuah tradisi.
Kita memasuki gerbong tradisi tersebut, dan sejauh ini yang saya pilih adalah gerbong yang menjadikan memori sebagai sentral kemanusiaan seperti dilakukan oleh Milan Kundera.
Ketika saya menulis Blues Merbabu saya tidak memilih Merbabu sebagai topik saya, tetapi Merbabu yang memilih saya.
Ketika itu saya semata-mata hendak mempraktikkan ilmu surat yang saya ambil dari khasanah ilmu silat yang saya pelajari dari guru saya, Gunawan Rahardja.
Menimba pengetahuan darinya—yang meyakini bahwa ilmu berasal dari alam dan harus dikembalikan ke alam melalui masyarakat dan kebudayaan—sejatinya saya hanya ingin mempraktikkan pengertian “ruang dan waktu” dalam ilmu silat.
Silat adalah gerak yang hidup, surat adalah kata yang hidup.
Sama seperti dalam gerak, dalam diam ketika menulis, kesadaran yang ada adalah kesadaran gerak: irama, tempo, timing.
Merenung seperti gunung.
Tiba-tiba Merbabu menghampiri saya.
Dengan seketika muncullah judul Blues Merbabu (meski saya sadari kemudian irama novel tersebut bukanlah blues tapi rock n roll).
Kita lahir dengan kapasitas bahasa dan butuh bahasa untuk mengembangkan diri.
Kata, bahasa, membentuk konstruksi fiktif di mana seperti saya katakan di atas, saya berada di dalamnya sebagai partisipan, sebagai pelaku.
Buruk bahasanya, kotor kata-katanya, akan melahirkan konstruksi fiktif yang buruk yang pada gilirannya akan berpengaruh pada watak dan kepribadian kita.
Maka sejak dulu ada nasihat: jaga kata-kata.
Alangkah kaget ketika beberapa hari lalu melalui WhatsApp seorang teman lama dari Salatiga mengirim pesan: Merbabu kobong.
Pesan disertai video hutan menyala-nyala dilanda api.
Saya merasa kebakaran terjadi pada diri saya.
Saya membayangkan bagaimana orang-orang berjibaku memadamkan api yang melalap Merbabu.
Saya tak ingin ketinggalan.
Dengan sungguh-sungguh saya ikut memadamkannya: melalui siraman doa.***
31/10/2023
Doamu terkabul, hujan deras memadamkannya