Skip to main content
Nota

Penginapan Teman Saya dan Wajah Turis Kita

By April 7, 20212 Comments

Di penginapan teman saya di Wonosari Gunungkidul datang mobil Avanza. Kaca depan dan belakang ditempel stiker untuk mengindikasikan diri militer. Dipertontonkan pula baret pasukan khusus.

Mobil menurunkan 5 perempuan.

Mereka masuk lobi.

Salah satu perempuan bersepatu putih, high heel.

Sekilas saya ingat lagu berjudul Astuti, meski si pemakai kali ini jauh dari bayangan saya tentang kecantikan wanita yang dipuja oleh The Rollies.

Yang lain bergaya turis.

Saya bertanya dalam hati: ini rombongan turis atau resepsi. Atau sepatunya baru. Si ibu ingin segera pakai untuk piknik ke Gunungkidul.

Saya ketemu lagi rombongan ini tatkala sarapan pagi esok harinya. Jumlahnya jadi 7 orang. Mereka menggeret meja kursi agar bisa duduk bertujuh. Berisik luar biasa.

Terpaksa saya pindah tempat untuk melanjutkan kontemplasi dan ritual menulis.

Terkesan oleh kenorakannya, ketika rombongan ini telah pergi kepada teman pemilik penginapan pasangan super menyenangkan, Mas Pam dan Rita, saya berkomentar: butuh kesabaran jadi pengusaha hotel.

Keduanya terperangah. Seketika meluncur cerita.

“Sejak semula mereka sangat bertingkah. Kepada resepsionis mereka bilang, nanti kalau kapolres telepon ingin membayari kami jangan diterima,” cerita Rita.

Menurut Rita mereka pesan 2 kamar. Muncul 5 orang. Mereka tidak mau membayar extra bed.

Malam Rita mendapat laporan dari pegawai. Mereka memasukkan 2 orang lagi, sehingga seluruhnya 7 orang.

“Kadang begitulan ulah tamu,” kata Rita.

“Kapolres telepon untuk bayarin?” tanya saya penasaran.

“Tidak. Itu hanya cara mereka untuk mengintimidasi pegawai kami,” ucap Rita. “Pegawai saya lama-lama belajar. Mereka bisa membedakan orang kaya beneran dan orang sok kaya.”

“Waduh, bagaimana bedanya,” sumpah saya ingin tahu.

“Kata mereka orang kaya beneran tidak rewel.”

Mas Pam menambah cerita.

Ketika Avanza yang sama datang menjemput mereka, Mas Pam menanyai sang sopir. Mobil punya siapa. Dengan jumawa sopir menyebut nama jenderal di Jakarta.

Tentu Mas Pam bertanya lebih lanjut. Almarhum ayahanda Rita kebetulan jenderal. Ayahanda Mas Pam sendiri perwira tinggi militer.

Dia mengingatkan si sopir tentang peraturan dan tata cara penggunaan atribut militer. Si sopir ketakutan dan menyembah-nyembah minta maaf.

Masih banyak lagi cerita mengenai ulah sebagian tamu. Ada langganan dari Jakarta, pasangan suami-istri yang sering melakukan perjalanan darat ke Bali dan selalu mampir menginap di situ.

“Di sini sudah seperti rumah sendiri,” cerita Rita.

Suatu ketika pasangan suami-istri tadi menginap tatkala Mas Pam dan Rita tengah di Jakarta. Mereka mendapat laporan dari pegawai, malam hari pasangan tadi berantem, ribut luar biasa.

“Untung malam itu tidak ada tamu selain mereka. Mungkin saking menganggap rumah sendiri, mereka bebas berkelahi. Saya lihat si istri memang teramat dominan sih,” kata Rita yang agaknya pengamat. “Punya penginapan 8 kamar saja pusingnya kayak gini. Bayangin kalau ratusan kamar.”

Mereka mendapat usul dari beberapa teman. Untuk menyeleksi tamu, bikin mahal harga kamar.

“Kami tidak mau. Ini kan hanya untuk senang-senang masa pensiun,” kata Rita.

Mengenal keduanya secara baik, saya paham sekali pandangan mereka. Bahkan andaikata jauh-jauh hari saya memberi tahu hendak kesini, mereka tidak akan menerima tamu lain.

“Tutup, biar tidak ada orang lain ganggu kita,” kata Rita dan Mas Pam.

Menaikkan harga kamar menjadi mahal untuk menyeleksi tamu menurut saya memang kurang masuk akal.

“Orang-orang kaya tak kalah malingnya. Koruptor kakap negeri ini adalah makhluk yang hartanya berlimpah,” ucap saya.

Mas Pam dan Rita tertawa.

“Yang kita lihat ini adalah bagian dari wajah turis kita. Bagian dari kultur kita. Nyatanya kalian sanggup mengatasi dan bisa menceritakan semuanya dengan tertawa-tawa.”

Terus terang saya kagum dengan Mas Pam dan Rita.

Sebenarnya ingin lebih lama bersama mereka.

Jalan-jalan di Gunungkidul. Menikmati tiwul, gatot, sate kambing, tentu saja mie goreng terenak sedunia.

Sore bersantai di pantai.

Hanya saja saya masih punya janji di Tawangmangu, sebelum kemudian pulang ke Ciawi.***

Join the discussion 2 Comments

  • Baca cerita ini jadi ingat serial Losmen jaman dulu. Ternyata benarnya, tamu2 dipenginapan membawa cerita masing2. Tidak hanya di cerita Losmen, tapi juga di kehidupan nyata.

    Pantasan bu Broto selalu pusing di setiap episode. Beda dengan pak Broto.. tetap santai dengan ukulele-nya hihihi.

  • Bre Redana says:

    Ntar kl saya residensi nginep lebih lama saya bikin serial kayak Losmen. Siapa tahu ada produser berminat he he…

Leave a Reply