Skip to main content
Nota

Perjalanan Budaya

By June 20, 2024June 27th, 2024No Comments

KEPONAKAN  saya, mahasiswa, dengan bersemangat menunjukkan buku lawas yang baru saja didapatnya dari lapak online, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya karya Umar Kayam. Ia yakin saya tahu buku itu, yang tentu saja dia benar: buku ini terbit tahun 1985, merupakan catatan kebudayaan Umar Kayam selama perjalanan sekitar tiga bulan di berbagai pelosok Indonesia.

Buku disertai foto-foto karya fotografer Harri Peccinotti.

Keponakan ini saya rasa salah satu dari sedikit makhluk bernapas zaman ini yang masih memiliki antusiasme terhadap buku.

Teman-teman seangkatannya saya khawatirkan tidak ada yang nyambung diajak ngomong tentang buku, maka saya menjadi korban antusiasmenya dan saya bahagia.

Dia tanya saya tentang makna perjalanan budaya.

Maka saya cerita perjalanan saya selama 3 hari 2 malam ke Magelang dan Yogya, tak peduli itu menjawab pertanyaannya atau tidak.

Seperti biasa ia mendengarkan apa saja yang saya omongkan, tambah ngelantur dan ngawur ia tambah suka.

Saya mendarat di Yogya International Airport (YIA) sekitar pukul 09.00, dijemput teman saya bernama Candra dan Nono, begitu saya mengawali cerita.

Candra sekarang sering tinggal di Yogya karena rumah yang dibangunnya di daerah Kaliurang sudah jadi.

“Kalau tidak salah rumah dia dekat rumah sakit jiwa Pakem, maka dia suka,” cerita saya.

Keponakan saya tertawa.

Di mobil Candra bercerita mengenai teman-teman kantornya di Jakarta yang setelah pensiun beberapa di antaranya pindah ke Yogya.

Pada akhirnya umumnya mereka tidak betah dan kembali hidup di Jakarta.

“Mereka tertipu pesona nostalgia,” komentar saya.

“Ya, mereka sudah terbiasa kerja, tidak bisa tenguk-tenguk nganggur di Yogya,” kata Candra.

“Apakah kamu nanti juga bakal tidak betah dan balik Jakarta?” tanya saya.

“Tidak. Ini zaman online. Saya tetap bisa kerja dari sini,” jawab dia.

“Kali ini lebih baik cari makan dulu. Lupakan kerja,” kata saya. “Fitrah manusia itu, seperti bayi, adalah makan dan tidur.”

Kami menuju Magelang untuk ketemu kolektor lukisan terkemuka, dokter Oei Hong Djien, terkenal dengan sebutan OHD (sebutan itu dulu ia peroleh dari temannya yang saya panggil Tante Poppy).

OHD Museum

Tak mengira, Nono yang baru kali ini ke OHD ternyata keponakan pemilik lama rumah yang pada kesudahannya ditinggali oleh OHD sekarang.

OHD kaget.

“Jadi kamu keponakan dokter Soepardji,” kata OHD.

Berceritalah OHD tentang hal-ikhwal rumahnya.

Rumah yang ditinggalinya di mana saat itu kami ngobrol di meja makan sembari ngopi dan makan berbagai cake bukanlah rumah dokter Soepardji.

“Yang milik dokter Soepardji yang sebelah itu, sekarang ditinggali anak saya. Rumah ini milik keluarga Mr Gandasubrata, nama terkenal, sarjana hukum lulusan Belanda, ketua Landstraat di Magelang pada zaman Belanda,” kata OHD.

Memori dia luar biasa, selalu bercerita masa lalu dengan sangat detil.

Salah satu putri Mr Gandasubrata adalah Ibu Ratmini, yang kemudian menikah dengan cendekiawan terkemuka, Dr Soedjatmoko.

Cerita berkembang kemana-mana, tentang manusia-manusia intelek zaman itu yang kini secara perlahan tapi pasti bakal diganti manusia yang tak perlu berpikir karena semua digantikan oleh AI.

Dari cerita mengenai dunia intelektual Indonesia, para seniman dengan karya-karya yang terpajang di Museum OHD, dan lain-lain, kami lupa untuk urusan apa sebenarnya kami datang ke situ.

Tidak apa.

Saya pemuja story telling.

Dongeng, aktivitas yang membentuk dan menentukan kognisi dan pada akhirnya menumbuhkan kesadaran, lebih penting daripada hal-hal praktis yang bisa dibicarakan lain waktu.

Itulah yang membedakan manusia dengan robot.

MALAM tiba.

Kami pamit untuk balik ke Yogya.

Lewat Candi Mendut dalam perjalanan ke Yogya saya ajak Candra dan Nono mampir ke rumah Sutanto tak jauh dari candi itu.

Tanto yang baru saja pulang dari lawatan ke Eropa selama lebih dari sebulan bicara ngalor-ngidul.

Candra dan Nono kelihatannya menikmati.

Mereka terpesona seperti dulu ketika saya kecil terpikat dengan penjual jamu di pasar namanya Pak Ngadiran. Dialah idola saya dalam story telling.

Malam kian larut.

Dalam wayang kulit ada istilah: samsoyo bengi samsoyo ndadi (semakin malam semakin edan).

Terus terang saya teler karena hari itu bangun subuh untuk ke airport Cengkareng.

Saya memilih menerima tawaran Tanto untuk nginap di rumahnya.

Candra dan Nono pulang ke Yogya.

HARI berikutnya saya bangun pagi seperti kebiasaan saya.

Tanto masih tidur.

Begitu pun keluarganya.

Tak ada kehidupan di rumah ini.

Saya keluar jalan-jalan di sawah sekitar situ sampai Candi Mendut.

Lingkungan Mendut

Di Candi Mendut ngopi di warung di bawah pohon beringin besar.

Tampak di seberang kantor Candi Mendut.

Saya lihat ada patung Buddha Tidur (Sleeping Buddha) seperti biasa saya temui di Thailand.

Sleeping Buddha umumnya terdapat di sangha Theravada, bukan untuk sangha Mahayana seperti Candi Mendut.

“Inilah perjalanan budaya kita, tanpa arah jelas ditentukan oleh semata-mata kepentingan pariwisata,” kata saya kepada keponakan, membuat dia terpingkal-pingkal. “Turis yang paham Buddha mungkin bingung, ini candi Theravada apa Mahayana. Saya pilih makan mangut beong siang hari bersama Tanto.”

Petang hari saya ke Yogya.

Saya menginap di daerah sekitar Prawirotaman.

Prawirotaman

Wilayah dengan bar-bar remang-remang itu saya sukai.

Dalam keremangan saya justru merasa bisa berpikir lebih terang, lebih imajinatif.

Di situ sampai larut malam.

HARI ketiga sebelum kembali ke Jakarta dengan pesawat petang hari, saya membuat janji dengan Agus Noor untuk melihat pameran tunggal pelukis Pupuk Daru Purnomo bertajuk “Doxa” di Jogja Gallery.

Pameran yang luar biasa.

Dalam rangka memperingati ulang tahunnya ke-60 Pupuk memilih sendiri karya-karya dalam pameran ini.

Karya Pupuk DP

Tanpa kurator.

Usai melihat seluruh karya Pupuk, saya dimintai komentar oleh panitia mengenai pameran ini.

Saya bilang, saya segan, tidak bisa berkomentar banyak.

Pupuk dengan ketrampilan teknis yang dari dulu saya anggap sangat mumpuni menampilkan  reaksi dia terhadap apa-apa yang ia terima.

Bersama Pupuk (tengah) dan Agus Noor (kanan)

Saya sengaja menyebut “reaksi”, semacam jawaban crocbrain (untuk membedakan dengan neocortex yang dalam hal ini melakukan “respons”) terhadap apa yang dialami manusia.

Kalau neocortex memberi respons intelektualitas, crocbrain mengungkapkan sesuatu yang tidak bisa dicegah dan disingkirkan oleh manusia seperti rasa cemas, waswas, takut, dan semacamnya.

“Itulah karya-karya Mas Pupuk,” kata saya kepada pewawancara yang manis itu. “Tidak bisa lain, saya cuma bisa menikmatinya dengan gemetaran,” lanjut saya.

DARI Jogja Gallery oleh Agus Noor saya dibonceng motor, diajak makan nila goreng.

Setelah itu diantar ke stasiun kereta api Tugu di mana saya hendak naik kereta menuju YAI.

Dia pula yang membelikan tiket kereta api dengan sistem online karena belum tentu bisa saya lakukan dengan cara konvensional beli tiket di loket.

“Nih saya forward barcode-nya. Tinggal ditempel di sana di depan pintu masuk. Pagar pembatas akan terbuka secara otomatis,” Agus mengajari saya.

Kalau tidak ia tolong mungkin saya yang gegar budaya ini harus naik becak dari Yogya sampai Kulonprogo.

“Itulah yang namanya perjalanan budaya,” kata saya pada keponakan.

“Ngebir di Prawirotaman?” ia bertanya.

“Tidak. Saya minum wedang jahe,” tukas saya.

Ia tertawa terguling-guling.***

20/6/2024

Leave a Reply