Skip to main content
Nota

Planet Penganggur

By July 16, 2024No Comments

Dalam perjalanan dari Jakarta ke Yogya bersama Vivi dan dua teman pasangan Gun dan Fida (kami sering memelesetkannya menjadi Guns n Roses) mencobai mobil mereka, Mercedes-Benz edisi terbaru, kami sempat mampir di Waroeng Gunung milik teman saya di daerah Kopeng di lereng Gunung Merbabu.

Kepada semua teman saya suka memamerkan keindahan Merbabu—blues terbaik selain I Got the Blues oleh Garry More.

Warung tadi kue-kuenya sangat enak, terutama donat gaya kampungnya.

Pagi itu warung sepi.

Tak dinyana ada yang menegur saya, lelaki seumuran saya. Dia berdua dengan teman lelaki yang kurang lebih juga seumuran.

“Lupa ya,” dia memperhatikan saya. “Uriah Heep, July Morning,” lanjutnya.

Busyet, saya kagum.

Ia pandai melokalisir memori saya, bahwa dengan Uriah Heep dan July Morning saya bisa ingat segala-galanya, bukan hanya dia tapi apa dan siapa saja termasuk pacar pada masa itu.

“There I was on a July morning/Looking for love…”

“Yanto,” seru saya.

Pada masa kuliah dulu ia vokalis band kampus.

Lagu yang paling ia hafal mungkin hanya July Morning.

Ia tertawa gembira.

Dikenalkannya teman yang berdiri di sebelahnya, berkacamata, wajah ramah penuh senyum.

“Ini Andi, teman sejak kecil. Dia sekarang tinggal di Kanada,” kata Yanto.

Pertemuan tak terduga.

Kopeng, Gunung Merbabu, bakmi goreng Jalan Progo, asrama Kartini, bioskop Reksa, adalah memori kolektif kami semua dan siapa saja yang pernah kuliah di Salatiga.

Kopeng zaman dulu (atas) dan Kopeng zaman sekarang (bawah)

Ia bilang kini tinggal di Malang.

Seperti saya, dia mengaku tengah jalan-jalan, membawa sahabatnya yang tengah liburan ini berkeliling ke berbagai kota termasuk kota kenangan Salatiga.

Setahu saya Ariel Heryanto yang kini di Melbourne setiap kali ke Indonesia pasti juga mampir Salatiga.

“Apa yang kamu kerjakan sekarang?” tanya saya.

“Banyak. Karena kelewat banyak yang saya kerjakan saya sebenarnya tidak mengerjakan apa-apa. Aku ingat kamu pernah menulis seperti itu. Aku selalu mengikuti tulisanmu,” ucapnya tertawa.

Saya tidak ingat persis pernah menulis seperti itu.

“Hubungi aku kalau ke Malang. Saya punya banyak waktu. Kita sama-sama penganggur. Aku membaca novelmu Blues Merbabu. Di situ kamu menyinggung-nyinggung kota Malang,” ucapnya.

Saya katakan padanya yang punya kafe ini adiknya Lanny yang dulu juga sekampus dengan kita.

“Ingat Lanny?” tanya saya padanya.

“Ingat. Dulu dia model untuk majalah Top Chords,” ucapnya.

“Ingat Hendrawan?” saya menguji ingatannya tentang teman yang lain lagi.

“Ingat. Dia sekarang jadi politikus top,” jawabnya.

“Ingat Min Kebo?”

“Tahu. Itu tokoh idolamu.”

Kami ngobrol lama sekali sampai hampir lupa bahwa saya masih punya banyak janji di Magelang dan Yogya.

Dia juga, hampir lupa harus pulang ke Malang.

“Sampai jumpa,” saya melambaikan tangan mengiringi mobilnya berlalu.

Mungkin itulah yang biasa dilakukan orang nganggur.

Ngobrol tak berkejuntrungan.

Tidak ingat ada urusan lain.

Mengenai gaya dan daya hidup penganggur jadi ingat Sutanto dari Mendut.

Kalau dalam cerita silat ada kay pang alias partai pengemis, menimbang banyaknya orang tak ada kerjaan saya pikir bagus juga membikin partai penganggur.

Di antara hal serius dan main-main yang padanya tak pernah jelas batasnya ia sering mengatakan bahwa kita bisa berbuat apa saja dikarenakan nganggur.

Ia merintis terbentuknya Komunitas Lima Gunung puluhan tahun lalu.

Komunitas ini kemudian berkembang menjadi komunitas seniman agraris terbesar di Indonesia. Mereka mengadakan berbagai kegiatan dan festival seperti tak kenal waktu, kadang menerima undangan pentas di berbagai tempat di dalam dan luar negeri, dan lain-lain.

Tanto dan sinden kesayangan.

Ia mengangkat diri jadi presiden Lima Gunung.

Apa modalnya?

“Nganggur,jawab Tanto pada saya (kepada wartawan resmi jawaban dia tidak seenteng itu, sebaliknya penuh rumusan kebudayaan yang saya yakin lebih dipercaya banyak orang dibanding jawaban jujur tadi).

Tidak ada yang lebih benar daripada itu.

Apa saja yang dilakukan manusia sejatinya hanya untuk mengisi kebosanan dari bangun tidur sampai hendak tidur—termasuk menuju tidur yang abadi.

Pada kalangan agraris kehidupan bisa terasa nglangut.

Mereka sehari-hari mengamati siklus alam, siklus pertumbuhan, untuk pertanian mereka.

Istilahnya: mengenal pranata mangsa.

Tidak seperti rotasi waktu dunia modern yang ditentukan oleh jam kerja dan target sebanyak-banyaknya, sekenyang-kenyangnya, kalangan agraris lebih lambat, merayakan slowness.

Asasnya ketekunan dan kepasrahan—karena alam tidak bisa digenjot habis-habisan.

Ritus, upacara, festival, menjadi penting bagi mereka untuk menandai sesuatu yang mereka hayati dalam slowness tadi.

Pada Komunitas Lima Gunung, ritus, festival, diperluas makna dan fungsinya menjadi bagian aktivitas kebudayaan sehari-hari.

Di luar kegiatan bertani, berdagang, bertukang dan lain-lain mereka antusias melakukan diskusi, pentas kesenian, ritual bumi, pemujaan langit, dan lain-lain, yang paling terkenal adalah acara tahunan mereka Festival Lima Gunung.

Kalangan seniman, akademisi, peneliti baik dari dalam maupun luar negeri, sering mengunjungi mereka untuk penelitian, kolaborasi kesenian, diskusi, dan lain sebagainya.

Saya mengenal baik kalangan ini seperti Hari Atmoko, Sujono, Ismanto, Supadi, Begawan Prabu, Sih Agung Prasetyo, Shuko Sastro Gendhing yang saya doakan jadi presiden bukan hanya Lima Gunung tapi negeri ini, dan seterusnya.

Lagi-lagi meski tampak main-main tetapi hal paling substansial yang melekat pada manusia adalah ruang dan waktu.

Ruang untuk berbagi, waktu untuk diri sendiri.

Menguasai waktu adalah menguasai diri sendiri.

Dasar bagi lahirnya kesadaran.

Dari zaman ke zaman, kesadaran manusia atas ruang dan waktu cenderung digerus oleh obsesi manusia terhadap percepatan—dan kepraktisan.

Kini percepatan dan kepraktisan di ambang melumat kesadaran manusia dengan meluasnya digitalisme—menggantikan sifat analog manusia.

Kalau ini tidak disadari, kemanusiaan atau humanisme akan lenyap.

Gejalanya sudah terlihat.

Manusia cenderung jadi mesin.

Diperbudak teknologi digital.

Jam kerja yang tidak selaras dengan bioritme—semacam “waktu tubuh” menyangkut kapan tidur, kapan olah raga, kapan makan, kapan santai dengerin musik, dan seterusnya.

Quality time kehilangan makna.

Itulah mengapa saya berpikir mengenai partai penganggur.

Partai yang harus selalu resah, anti kemapanan.

Tak sudi menjilat pantat penguasa.

Ketua partai bisa siapa saja, asal nganggur senganggur-nganggurnya, tidak tergopoh-gopoh seperti para pejabat baik sipil atau militer yang mobilnya gedandapan di jalan raya, setiap kali ada acara muncul sebentar berpidato dan kemudian bergegas pamit karena katanya ada tugas penting.

Lihatlah, selain tidak mutu, pemerintahan tidak pernah produktif oleh manusia-manusia jenis seperti itu.

Apakah partai penganggur sekadar lamunan?

Di sini saya sejatinya ingin menjawab pertanyaan salah satu peserta latihan menulis di Akademi Bahagia Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Peserta ini mengirim pesan melalui WhatsApp, bertanya meminta kejelasan ketika pada pertemuan dulu saya mengatakan bagi semua orang yang utama adalah penguasaan kata, penguasaan bahasa.

Bahasa mengalirkan pikiran; tubuh mengalirkan gerak.

Memori otak memori tubuh.

Kaligrafi adalah proses serentak pikiran dan tubuh.

Dengan penguasaan atas bahasa, data, angka, fakta, tidaklah penting lagi.

Yang utama adalah kesadaran.

Novel dan jurnalisme berasal dari Ibu yang sama.

Kalau kita bisa menceritakan planet penganggur yang sebenarnya tidak ada tapi dengan kekuatan kata menjadi seolah benar-benar ada maka itulah bukti bahwa kita cukup menguasai bahasa.

Cerita perjalanan yang saya tulis ini pun belum tentu benar adanya.

Benar-benar adakah pertemuan di Waroeng Gunung?

Prawirotaman suatu malam.

Mungkin itu semata-mata gara-gara saat di Yogya malam-malam saya mampir sebuah bar di daerah Prawirotaman.

Di situ samar-samar terdengar bar menyetel lagu lama Uriah Heep July Morning.

Tiba-tiba langit mengirim cerita mengenai pertemuan tadi, yang kalau Anda tidak percaya, artinya saya masih perlu menunggu pesan langit yang lain lagi yang lebih bisa dipercaya.***

16/7/2024

Leave a Reply