UJUNG-UJUNG—sebagaimana namanya, ujungnya ujung—dulu adalah daerah paling tepi dari Kotapraja Salatiga.
Bagi mereka yang pernah bertumbuh di kota ini dan telah gaek sekarang, kawasan tersebut dikenang sebagai tempat untuk menguji keberanian berpetualang.
Tak ada rumah penduduk.
Yang ada hanya hutan karet.
Sungai berair bening mengalir di antara pohon-pohon besar.
Paginya di sekolah kami adu cerita mengenai besarnya ukuran ikan yang nyangkut di kail saat memancing kemarin.
Kadang ada yang menambah-nambah cerita dengan pengalaman ajaib, ada yang ngaku ketemu makhluk hitam tinggi besar; awan putih menyerupai pocong melayang di atas sungai; harimau muncul dan menghilang seketika; bidadari cantik punggungnya putih bak pualam mandi telanjang bulat di kali (mengapa tidak terlihat dari depan dan bukan saya yang melihatnya); dan seterusnya.
Nantinya sebagian dari kami berpetualang lebih jauh lagi, sampai Semarang, Bekasi, Jakarta dan kota-kota besar dunia seperti Tokyo, New York, London, Amsterdam, Barcelona, Toronto, dan lain-lain.
Banyak yang skeptis dan prihatin terhadap perkembangan kota.
Bahwa kota lama kami tak seperti dulu lagi.
Termasuk Ujung-ujung.
Daerah ini kini menjadi rest area paling cantik dan paling terkenal pada lintasan jalan tol Jakarta-Surabaya.
Di media sosial banyak yang memuji-muji seperti pemandangan di Switzerland.
Bagi saya sendiri, mampir ke situ ternyata masih ada yang bisa saya selamatkan dari memori saya.
Dari Starbucks yang ruangannya serasa ruang keluarga rumah sendiri, sambil minum espresso saya melihat hutan karet di kejauhan sana.
Apakah bidadari mandi dengan punggungnya yang halus sama seperti punggung perempuan yang saya lihat masa-masa sesudahnya?
Fungsi kenangan adalah untuk mempercantik dan menambal kekurangan masa kini.
Adik saya di Jakarta membeli tanah di sekitar situ.
Ia akan segera bangun rumah.
Nantinya saya bisa numpang, untuk menggali banyak memori yang tertinggal.
Reinventing the past, karena manusia tidak bisa hidup tanpa sejarah.
Yang terisolasi dari sejarah, pendidikan, kekurangan gizi, IQ rendah, bakal jadi alas kaki penguasa.
Diinjak-injak dan dibohongi tiap hari.
Banyak orang mengutip ucapan Milan Kundera: perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan memori melawan lupa.
Beberapa waktu lalu kembali saya ke Salatiga.
Kali itu naik bis, bersama Yulianto, jomblo yang sering pamer pada saya tentang enaknya naik bis ke Salatiga.
“Tinggal tidur tahu-tahu sampai Pos Tingkir,” katanya setiap kali.
Saya pun tergerak mengikutinya.
Hari Sabtu pekan lalu.
Kami berangkat dari Jakarta pukul 15.00.
“Nanti jam 12 malam kita sampai,” kata Yulianto sambil mengangkat kaki naik bis.
Dia telah memesan tempat duduk di dek atas dari bis bertingkat ini.
Bis bergerak.
Menjelang malam saya mulai ngantuk.
“Bangunkan saya kalau mulai masuk Salatiga,” pesan saya padanya.
Benar juga, cukup enak.
Dalam sekejap saya pulas.
Kami sampai terminal Tingkir di pinggiran kota Salatiga.
Turun dari bis kami naik andong, kereta kuda, menuju pusat kota.
Dari Tingkir menuju pusat kota jalanan terus menurun.
Andong berjalan pelan, kusir menahan laju kuda agar tidak terpeleset.
Ia berkata entah mengapa andongnya jadi terasa berat.
Di sebelah kiri tampak Gunung Merbabu.
Biru hijau keemasan.
Prof Hendrawan Supratikno baru saja menerbitkan buku untuk menyambut perayaan ulang tahun ke-80 gurunya, Prof John Ihalauw.
Gunung itu ia pilih menjadi judul: Di Kaki Gunung Merbabu.
Bertambah tua semakin romantik saja Merbabu.
Andai saja dia manusia bukan gunung pastilah ia punya banyak pacar.
Andong yang kami tumpangi berpapasan andong lain yang tengah berkeliling kota, mengabarkan film yang diputar hari itu, film koboi The Good, the Bad, and the Ugly.
Selain dilengkapi poster film, di atas andong dipasang pengeras suara, menyuarakan theme song film ini diselingi suara tembakan pistol (dalam film koboi melalui pistol dengan silinder berisi 6 peluru bisa membuat 20 penjahat terjungkal sekaligus).
Clint Eastwood pahlawan saya sepanjang masa.
Dengan bantuan artificial intelligence, teman saya Djito ahli membuat sesuatu yang tidak nyata menjadi seolah nyata.
Ia sering mempermainkan saya dengan representasi agar otak saya percaya pada hal-hal yang tidak nyata.
Saya sering terperdaya olehnya.
Untunglah setahu saya dia tidak ikut menjadi penyokong penguasa dalam gerakan nasional memanipulasi kesadaran rakyat.
Kami tiba di pertigaan tengah kota.
Pertigaan ini senantiasa saya percaya sebagai pusat dunia.
Energi semesta terkumpul di sini.
Saat SMP pernah sambil menatap poster film besar yang terbentang di gedung bioskop saya mimpi ingin ketemu ratu pedang Chen Pei Pei.
Kenyataannya saya pernah bertemu beneran dengannya di Taipei.
Chen Pei Pei kini telah tiada.
Tiba-tiba kuda penarik andong berontak.
Kusir kaget.
Kami juga.
“Kenapa ini…,” kusir berseru.
Kuda makin menjadi-jadi.
Dia ngamuk.
Makin kewalahan sang kusir.
Dia memalingkan wajah ke saya.
“Sampeyan ini sebenarnya siapa?” tanyanya dengan nada curiga.
“Saya Mas Karebet, putra Ki Ageng Lembu Kenanga,” jawab saya.
Mata sang kusir terbeliak.
“Berarti saya ini mengangkut roh. Mohon turunlah Mas Karebet. Kuda saya tidak kuat,” sang kusir memohon.
Tidak ingin merepotkannya, saya meloncat turun.
Yulianto nyusul ikut melompat.
Ia terhuyung-huyung hampir nyungsep karena kurang terlatih.
Kebanyakan kerja cari uang, kurang olah raga.
Kuda seketika jadi tenang.
“Bangun, kita sudah sampai Tingkir,” dia mengguncang saya.
Saya terbangun.
Saya tengok jam di layar handphone.
Pukul 00.30.
“Saya barusan mimpi, telah sampai Pos Tingkir,” kata saya.
“Mungkin saking enaknya tidur,” dia berkomentar.
“Ya, saya mimpi jadi Mas Karebet dan kamu jadi asisten Mas Karebet,” kata saya.
“Ha-ha-ha, mimpi pun Mas Bre bohong,” ia tertawa.
Bis masuk terminal.
Kami turun.
Udara sangat dingin.
Kabut menyelimuti cahaya lampu merkuri jalanan.
“Nanti Mas Bre pasti akan nulis yang tidak terjadi ini seolah-olah benar-benar terjadi,” ucapnya.
Sulit meyakinkan orang, bahwa dari kecil saya terbiasa percaya pada keajaiban, percaya bahwa mimpi pun bagi saya nyata dan benar meski tidak faktual.
“Kita ngopi di sana, nunggu pagi,” Yulianto mengusulkan.
Kami duduk-duduk di warung sampai pagi merekah dan Gunung Merbabu terlihat kebiruan seperti dalam mimpi tadi.***
24/7/2024
Kusir saja curiga pada Bre, kejadian langka bila sang kusir curiga sama penumpangnya.