Skip to main content
Nota

Selamat Ulang Tahun Kompas

By June 28, 2024No Comments

DI antara hari-hari istimewa ada hari yang bagi saya super-istimewa, salah satunya hari ulang tahun koran Kompas. Di lembaga inilah saya bertumbuh menjadi “manusia koran”, “orang koran”.

Makna manusia koran bisa sedikit karikatural, bisa agak serius.

Izinkan saya memaknai dua pengertian tersebut secara apa adanya sebisa saya.

Yang pertama yang sedikit karikatural dulu, untuk menggugah pagi Anda dengan kegembiraan pada hari bahagia 28 Juni ini.

Hari ini Kompas berulang tahun ke-59, tahun depan ke-60.

Terharu dan bersyukur.

Banyak di antara mereka dulu itu menjadi manusia koran semata-semata karena “kecelakaan sejarah” dari sebuah generasi.

Tanyalah satu-persatu wartawan kala itu yang dengan sendirinya sekarang pensiunan, umumnya mereka jadi wartawan karena ketidak-sengajaan.

Bisa karena sering nulis lalu ditawari bergabung jadi wartawan, bisa kala itu dia tukang koran di Pasar Rumput lalu diajak jadi wartawan, bisa tengah enak-enak jadi guru sejarah di Yogya kemudian dibujuk temannya pindah ke Jakarta jadi wartawan hebat seperti petinggi saya dulu, ada yang sebenarnya pastor tapi untunglah kewartawanan dan sepak bola membumikannya jadi lebih dekat dengan umat segala keyakinan, dan lain-lain.

Wartawan Kompas Jimmy S Harianto, circa 1970-1975. Foto: Dok. Kompas

Saya sendiri tidak pernah bercita-cita jadi wartawan.

Cita-cita saya sedari kecil jadi masinis kereta api atau apa pun yang berhubungan dengan perjalanan naik kereta.

Impian berakhir gara-gara hits Shocking Blue berjudul Never Marry a Railroad Man.

Dengan latar belakang seperti itulah, tidak memiliki referensi wartawan itu seharusnya seperti apa, yang dijalani kemudian adalah kongkow tiap hari, ngobrol menjadikan hal-hal sepele tampak filosofis, makan bareng di warung dan tertarik pada si pemilik warung yang ayu dengan pretensi rasa humanisme, dan seterusnya yang kini sering saya kenang dengan agak malu.

Wartawan Kompas JB Kristanto sebagai Juri FFI circa 1980-1985. Foto: Dok. Kompas

SETELAH sekilas bagian yang agak karikatural di atas, marilah sekarang ke bagian yang agak serius.

Kebingungan atas yang kami jalani kala itu, sebenarnya ini main-main atau sebuah profesi, diberi mantra oleh pimpinan yang menumbuhkan kebanggaan dan harga diri, pride, dignity, kami.  Rasa minder berkurang meski umumnya kami klomprot, tidak necis seperti para priyayi kota dengan berbagai profesi terhormat.

Kata pimpinan kami: kita di sini, jadi wartawan adalah karena Vocatio (panggilan); Providentia dei (penyelenggaraan Illahi).

Dalam kerja ini terkandung  mission sacre kerja jurnalistik berupa memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, kesejahteraan umum secara inklusif tidak pandang suku, agama, golongan.

Kita mentransformasikan sistem kepercayaan kita menjadi humanisme transendental, melihat manusia dengan segala kemungkinannya yang luar biasa.

Sering pimpinan kami mengucapkan kata bahasa Inggris: to comfort  the disturbed and disturb the comfortable.

Di lingkungan kami frasa itu diterjemahkan menjadi semangat untuk menghibur yang lemah, menggugat yang berkuasa.

Pak Jakob Oetama, Agung Adiprasetyo, Suryopratomo, 2005. Foto: Ign Haryanto

HA-HA-HA, sungguh saya paham belaka kalau sampai di situ tadi para pembaca tulisan ini mentertawakan saya, mencibir, mengolok-olok, bahwa saya tengah menggambarkan sebuah dunia yang utopis.

Orang yang belum bangun tidur, bahwa dunia telah berubah.

Ah biarlah, nyatanya saya memang selalu memiliki alasan untuk tetap begini-begini saja.

Ketinggalan kereta zaman gara-gara Slowness, novel karya Milan Kundera.

Selain Milan Kundera dalam memori saya ada Min Kebo.

Apa salahnya, alam semesta ini, sama seperti mega yang terkumpul dan kemudian ambyar, lalu terkumpul lagi, adalah sebuah ordered chaos—kekacauan yang teratur.

Tak bisa direkayasa oleh penguasa politik, presiden, pedagang, BUMN, atau apa dan siapa saja.

Bercerita mengenai spesies yang di ambang punah, yakni manusia koran, di sini saya tegaskan: manusia koran paling pas untuk merepresentasikan makhluk yang kesadarannya dibentuk oleh teks, oleh bahasa, oleh buku.

Dalam sejarah peradaban momentumnya terjadi pada sekitar abad XV dengan ditemukannya mesin cetak Gutenberg.

Alam raya berubah.

Lahirlah seperti diungkapkan Marshall McLuhan, The Gutenberg Galaxy.

Secara komprehensif di situ McLuhan menjelaskan efek media massa, terutama media cetak, terhadap kesadaran manusia.

Dari makhluk Zaman Kegelapan, secara perlahan namun pasti, teknologi berupa mesin cetak mengokohkan bagaimana proses kesadaran manusia terbentuk: lewat proses membaca.

Tidak kurang Benedict Anderson menyebut, bahwa kesadaran berbangsa, bangkitnya nasionalisme, juga dikarenakan oleh proses membaca.

Ia menuliskan gagasannya lewat berbagai esai, antara lain The Origins of National Consciousness.

Sejatinya, diam-diam saya mengakui terjadinya perubahan zaman yang luar biasa sekarang.

Sumpah saya bersimpati pada beban yang dipikul oleh makhluk masa kini—khususnya mereka yang berprofesi sebagai wartawan, lebih khusus lagi yang pada hari ini masih harus menyelenggarakan produk cetak yakni koran.

Saya bayangkan mereka ini bak lulusan sekolah kuliner Le Cordon Bleu Paris disuruh melanjutkan usaha nenek moyang berupa warung makan gudeg.

Generasi yang dilimpahi kemudahan dan kepraktisan teknologi tapi merasa harus memanggul kayu salib, kerja 24 jam tanpa libur, hari Minggu tidak bisa beribadah karena harus ngantor.

Semoga Tuhan mengampuni penemu teknologi yang menjadikan manusia jadi kurang istirahat, kurang tidur, kurang baca buku, kurang olah raga.

Gunawan Setiadi, P Swantoro, Syafei Hassanbasari circa 1985-1990. Foto: Hasanuddin Assegaff

Manusia koran adalah “makhluk analog”, manusia masa kini adalah “makhluk digital”.

Bukan sekadar beda sebutan, tapi di situ terdapat implikasi serius: di antara kedua makhluk tersebut terdapat sistem neurosis yang berbeda.

Evolusi neocortex manusia analog ditentukan oleh sesuatu yang juga analog, sebutlah yang tangible, bisa disentuh dan diraba seperti buku dan koran (sampai saat ini saya tetap langganan koran).

Dengan itu, sekali lagi melalui budaya teks, manusia analog dari zaman Renaisans bergerak menuju Revolusi Industri, dilanjutkan ke era Modernisme termasuk berbagai cabang pemikirannya.

Teknologi sendiri terus bergulir, melesat, sampai akhirnya melahirkan digitalisme, yang dengan itu pula, berakhir sudah zaman analog.

Ibarat keris Empu Gandring, digitalisme berbalik menikam penciptanya, dunia analog.

Merekah fajar makhluk digital.

Dunia jadi serba praktis, mudah, seketika, selain semu.

Dari pesan makanan sampai cari jodoh dilakukan secara online, tidak perlu blusukan di lorong-lorong kota kecil saya Salatiga dulu demi dapat pacar.

Kadang menebar kembang tujuh warna dengan jampa-jampi siapa tahu mempan.

Kini semua hal dicerna secara algoritmis, berdasar algoritma dan angka-angka.

Saat ini yang dipahami sebagai fakta, kenyataan, adalah data alias angka-angka yang disodorkan oleh mesin.

Mesin, big data, diyakini tidak punya subyektivitas.

Tidak bakal ada bias seperti prasangka manusia.

Oleh karenanya kita harus mempercayainya lebih daripada yang bisa kita sekalian pikirkan, harapkan, rasakan.

Rasa harus digantikan angka.

Modusnya antara lain survei.

Orang yang menerima bingkisan entah apa dari penguasa jadi obyek survei: bagaimana kepuasan sampeyan terhadap penguasa.

Maka lahirlah analisis: 1.000 persen rakyat  puas dengan penguasa.

Orang yang susah cari makan di pinggir jalan, dikondisikan dengan urusan mengisi perut, dibutakan pada civic dan kewarganegaraan, ditanya: enak mana, makan gratis atau demokrasi?

Analisis lebih lanjut: demokrasi belum jadi prioritas rakyat.

Jika Anda kaget, tidak ngerti, tidak paham, tidak puas dengan cara seperti itu maka sial nasib Anda, dimasukkan dalam hasil analisis berikutnya lagi: yang tidak puas pada penguasa adalah pecundang pada pemilu lalu. Mereka belum move on, demikian istilah masa kini.

Cara semacam itu sejalan dengan seleksi memori oleh penguasa, mana pantas disimpan dalam memori rakyat, mana yang harus dilupakan.

Melalui seleksi memori sejarah terbentuk.

Dengan medium masa kini, teknologi yang dianggap innocent, rekayasa memori lebih mudah lagi dilakukan.

Kewaskitaan dan intuisi diganti AI—artificial intelligence.

Makin jauh dari sekolah rendah.

Makin jauh dari kesadaran.

Tidak kurang mereka yang terbilang pemikir, intelektual, filosof, mengalami amnesia.

Ruang redaksi menjelang pergantian tahun menuju 2001. Foto: Kartono Riyadi

Dulu Pak Jakob Oetama sering menyebut, roh koran adalah kebudayaan.

Roh dalam bahasa Jawa sukma.

Sukma manunggal.

Ada ilmu ngrogoh sukma, merogoh sukma.

Kalau dulu ngrogoh sukma, kini kita kelangan sukma.

Menjaga dan memelihara eksistensi koran sejatinya adalah memelihara eksistensi kesadaran.

Tampak berlebihan?

Ya, tapi tanpa kesadaran humanisme lenyap.

Oh ya, menyebut Pak Jakob saya jadi ingat penerusnya, Mas Lilik Oetama.

Tentang Mas Lilik saya punya pengalaman, yang dengan ini saya minta izin beliau untuk menceritakannya.

Pernah pada sebuah hajatan perkawinan seorang teman yang menikahkan anak, saya berjumpa Mas Lilik.

Di antara para tamu saya ngobrol dengan Mas Lilik yang selalu membikin saya segan dan kikuk dikarenakan kerendahan hatinya yang semata-mata mengingatkan saya pada Pak Jakob.

Begitu Mas Lilik berlalu, seorang bapak menghampiri saya.

Ia bertanya: “Apakah betul Anda yang punya Kompas?”

Saya kaget dan dengan seketika tahu ia keliru.

Jawab saya: “Betul. Saya yang punya Kompas, tapi dalam hati. Juga secara kultural. Pemilik yang sebenarnya adalah bapak yang barusan berbincang dengan saya.”

Ia tampak bingung.

Buru-buru saya meninggalkannya.

Jawaban saya mustinya tidak keliru.

Dalam hati memang saya merasa memiliki Kompas.

Selamat ulang tahun Kompas.***

28/6/2024

Leave a Reply