Kalau tidak salah ingat namanya Salim. Andaikata keliru, anggaplah seperti Gabriel Garcia Marquez menciptakan tokoh Jose Arcadio Buenda yang merintis pemukiman Macondo.
Dalam ingatan saya yang tak keruan dan kebanyakan melankolia, kampung masa kecil saya, disebut daerah ABC di Salatiga, merupakan kampung yang indah saking alaminya. Begitu bangun tidur kami menatap biru Gunung Merbabu.
Setiap rumah memiliki kebon luas, terhubung satu sama lain. Kampung halaman artinya satu kampung bersatu dalam satu kebun satu halaman. Siapa tak kangen dengan kampung halaman.
Sungai kecil berair jernih membelah kampung. Di situ kami bermain, mandi, gembira membandingkan burung masing-masing di antara teman. Punya saya tak terlalu besar tak terlalu kecil.
Listrik belum masuk desa. Malam hari kami hidup dalam buaian dongeng dan misteri malam. Puluhan tahun kemudian, semua itu membentuk pemahaman saya dalam apa yang kira-kira disebut sebagai magic realism.
Setiap saat kami membaui wangi gabah diproses jadi beras di pabrik beras ABC. Dari pabrik beras yang kini tak ada bekasnya itulah kampung kami memperoleh sebutan tadi: ABC. Sebutan ABC lebih populer daripada nama kampungnya: Ngaglik.
Di Ngaglik ini ada keluarga Salim (seperti saya sebut tadi, mungkin saya salah menyebut nama) yang dikenal sebagai pembuat getuk. Getuk adalah makanan dari singkong. Singkong direbus, ditumbuk halus, dicampur dengan parutan kelapa.
Biasanya getuk tersedia sore hari. Hangat, gurih, itulah kemewahan masa kecil yang melekat dalam ingatan saya.
Puluhan tahun tidak lagi tinggal di Salatiga, baru pekan lalu saya berkesempatan mengajak istri ke taman bermain saya di masa kecil itu.
Pukul 05.00 lebih sedikit. Pagi masih sepi.
Saya ajak dia jalan kaki menelusuri kampung. Kampung sudah berubah total. Jalan tanah kini telah jadi jalan beraspal. Hanya karena lay out tidak berubah, dengan mudah saya mengenali rumah siapa saja kira-kira yang ada di situ dulu.
Kebon-kebon tak ada lagi, berubah jadi rumah-rumah, saling berimpitan. Sungai mutiara saya sudah tak ada lagi. Kering. Dekat situ jadi tempat pembuangan sampah.
Yang menakjubkan, kampung Ngaglik telah berubah jadi kampung industrial, dengan produk utama getuk. Kalian tinggal memasukkan nama getuk pada mesin pencari Google, akan muncul keterangan bagaimana getuk telah menjadi salah satu ikon kuliner Salatiga.
Dugaan saya, pelopor industri getuk adalah keturunan Salim entah yang keberapa.
Saat saya kecil, Salim jangan-jangan membuat getuk karena tradisi keluarga, meneruskan kebiasaan orangtua atau mungkin kakek.
Kalau diurut secara turun-temurun, berselang waktu sekitar 100 tahun sampai ABC menjadi sentra getuk saat ini.
Sekarang di situ terdapat patung singkong besar.
“Seandainya saya menulis novel, saya ingin menggambarkan perjalanan 100 tahun ABC menjadi kampung singkong,” kata saya kepada istri.
Dia suka dengan gagasan saya yang ingin meniru-niru Gabriel Garcia Marquez dalam One Hundred Years of Solitude.
“Tulislah,” kata istri. “Kamu sebagai anak singkong.”***
Semua memiliki kenangan. Bahkan pembantu saya dulu yg tinggal di daerah Bumiayu pernah saya antar mudik bareng lewat Bumiayu. Dia tak pernah keluar kota.
Saya tanya. Rumahmu di mana? Pokoknya nanti kalau sudah sampai Bumiayu, nanti ada tugu reklame ABC! Nah, dari situ naik ojek.
Cilaka. Bagaimana kl papan reklamenya sudah ambruk dimakan usia?
Kenangan spasial akan kampung halaman melekat di otak. Disimpan di otak sampai akhir hayat.