Ketika muncul gagasan untuk membikin fragmen pementasan Kidung Anjampiani di Studio Mendut, Magelang, menandai peluncuran novel dengan judul sama, Wijaya Eka dari penerbit Pojok Cerpen dan Tanda Baca yang menerbitkan novel tersebut bertanya pada saya: siapa yang akan main?
“Kamu,” jawab saya. “Eka akan memerankan tokoh Kuda Anjampiani.”
Ia menatap saya dengan tatapan tidak percaya.
“Pak Bre main-main?” ucapnya.
Entah mengapa dia memanggil saya pak dan memanggil istri saya mbak, Mbak Vivi.
“Saya serius,” kata saya.
Dia terdiam seperti tidak percaya, sebelum kemudian berujar, “Saya kira ini gagasan Pak Bre yang paling buruk.”
Ia menerangkan seumur hidup tidak pernah main pertunjukan panggung. Kurang mengenal kesenian rakyat. Naskah yang saya tulis berbau ketoprakan. Dia tidak kenal ketoprak, karena meski tinggal di Yogya ia lahir dan menghabiskan masa kecil-remaja di Papua.
“Dengan ini kamu akan kenal ketoprak. Kamu jadi Kuda Anjampiani, dan Jais Darga dari Bali akan berperan sebagai Martaraga, istri Rangga Lawe sekaligus ibu Kuda Anjampiani,” saya menggarisbawahi keputusan saya.
Jais Darga adalah perempuan kosmopolit, art dealer, pernah punya galeri di Bali dan Paris, semasa muda aktif dalam kelompok teater asuhan Remy Sylado di Bandung. Dia pernah ikut ambil bagian main film berjudul Gadis Marathon pada tahun 1980an bersama Roy Marten dan Jenny Rachman.
Eka, begitu saya memanggil Wijaya Eka, tidak berdaya.
Dia lemas, tapi manut.
Saya memproyeksikan, pentas ketoprakan yang akan saya bikin di studio sahabat saya, Sutanto, berkolaborasi dengan para seniman/petani desa di gunung-gunung sekitar situ bukanlah performance dalam pengertian industrial sebagai showbiz.
Kalau dalam showbiz ukurannya bikin kemasan pertunjukan dengan target harus bagus, berpamrih dapat pujian, lebih jauh lagi andaikata dijual karcis laris, pada produksi di desa ini sama sekali bukan itu niat saya.
Saya meniatkan sebuah happening untuk mengembalikan manusia pada sesuatu yang alami.
Kembali pada akar kehidupan.
Bukan soal bagus atau tidak bagus.
Melainkan kesadaran akan ruang dan waktu, bahwa diri kita adalah cerminan alam semesta.
Alam sebagai jagat besar, diri sebagai jagat kecil.
Makrokosmos-mikrokosmos.
Lebih dua tahun kita dirundung suasana pandemi.
Persis pada Malam 1 Suro yang jatuh pada tanggal 29 Juli 2022 saya ingin membuat pertunjukan yang bersifat ritualistik, menjadi bahan refleksi untuk mengingatkan diri sendiri akan kesejatian hidup.
Kasunyatan. Kesadaran. Awareness. Eling.
Tiga hari sebelum hari H, tanggal 26 Juli, saya datang di Studio Mendut, Mungkid, Magelang.
Bersama Sutanto saya melakukan briefing terhadap Kelompok Lima Gunung, teman-teman yang sudah berteman dengan saya sejak lama seperti Ismanto, Sujono, Haris Kartorahardjo, Endah, Hari Atmoko, dan lain-lain.
Pada komunitas ini terus bermunculan wajah-wajah baru.
Yang terhitung baru, masih muda, adalah Singgih dan Ryan.
Semua orang membaca dan mempelajari naskah saya.
Sore itu kami berdiskusi dan melakukan interpretasi terhadap naskah.
Saya sangat senang.
Mereka cerdas dan tidak membosankan seperti orang-orang kota yang kurang baca dan kreativitas dirayakan sebatas pamer pakaian bagus di zebra cross pusat kota.
Itulah banalisme masa kini, akibat perkembangan teknologi digital yang mendorong bukan saja konsumerisme eksesif tapi juga narsisisme.
Kewajaran hidup telah hilang.
Orang memoles kesejatian diri, berubah menjadi manusia gadungan dalam citra digital.
Ohhh, dimana kewajaran hidup.
Kewajaran itulah yang ingin kami rengkuh kembali.
Dua hari sebelum pementasan kami berkumpul lagi kali ini ditambah Jais Darga yang telah datang dari Bali dan Eka yang datang dari Yogya.
Semua berlatih mengekspresikan peran masing-masing.
Jais Darga dan Eka melancarkan dialog dan bloking masing-masing sebagai Martaraga dan Anjampiani.
Seniman gunung, pemain jenis kesenian rakyat soreng bernama Untung akan menjadi Rangga Lawe.
Nambi diperankan oleh Dakir.
Di luar itu ada sinden Irma, penari Lira, dan teman-teman lain seperti Ismanto, Sujono, Hudi, Handoko, Nabila, dan lain-lain.
Sehari sebelum pementasan, dilakukan latihan sekali lagi pada malam hari untuk mengintegrasikan semuanya termasuk dengan urusan tata lampu dan tata suara.
Latihan ditunggui sahabat-sahabat saya Adi Wicaksono dan Deddy PAW. Juga Anna dari Bandung yang menemani Jais.
Teman-teman dekat selalu ada di dekat kita tatkala kita membikin sesuatu.
Begitu cara kita menyaring mana teman dekat dan mana yang bukan.
Yang tidak ada di dekat kita pada senang dan susah jangan dianggap teman.
Malam 1 Suro, 29 Juni 2022.
Di antara kawan-kawan yang hadir, selain dari Magelang dan sekitarnya juga dari Yogya, Solo, Semarang, Jakarta, Bandung, ada Prof Hendrawan Supratikno yang akan menjadi pembahas buku, serta Kapolres Magelang Kota, AKBP Yolanda.
Terimakasih juga pada Sarie Febriane, Bion, Benita, Candra, dan lain-lain yang malam itu saya bahkan tak sempat bertukar sapa seperti Arief Sadjiarto dari Salatiga dan Henny serta Irma dan Yogya.
Irma membawakan gudeg bikinannya yang enak sekali.
Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon….
Saya katakan pada mereka semua, Wijaya Eka adalah penerbit independen.
Kerja penerbitannya tangkas, menerbitkan buku-buku bermutu.
Dia menerbitkan terjemahan karya-karya besar Amerika Latin dalam bahasa Indonesia langsung dari bahasa Spanyol oleh Ronny Agustinus.
Di dunia ada milyaran atau bahkan triliunan buku.
Waktu kita pendek. Jangan baca buku tidak bermutu. Pilih yang bermutu saja.
Bagi saya orang mau usaha apa saja atau berprofesi apa saja harus dekat dengan aktivitas kebudayaan.
Ibu Kapolres Magelang Kota, Yolanda, dekat dengan para seniman.
Saya dikenalkan padanya oleh kolektor terbesar di Indonesia sekaligus seorang Maecenas, dokter Oei Hong Djien.
Ibu Yolanda akan membawa polisi makin berbudaya.
Saya doakan dia akan jadi kepala polisi seluruh dunia.
Kepada semua yang hadir malam itu saya mendoa untuk kehidupan yang lebih baik, dunia yang lebih baik, semesta yang lebih baik.
Hong wilaheng.
Hong wilaheng sekaring bawana langgeng.
The Mulyo, Wonosari, Gunung Kidul
31/7/2022