Skip to main content
Nota

Terbang di Kala Pandemi

By June 18, 20214 Comments

Terhitung sejak pandemi baru pertama kali ini saya bepergian naik pesawat. Terakhir naik pesawat awal Maret 2020, persis ketika dunia di tubir lockdown. Waktu itu saya ke Yogya untuk Jogjarockarta, melihat penampilan Whitesnake, Scorpions, God Bless, dan lain-lain. Itulah festival manusia darah daging, nyata, hangat dalam kerumunan sosialisasi orang-orang dengan minat sama dalam hal ini orang yang menolak tua, yang mudah-mudahan akan terulang lagi entah kapan.

Rock never dies.

Karena keperluan keluarga amat penting, saya harus ke Samarinda. Istri membooking pesawat untuk penerbangan Jakarta-Samarinda tanggal 17 Juni 2021.

Saya baru sadar efek teralienasi selama pandemi tatkala hendak bepergian naik pesawat seperti ini. Perasaan saya seperti manusia yang pertama kali hendak naik pesawat. Telepon teman-teman yang telah naik pesawat selama pandemi, tanya apa dan bagaimananya.

“Harus taat pada protokol kesehatan,” salah satu teman yang wira-wiri Jakarta Bali memperingatkan. “Bawa pencuci tangan, disinfectant, bawa alat makan sendiri, pakai masker rangkap dua.”

Buru-buru saya ke apotek membeli itu semua.

“Nanti di pesawat sebelum duduk semprot kursi dengan disinfectant,” perintahnya. “Juga sekelilingnya.”

“Orang-orang di sekeliling juga saya semprot?” saya bertanya.

“Ya tidak. Masak muka orang mau kamu semprot,” ia menjawab.

Dua hari sebelum jadwal keberangkatan tiba-tiba kami mendapat notifikasi dari perusahaan penerbangan, bahwa jadwal penerbangan kami cancelled alias batal.

Kami disuruh menghubungi kantor maskapai bersangkutan untuk menentukan pilihan, reschedule (ganti jadwal) atau refund (uang kembali).

Baiklah, memang masa sulit. Kami maklum. Barangkali kuota penumpang tidak mencukupi sehingga penerbangan dibatalkan.

Problemnya, ketika menelepon kantor maskapai, meski telepon masuk yang menjawab melulu mesin, memberi tahu bahwa petugas sedang sibuk melayani pelanggan lain.

Ribuan kali kami menelepon jawabnya sama.

Kami tinggal di desa, Ciawi. Akhirnya kami putuskan untuk ke Bogor, mendatangi langsung kantor maskapai.

Sampai alamat, ternyata kantor maskapai itu telah tidak ada. Kantor maskapai penerbangan tersebut telah diakuisisi toko roti di sebelahnya—kebetulan roti langgangan saya.

Selama pandemi, terbukti bisnis penerbangan kalah sama bisnis roti.

Daripada pusing memikirkan terbang saya beli roti lemper kesukaan saya. Sambil berserah, kalau Tuhan mengizinkan nanti juga bisa terbang. Kalau tidak, ya tidak apa-apa.

Eh, persis pada detik itu, masuk telepon keponakan saya. Keponakan ini memang saya minta untuk terus mencoba telepon kantor penerbangan, siapa tahu bisa berhubugan dengan petugas.

Ia memberi tahu, berhasil menelepon dan telah menjadwalkan ulang tiket kami. Tanggal dan hari sama, cuma beda jam, agak siang.

Saya lega, seperti mendapat uang triliunan hasil undian entah apa pokoknya bukan hasil mencuri uang rakyat.

Malam menjelang hari keberangkatan perasaan hendak terbang ke Samarinda seperti perasaan hendak terbang ke New York.

Dini hari bangun. Ingin sampai di bandara Cengkareng sepagi mungkin. Semua dokumen disiapkan baik-baik, termasuk hasil test antigen.

Di bandara clingak-clinguk seperti rusa masuk kampung. Di bandara Frankfurt atau JFK New York dulu saya langsung menghambur cari bir. Ini mau beli air putih saja tidak berani. Takut salah.

Usai check in, masuk ruang tunggu saya mencari tempat duduk sejauh-jauhnya dari manusia. Andai di ruang tunggu saya melihat Anne Hathaway duduk sendiri pun saya tidak akan coba-coba sok akrab duduk di sebelahnya. Padahal dulu saya gemar coba-coba, siapa tahu beruntung.

Pesawat lepas landas sesuai jadwal.

Dua jam kemudian kami mendarat di bandara APT Pranoto Samarinda.

Keponakan menjemput.

Dalam perjalanan ke kota Samarinda saya minta untuk mampir dulu ke sebuah kuil Buddha. Saya tahu di situ terdapat kafe, menyediakan espresso dan singkong goreng luar biasa enak, singkongnya organik.

Saya menikmati espresso sambil menatap patung Buddha.

Tiba-tiba di kejauhan saya melihat pelangi.

Betul, setelah awan kelabu akan muncul pelangi.***

Join the discussion 4 Comments

Leave a Reply