Orang lama kampung ini, namanya Mi’an, menemani saya ziarah di makam kampung kelahiran saya di Salatiga. Sebelum kota berkembang seperti sekarang, semua sudut kota padat dan ramai memberi kesan umpek-umpekan, dulu kampung ini sepi. Malam gelap gulita. Listrik belum masuk kampung.
Kakek buyut saya, eyang Singayuda, boleh dikata penghuni pertama makam ini. Menyusul kakek, orangtua, sanak saudara, dan lain-lain. Bagi saya makam ini adalah makam keluarga.
Saya bisa mengingat orang-orang lama dalam kehidupan bersahaja kampung pada masa lalu—pada masa kanak-kanak dan remaja saya.
Inilah kampung halaman: satu kampung satu halaman. Itulah makna kekeluargaan kami. Satu sama lain anggap diri keluarga.
Anak-anak bermain dalam satu halaman.
Siang hari bermain jenis permainan apa saja yang kini telah punah digantikan permainan teknologi digital—mainan yang membuat semua loyo kecuali jari jempol. Kadang kami berkelahi.
Malam tatkala purnama kami punya permainan yang namanya kalau tidak salah ingat “jamuran” (atau “jaringan”?).
Tanpa penerangan cahaya lampu listrik bulan tambah ayu. Berciuman saat bulan purnama katanya bikin awet muda. Entah mbak siapa dulu berkata demikian.
Ah, kampungku.
Selamanya saya adalah kampung boy.
Time flies, kata orang kota.
Kampung yang dulu di pinggiran kota, sepi, jalanan tanah, rumah jarang-jarang, lebih banyak kebon, kini berada di tengah kota. Jalanan beraspal, rumah berimpit-impitan di kiri kanan jalan. Rumah berbilik bambu diganti tembok.
Jelas tak mungkin lagi bocah-bocah bisa mengintip mbak-mbak mandi di bilik di samping sumur dekat kebon.
Dulu kami cukup kenal anatomi para tetangga.
Semoga dosa kami diampuni.
Cenggeret dan burung-burung pasti telah lama terusir.
Suara cengkerik malam hari diganti suara bising knalpot sepeda motor.
Keaslian alam yang masih tersisa dipoles untuk tampilan instagramable.
Orang berpuas diri dengan tampilan palsu.
Ekologi kita adalah ekologi kebohongan dan kepalsuan.
Sembilan puluh persen penghuni kampung tidak saya kenal lagi.
Hanya para penghuni makam yang diam seribu bahasa ini yang saya kenal.
Mi’an menerangkan satu persatu nisan di makam. Mereka adalah bagian dari masa lalu saya.
“Itu mbah Kami,” kata Mi’an menunjuk nisan kayu.
Teringat sangat jelas di mata saya wajah mbah Kami. Masih terbilang famili.
“Yang di dekatnya itu putra-putranya. Warno, Slamet,” Mi’an menambahkan.
Saya taburkan bunga di makam mbah Kami dan anak-anaknya.
“Mas Warno, mas Slamet Kebo, iki aku, Bre. Istirahatlah dengan damai,” ucap saya sambil menabur bunga.
Satu persatu pusara ditunjuk Mi’an.
“Nah itu mbak Yanti, putri bu Yatmi. Ingat? Belum lama meninggal,” Mi’an menunjuk makam yang tampak masih baru.
Saya membawa bunga cukup banyak.
Semua nama yang ditunjuk Mi’an saya taburi bunga.
“Makam siapa yang bagus itu?” tanya saya menunjuk dua makam berdampingan, modelnya sama.
Mi’an menyebut nama.
“Oohhh…,” saya berseru dalam hati.
Pengin senyum juga. Terus terang saya ingat anak gadis pasangan tersebut.
Cantik. Pernah saya mengantar dia pulang ke rumah, malam hari, menyusuri jalan kampung gelap gulita. Ingat kenakalan masa itu.
“Nyuwun ngapunten,” saya berucap demikian di depan makam orangtua gadis cantik dengan pengalaman tak terlupakan, kemudian menabur bunga.
Saya merasa begitu intim berdialog secara batin dengan para penghuni makam.
Ziarah seperti ini serasa memberi jeda sejenak dari dunia yang gaduh penuh pertikaian terutama pertikaian lewat media sosial. Dunia seolah cuma ditopang dua tiang: pemujaan berlebihan dan kebencian berlebihan. Saling hujat dan caci maki. Cebong-kampret; banteng-celeng; berikutnya entah episode apa lagi.
Tidak ada keheningan batin di atas bumi di bawah langit tempat orang menyemaikan damai dan cinta kasih.
Bunga saya tabur di sana-sini sampai habis.
Saya berdiri di tengah makam.
Di depan saya terdapat pusara dengan nama tidak saya kenal.
“Maaf, engkau tidak kebagian bunga,” kata saya.
Persis usai saya berucap demikian, tiga kuntum bunga kamboja warna kuning jatuh di atas makam tersebut.
Saya terhenyak.
“Ternyata engkau dapat bagian juga. Dari alam. Lebih mulia dari yang bisa diberikan manusia,” bisik saya.
Saya meninggalkan makam dengan lega.***
17/10/2021
Kampung gelap tanpa listrik, lorong tanah, pagar hidup teh-tehan dan worawaribang, antara ABC, Ringinawe, hingga Tegalrejo, mengantarkan seorang mbakyu pulang, lalu… 🙊🙈
Edan imajinasi sampeyan.