Skip to main content
Cerita

Abadilah Kenangannya

By September 28, 2024No Comments

Abadilah kenangannya, begitu selalu diucapkan oleh Mundro setiap kali ada teman berpulang ke alam baka.

Dia teman sejak bangku taman kanak-kanak, hanya terpisah saat jenjang sekolah menengah karena saya bersekolah di luar kota.

Lulus SMA saya balik ke kota kecil ini, sama-sama berkuliah di universitas yang sama cuma beda fakultas, ia belajar hukum saya sastra.

Meski beda fakultas sangat sering kami runtang-runtung berdua dikarenakan antusiasme yang sama pada aktivisme kampus. Kami sama-sama aktif pada kegiatan kelompok diskusi, teater, dan terutama pers kampus.

Di koran kampus dengan tulisan yang menyala-nyala waktu itu Mundro menjadi ilustrator dan karikaturis—karikaturnya selalu tajam mengeritik penguasa—sekaligus menangani artistik penerbitan kami.

Saya pikir dia lebih cocok jadi seniman daripada ahli hukum.

“Orantuaku pengin aku jadi ahli hukum,” kata Mundro mengenai mengapa dia memilih fakultas hukum.

“Apakah kamu sendiri sreg?” tanya saya.

“Sreg dalam pengertian aku bisa menyenangkan orangtua,” jawabnya.

Saya kagum. Itu saya pahami sebagai asketisme, menomorduakan kepentingan sendiri.

Sama halnya ketika kami sama-sama lulus kuliah. Hampir semua teman aktivis pers kampus kemudian meninggalkan kota kecil ini, kini ada yang di Melbourne, Amsterdam, Toronto, selain Jakarta, kecuali Mundro.

Dia tetap tinggal di kota ini, di rumah orangtua.

Saya sendiri setelah urung tinggal di Beijing kini tinggal di desa di Jawa Barat, namanya Sukasari (ada tetangga pernah minta nama untuk anaknya karena katanya dia dengar bahwa saya “sastrawan nasional”. Saya tertawa, dan saya beri nama bayi perempuannya itu Inne Sukasari).

Setiap kali pulang kampung tak pernah terlewatkan saya kunjungi Mundro. Tidak jarang saya menginap di rumahnya—sama seperti tatkala kuliah dulu saya sering tidur di situ.

Rumah dia tergolong bangunan lama yang tak ada duanya. Bentuknya sederhana dengan dinding papan.

Menurut cerita, rumah ini dibangun oleh militer Jepang sebagai pemancar radio. Masuk akal kalau dilihat bagaimana rumah itu terkesan bersuasana “industrial”. Dinding papannya rustic tidak diperhalus.

“Kayu kualitas seperti ini tak ada lagi. Rayap tak sanggup menggerogotinya,” kata Mundro akan kualitas dinding papan rumahnya.

Tiada yang lebih tepat bagi hunian di daerah dingin pegunungan seperti kota kami dari materi seperti ini: memberi kehangatan saat udara dingin dan menahan hawa panas tatkala kemarau.

Ruang tengah lebar tanpa sekat, dimanfaatkan sebagai ruang tamu.

Kamar Mundro di mana saya sering nginap terletak di bagian depan dengan jendela menghadap halaman, atau tepatnya menghadap kebon.

Rumah ini memang berada di tengah kebon—satu perkecualian lagi bahwa di tengah kota ada yang seperti ini, sampai sekarang.

Dulu bersama teman-teman kami biasa duduk-duduk di bawah pohon rambutan sambil ngobrol dan diskusi macam-macam. Kadang nimbrung dosen kami, ahli tentang strukturalisme lulusan Harvard University.

Oh ya, juga pemikir post-modernisme yang kini mengajar di Melbourne.

Setiap musim rambutan kami bebas menikmati rambutan dari pohon yang berbuah lebat. Rambutannya jenis sangat manis, kisat, dagingnya tebal. Mungkin dulu yang menanam juga  orang Jepang. Made in Japan adalah produk unggul. Lihat saja, album terkemuka Deep Purple pun mengambil judul Made in Japan dengan hit “Woman from Tokyo”.

Mundro hobi elektronik dan pengumpul vynil atau piringan hitam. Bahkan ketika zaman merajalelanya kaset pada masa kami kuliah dulu dia bertahan dengan kegigihan memburu dan mengoleksi vynil.

“Pengarah artistik industri piringah hitam sadar betul pentingnya sampul ph,” kata Mundro.

Dia menunjukkan sampul-sampul piringan hitam yang tengah dinikmatinya dari Sergeant Pepper’s Lonely Hearts Club Band oleh The Beatles sampai piringan-piringan jazz seperti album John Coltrane Alternate Takes. Memori visual saya cukup bagus, saya bisa ingat itu semua, termasuk foto penyanyi Indonesia seperti Diah Iskandar, Ernie Djohan, dan Dara Puspita.

“Susy Nander ini cantik ya,” kata dia menunjuk drummer Dara Puspita.

“Iya,” saya sepakat. “Selalu pakai hotpants,” tambah saya.

Alat putar piringan hitam ia rawat dengan sangat baik, dilengkapi dengan amplifier bikinan sendiri.

Dia seorang handyman dengan kepekaan estetik.

Tak pernah saya lupakan suasana sore di rumahnya menikmati lagu-lagu yang ia putar dari piringan hitam koleksinya—layaknya dia operator radio.

“Mungkin kamu kemasukan roh operator radio Jepang,” kata saya.

“Beda. Pemancar radio pada zaman itu dimaksudkan untuk mengirim sandi-sandi untuk keperluan perang,” tukasnya.

“Oohh…,” saya baru paham.

“Bukan untuk urusan melankolis dengerin lagu Diah Iskandar seperti ini,” ucapnya dengan senyum terbatas—salah satu ciri khas dia.

Pekan lalu saat liburan dan menyambangi kota ini saya menyempatkan diri mampir ke rumahnya.

Yang menghuni rumah itu adalah putra sulungnya bernama Anthony. Anthony telah berkeluarga, punya satu anak, umur sembilan tahun.

Ketika saya datang hanya Anthony yang berada di rumah.

Katanya istri sedang mengantar anak les piano.

“Sudah lama sekali Oom tidak pulang kampung,” kata Anthony pada saya.

“Ya, cukup lama, saya sibuk,” jawab saya.

Saya tidak lagi punya rumah di kota ini.

Setiap kali pulang kampung saya nginap di hotel.

Anthony saya kenal dari kecil, kira-kira umur 9 tahun seperti anak dia sekarang.

Saya memeriksa rumahnya.

Tak ada perubahan yang berarti.

Koleksi piringan hitam Mundro dipertahankan, bahkan bertambah. Rupanya Anthony mewarisi hobi ayahnya.

“Apa kegiatanmu sekarang, Anthony?” tanya saya.

“Grafik desain, Oom,” jawabnya.

Saat itu ia mengaku sedang deadline.

Ia minta maaf harus melayani saya sembari menyelesaikan pekerjaan.

“Take your time,” kata saya. “Saya juga ingin sendiri menikmati rumah ini,” lanjut saya.

Anthony tertawa.

“Silakan Oom, seperti dulu saja. Ini juga rumah Oom,” ucap Anthony.

Dia kembali kerja.

Saya memilih duduk di bangku di bawah pohon rambutan tak ubahnya zaman dulu.

Pembantu menyuguhkan kopi, disusul pisang goreng yang masih hangat.

Sambil kembali ke kesibukan kerjanya, dari dalam rumah Anthony menyetel piringan hitam untuk bisa saya nikmati dari bawah pohon rambutan.

Lucy in the Sky with Diamonds.

“Itu lagunya Oom,” teriaknya dari jendela.

Saya mengacungkan jempol. Betul, itu yang mewarnai novel saya Koran Kami with Lucy in the Sky.

“Kenangan itu sifatnya abadi,” kata Mundro.

Tiba-tiba dia muncul duduk di depan saya.

Saya kaget.

Mundro telah meninggal lebih dari 10 tahun lalu.

Seketika saya menenangkan diri.

Dalam hati saya mengucap doa.

Terus terang saya terbiasa dengan gejala seperti ini.

Tatkala rumah kami terjual dulu, saat saya melangkah meninggalkan rumah usai penyerahan kunci pada pembeli saya melihat sekejap sosok wanita melambai-lambaikan tangan pada saya.

Rupanya “penghuni” rumah saya itu ingin mengucapkan selamat tinggal pada saya.

Masih banyak pengalaman serupa saya alami, tapi tidak akan saya perpanjang di sini.

Khawatir pembaca merinding.

“Apa maksudmu dengan kenangan yang sifatnya abadi,” saya melakukan percakapan dengan roh.

“Seluruh kenangan kita itulah yang abadi, kita bawa ke alam kelanggengan,” jawabnya.

Dulu beberapa kali saya menemani Mundro berendam di mata air di kota kami pada tengah malam.

Habis berucap demikian tadi ia lenyap.

Saya menoleh kiri-kanan.

Tidak ada apa-apa dan siapa-siapa.

Lucy in the Sky telah berakhir diganti Across the Universe.

Menjelang petang saya pamit pada Anthony, pulang ke hotel.

Persis di depan toko besi tidak jauh dari hotel tanpa sengaja saya berpapasan dengan Meimei, anak pemilik toko besi.

“Gitanyaliiiii,” Meimei berseru.

Dia baru pulang misa sore dari gereja.

“Kamu tidak berubah,” kata Meimei.

“Kamu juga,” saya menukas, sembari memperhatikan wajahnya yang dulu kuandaikan sebagai Dewi Bulan. “Senantiasa cantik. Cantik itu sifatnya abadi,” komentar saya terbawa percakapan roh.

“Ah ada-ada saja kamu. Suka ngaco, maklum pengarang. Aku baca semua bukumu. Ayo dong mampir,” katanya.

Selintas saya lihat pipinya memerah, blushing.

Dia masih tinggal di tokonya.

“Saya melanjutkan usaha Papa,” ia menerangkan.

“Bagaimana kalau nanti malam?” saya mengusulkan.

“Bener ya. Awas kalau tidak,” katanya mencablek lengan saya.

Di kamar hotel, mandi menyegarkan diri di bawah siraman air hangat sebelum memenuhi janji nanti malam, saya teringat banyak hal tentang masa lampau, termasuk bahwa saya pernah naksir Meimei.***

28/9/2024

Leave a Reply