Dua Labrador berkeliaran di pinggir jalan.
Aneh.
Ini jalanan pinggir kota, jauh dari mana-mana, bukan lingkungan perumahan, tak ada rumah, bangunan apa pun atau gubuk sekali pun.
Saya injak rem jeep Mercedes G-Class yang saya kemudikan.
“Kita berhenti,” saya suka bercakap-cakap dengan apa pun.
Dengan lampu hazard menyala kedap-kedip mobil saya berhentikan di tepi jalan.
Agak berlari-lari kecil saya menuju 2 labrador.
“Siapa kalian? Kenapa di sini?”
Black Lab jantan. Bulu hitamnya mengkilap tanda terawat. Saya taksir dua-duanya umur sekitar 6 bulan.
Konon usia anjing 7 kali lipat usia manusia. Kalau manusia umur 1 tahun berarti anjing 7 tahun. Dengan usia 6 bulan seperti taksiran saya, 2 Black Lab ini berarti masih balita. Pas lucu-lucunya.
Saya mempelajari komunikasi dengan anjing dari Cesar Millan.
Keduanya tanpa collar.
Bagian dalam daun telinga saya periksa. Identitas anjing biasanya tertattoo di situ.
Saya mendapati tattoo kurang jelas, satu dengan tattoo menyerupai huruf S, satu lagi mirip huruf R.
“Kalian ikut saya saja,” saya memutuskan.
Mereka tak menolak. Satu saya bopong di kanan satu di kiri, saya bawa ke mobil.
Di dalam mobil tengah terputar lagu Simon & Garfunkel, “Cecilia”.
Cilia, you’re breaking my heart
You’re shaking my confidence daily
Oh, Cecilia, I’m down on my knees
Tampaknya mereka senang mendengarnya.
“Sesuai tanda di telinga, kamu saya namai Samu, kamu Rai.”
Samu menjilat lengan saya.
“Ha-ha, engkau setuju.”
Mulai saat itu—dan saya berjanji untuk selamanya—2 anjing ini adalah bagian hidup saya.
SAMU berkarakter ceria, Rai lebih pendiam.
Pada mulanya saya bahkan mengira Rai bisu. Sampai seminggu di rumah tidak pernah terdengar suara gonggongannya atau suara apa pun muncul dari moncongnya. Ketika akhirnya Rai menggonggong saya tepuk tangan.
“Ternyata kamu tidak bisu,” ucap saya.
Saya usap-usap kepalanya.
“Coba ceritakan asal-usul kalian.”
“Kami turun dari langit,” ucap Samu. “Dulu kami piaraan Raja Yudhistira. Usai perang Bharatayuda, hanya 5 Pandawa bersaudara tersisa, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa. Mereka berlima mendaki Himalaya untuk mencapai sorga, tapi dalam pendakian keluarga Pandawa mati satu persatu. Hanya Yudhistira berhasil mencapai pintu sorga, disertai kami berdua sebagai peliharaan beliau. Sorga tidak menerima anjing. Untuk tidak menyulitkan majikan yang berhati mulia itu sengaja kami berdua balik badan kembali ke bumi, mendarat di tempat kita ketemu.”
Oh ya, saya lupa menceritakan dari awal bahwa Samu adalah anjing yang pandai bercerita.
Cerita Samu selalu runtun, enak didengar, meski saya senantiasa meragukan kebenarannya.
“Benarkah demikian?” saya beralih ke Rai.
“Na… na… banana,” kata Rai.
Saya tersenyum. Begitulah dia. Sedapat mungkin saya tetap mengajak Rai bicara meski ucapan dia selalu tak jelas, tak pernah saya bisa menangkap apa yang dimaksudnya.
Menggonggong pun dia tak jelas untuk alasan apa.
Apa ada tamu, ada orang lewat, pengantar paket, gofood, atau apa-apa yang lain.
“Jangan-jangan engkau tidak tahu fungsi menggonggong,” kata saya pada Rai.
“Lol… loll… lollll,” Rai mengeluarkan suara.
“Ya, tolol,” saya menebak-nebak maksudnya.
“Na…. na….”
“Banana, mungkin kamu maksud dulunya kalian Minion. Minion hanya berkata banana,” kata saya. “Atau Bananarama. Itu grup pop Irlandia. Menyanyikan cover Shocking Blue, Venus. Berati kamu diam-diam tahu lagu kesukaanku.”
“Pret… pretttt….”
Saya tambah terhibur.
Dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing dua anjing ini sangat memberi warna pada kehidupan saya sehari-hari.
KEPADA Samu yang bisa diajak bercakap dengan topik dan tema apa saja saya menceritakan teman yang mengeluh akan percakapan di kampung setiap kali dia mudik Lebaran.
“Pertanyaannya selalu mana pasangan saya, mengapa belum punya pasangan, nunggu apa, mengingat apa-apa sudah punya, pekerjaan bagus, punya rumah, mobil, dan lain-lain,” saya menceritakan keluhan teman tadi.
“Jangan dipersoalkan content-nya. Itu semata-mata keinginan untuk berkomunikasi. Bukankah akan tambah aneh dan mengagetkan kalau dalam silaturahmi di kampung mendadak orang bertanya: sampeyan sudah baca World Without Mind. Bahwa kerinduan spiritual seperti dialami generasi boomers telah berakhir karena otak kini diganti mesin algoritma. China paling benar. Komputer di sana disebut diannao. Artinya otak listrik,” Samu menjawab.
Saya akui dia cerdas. Soal buku dia tidak plonga-plongo.
Mungkin karena turun dari langit—itu kalau pengakuannya bisa dipercaya, tidak bohong dan tidak dibuat-buat.
Andaikata bohong dan dibuat-buat pun saya maklumi, mengingat Samu adalah anjing.
“Menurut kamu bagaimana wahai Rai?” saya bertanya layaknya raja bertanya kepada dua patih.
Rai harus dapat kesempatan bicara.
“Aaakkk… akkk… loll… banana,” Rai berkata.
“Baik. Pendapatmu kuterima meski aku tidak paham maksudmu. Sebagai rakyat saya terlatih menerima ucapan yang tak pernah bisa saya pahami terutama ucapan para pejabat. Sore tempe esok kedele.”
“Lolll… lollll… prettt.”
TEMAN yang tahu hubungan saya dengan 2 anjing ini bertanya, bagaimana saya bisa berkomunikasi dengan anjing-anjing ini, mampu mendengar suara mereka—suara yang tidak bisa didengar orang-orang biasa.
Apakah saya memiliki mantra khusus.
Terpengaruh oleh Samu, saya menjawab dengan sedikit mengarang-ngarang bahwa saya mampu mendengar bisikan langit.
“Kamu terpengaruh anjingmu,” teman ini berkomentar.
“Betul,” jawab saya.
“Apalagi yang kamu pelajari dari anjingmu?”
“Sebagaimana anjing, manusia banyak kekurangan. Ada yang micara seperti Samu, ada yang tidak jelas seperti Rai. Kalau boleh saya simpulkan, Samu adalah tipe cendekia: cerdas, micara, tanggap. Rai tipe pasca kecendekiaan: tak jelas bicara apa, menggonggong pun tak ada dasarnya. Saya sudah berjanji menerima kedua-duanya sebagai bagian hidup saya.”
Teman saya manggut-manggut.
“Lolll… loll…. pretttt,” kali ini saya meniru-niru Rai.
“Haa… hahhh… prettt,” teman saya menyahut ikut-ikutan. “Saya lihat kamu telah jadi dewa anjing,” tambahnya.
Saya jabat tangannya.
Dia melihat yang tidak orang lain lihat.
Saya telah jadi dewa anjing.***
28/4/2022