Skip to main content
Cerita

Frida

By June 2, 2024No Comments

KEPADA salah satu peserta latihan nulis di kota itu yang menyatakan berniat menulis cerpen saya katakan sebaiknya nama kota tidak ditulis sebagaimana adanya seperti ia rencanakan.

Kenapa, ia bertanya.

Bagi saya sendiri sebagai penulis yang senantiasa menggoda adalah kata.

Gantilah nama kota tersebut dengan kata entah apa untuk memberi resonansi puitik.

Bagaimana contohnya, tanya dia.

Tidak cukup waktu saat itu untuk memberi contoh.

Saya menjanjikan padanya nanti kalau sempat saya akan menulis suatu contoh cerpen untuknya.

“Sumpe?” ucap cewek ini.

“Sumpeeee,” jawab saya.

Dari semenjak waktu itu dikarenakan kesibukan baru akhir pekan ini saya sempat menulis untuk memenuhi janji saya padanya.

Saya mencomot kata yang secara pribadi terasa menggoda: Frida.

Untuk memenuhi hasrat yang tak kalah puitik pula saya pakai nama kota: Libreria (lengkapnya Libreriamundo, tapi saya hanya ingin menyebutnya Libreria).

Saya datang ke Libreria karena undangan sebuah komunitas baca di kota tersebut.

Mereka memberi saya tiket pesawat.

Lumayan juga, kalau naik kereta butuh waktu sekitar 10 jam.

Dengan pesawat hanya sekitar satu jam.

Saya tiba di Libreria sore.

Acara akan berlangsung esok hari.

Penyelenggara, namanya Harry, menjemput saya di airport.

“Sudah makan, Mas?” tanyanya ketika kami di dalam mobil meninggalkan airport.

“Belum. Tanggung sekali untuk makan siang tadi,” jawab saya.

“Kita makan dulu. Pecel paling legendaris,” ia langsung menentukan pilihannya.

Saya suka manusia penuh determinasi seperti dia.

Bahkan dia tidak merasa perlu bertanya saya suka pecel atau tidak.

Saya lihat kiri-kanan jalan.

Begitu banyak perubahan.

Ada sesuatu yang saya pendam dalam hati, tidak saya ucapkan kepada siapa-siapa: dulu saya punya pacar di kota ini.

Ketika Harry bertanya pernahkah saya kemari, saya jawab pernah, dulu, dulu sekali.

Ia menerangkan ini-itu sepanjang jalan.

“Di manakah Jalan Arkansa?” tanya saya.

“Ooh, di sana. Tergolong pusat kota,” jawabnya. “Daerah pasar loak. Barang bekas apa saja ada di situ.”

Saya tidak menanggapinya.

Tentu saja saya tahu. Pasar loak itu ada sejak dulu.

Terbayang rumah Frida.

Waktu itu pas libur sekolah, saya mengunjunginya dengan naik bis malam.

Sampai Libreria dini hari.

Saya langsung ke rumah teman kuliah yang berasal dari kota ini yang tengah kembali ke rumah orangtuanya karena libur kuliah.

Di tempat teman baik ini saya numpang.

Tempat tinggal dia  berada di kawasan elit dengan boulevard yang di kiri-kanannya berjajar pohon palem tinggi-tinggi.

Mengunjungi rumah Frida petang hari dengan mengendarai motor miliknya, saya diterima dengan sangat baik termasuk oleh ayah-ibunya.

Frida dua bersaudara. Adiknya perempuan, namanya Agnetha.

Sama-sama cantiknya.

Oleh ayah-ibunya diizinkan saya untuk keluar membawa Frida jalan-jalan.

Saya memboncengkan dia berkeliling kota dalam romantisme yang hanya bisa disaingi film Roman Holiday.

Frida menjadi penunjuk jalan.

Dibawanya saya melihat sekolahnya, tempat persewaan alat musik di mana ia sering latihan nyanyi, bahkan sampai ke kota kecil pegunungan yang terkenal sebagai tempat wisata.

Udara sangat dingin.

Masa itu kami sama-sama dalam usia penuh impian: saya mahasiswa dia SMA kelas dua (ia sekolah di SMA paling terkemuka di kota ini dan salah satu gadis paling populer di sekolah).

Kata orang pada usia itu otak lebih banyak diisi oleh impian masa depan.

Beda dengan masa kini saya: otak isinya lebih banyak masa lalu, namanya nostalgia.

Setiap kali mendengar lagu Fernando saya masih sering teringat dia.

ABBA

Itulah sebagian yang masih bisa saya kenang, termasuk pada masa sesudahnya, saya pindah ke ibu kota, meski telah putus tetap sempat berhubungan secara baik, lalu ia nikah, jauh hari kemudian saya dengar suaminya meninggal, dan seterusnya sebelum saya tidak pernah lagi mendengar apa-apa tentang dia.

Berapa puluh tahun lalu semua itu terjadi?

Frida, di mana engkau sekarang?

Setidaknya saya bisa mencari tahu di rumahnya.

Selama tiga hari dua malam di Libreria sengaja pada suatu kesempatan saya membohongi Harry yang karena kebaikannya terus-menerus ingin menemani saya kemana saja.

Saya katakan padanya bahwa sore itu saya ingin istirahat di hotel.

“Capek, pengin tidur,” saya mengarang alasan.

Sendirian dengan taksi online saya menuju Jl Arkansa no 6.

Luar biasa perubahan jalan yang tidak seberapa panjang ini.

Dulu memang sudah dikenal sebagai tempat para pedagang barang bekas menggelar lapak di pinggir jalan, namun tidak seperti sekarang di mana pedagang berjibun.

Istilah goyonannya: perdagangan maju. Pedagang maju ke tengah jalan.

Area yang dulu cukup sepi dengan pohon-pohon kenari dan asem di pinggir jalan kini ramai luar biasa.

Kesannya kumuh.

Rumah dia adalah rumah kuno tinggalan zaman Belanda, rumah para pejabat jawatan kereta api.

Saya mendapati rumah di Jl Arkansa no 6 kini tersembunyi di balik warung jualan ayam kremes.

Rumah itu pudar dan kurang terurus.

Ah, waktu…

Saya menekan bel di dinding dekat pintu.

Terdengar suara langkah.

Dan ketukan.

Pintu dibuka.

Baik saya dan yang membuka pintu sama-sama kaget.

Ia menatap saya seperti tak percaya.

Begitu pun saya.

Seperti saya, rambut Frida telah memutih.

Ia menopang tubuh dengan tongkat.

Ketukan tongkat di lantai inilah yang saya dengar tadi.

Hanya dia di rumah.

Ayah ibunya telah tiada.

Agnetha di Jerman, ikut suami, begitu cerita dia.

DEMIKIAN kurang lebih cerita saya tulis untuk peserta kelas menulis tersebut.

Semua nama baik nama kota, nama jalan, nama orang, tidaklah nyata.

Mereka tidak ada selain sebagai kata yang saya biarkan berjalan dengan kakinya sendiri.

Sebelum ke Libreria saya sempat jalan-jalan ke Eropa, mengunjungi antara lain kota Salzburg di mana salah satu keponakan saya kuliah.

Salzburg adalah kota yang sangat anggun, sampai-sampai saya tidak berani mengenakan jeans.

Pada sebuah toko cenderamata keponakan saya berniat membeli tongkat.

Saya kaget dan heran.

“Kamu masih muda, buat apa tongkat?” tanya saya.

“Tongkatnya sangat bagus. Kalau toh tidak dipakai sekarang, siapa pun akan jadi tua dan pada waktunya akan pakai tongkat,” kata dia.

Saya termenung mendengar ucapannya.

Pandangannya tentang masa depan saya akui jauh lebih benar daripada saya yang hanya bisa menatap masa lalu dan tidak pernah merefleksikan masa depan.

Saya jadi ikut-ikutan dia membeli tongkat, terbuat dari kayu oak dan memang luar biasa bagusnya.

Seindah Sound of Music dari kota ini.

Kepada Frida saya janjikan, nanti saya akan mengirim tongkat yang sangat bagus yang saya beli di Salzburg.

Frida berbinar-binar.

“Dari dulu kamu suka bikin kejutan,” katanya.

Bagian terakhir cerita ini sengaja saya tambahkan untuk memperlihatkan kapada siapa saja betapa tipisnya perbedaan antara yang nyata dan tidak nyata.

Setipis bulu, kata guru silat saya.***

2/6/2024

Leave a Reply