KEBETULAN terjadi saat ziarah Lebaran di kampung halaman. Pada hari itu pula Mbah Kami—begitu orang kampung menyebutnya—meninggal dunia. Makam ramai orang mempersiapkan pemakamannya pagi itu.
Sudah sangat lama saya tidak pulang kampung.
Sebagian orang yang menunggu pemakaman Mbah Kami saya kenal.
Mbah Kami sangat dikenal di kampung kami, sekaligus saya pastikan merupakan orang tertua di seluruh kampung atau barangkali malah di seluruh kota kecil ini.
Usianya 96 tahun, kata orang yang saya ajak bicara.
Ada yang mengoreksi, 98 tahun.
Yang lain lagi bilang 100 tahun lebih.
Saya maklum.
Manusia zaman dulu tidak tercatat tanggal kelahirannya secara tepat.
Banyak yang hanya berdasarkan ingatan apa yang terjadi pada saat yang bersangkutan lahir, misalnya malam Maulid; Gunung Merapi meletus; saat pageblug; dan lain-lain.
Saya menyimpulkan sesuka sendiri usia Mbah Kami 100 tahun.
Agar sesuai riwayat kampung yang mendadak hidup dalam benak saya dari narasi yang muncul seketika: “seratus tahun kampung halaman”.
Panggilannya pun sangat tepat: Mbah Kami.
Tidak perlu dipersoalkan apakah itu cuma penggalan dari Kaminah, Kamiati, Siti Kamiatun, dan seterusnya.
Dengan sebutan Mbah Kami dia adalah mbah atau eyang kami semua: monumen memori yang mengikat kami dengan masa lalu karena sejatinya masa depan tidak ada, void, kosong.
Saya tahu persis tentang hal ini.
Zaman berubah pesat, terlebih dengan digitalisme sekarang.
Saya yang begini-begini saja selalu diingatkan dan ditegur banyak pihak agar menyesuaikan diri dengan perubahan.
Biar tidak diolok-olok dan ditinggalkan anak muda.
Saya tidak peduli.
Pada akhirnya terbukti, anak-anak muda semua generasi tak terkecuali generasi saya yang pernah memimpikan masa depan berikut harapan masing-masing menjadi tersadar bahwa realitas tidaklah seperti dibayangkan.
Yang jelas kita temukan pada masa depan adalah nostalgia.
Siapa menyangka kampung jadi seperti ini sekarang.
Sekitar 50 tahun lalu saat saya bertumbuh sebagai anak-anak kemudian remaja, kampung sepi luar biasa.
Jalanan tanah.
Rumah-rumah dipisahkan kebun ataupun pekarangan luas.
Malam gelap gulita. Tiap rumah hanya berpenerangan lampu minyak yang dipadamkan ketika penghuninya tidur.
Total blackout.
Dari cerita orang-orang tua masa itu, dulu, dulu sekali, kampung ini bermula dari kuburan di mana saya berdiri sekarang.
Sebutannya “makam pepunden”, alias orang pertama yang merintis lahirnya pemukiman ini.
Pepunden ini—sebagian orang masih mengenal namanya sampai sekarang—adalah Singakerti.
Ia dulu pengawal Pangeran Dipanegara dalam Perang Jawa.
Ketika Pangeran Dipanegara tertangkap, para pengikut kocar-kacir.
Eyang Singakerti melarikan diri dan menyepi di sini sampai wafatnya.
Perubahan berlangsung dalam proses merangkak diwarnai karnaval harapan dan tragedi.
Land reform yang digerakkan sebuah partai besar pada masa itu melahirkan pemukiman baru, membuat kampung jadi dua bagian: kampung lama dan kampung baru.
Disusul tragedi besar, peristiwa politik yang memakan banyak korban jiwa termasuk nyawa sebagian penghuni kampung.
Luka menganga, sebelum perlahan-lahan keadaan menjadi biasa kembali, meski tentu ada luka yang tak akan pernah pulih.
Negeri memasuki zaman baru dengan mobilisasi harapan, di antaranya yang saya ingat masa itu ada slogan terkenal: modernisasi desa.
Itu pun berlangsung merayap.
Kemudian listrik masuk desa.
Tidak lagi seleluasa sebelumnya, pacaran di tempat gelap bisa melakukan apa saja, ha-ha-ha.
Jadi teringat lagu Senja di Batas Kota.
Ah, di mana Mbak itu sekarang….
Siapa pula mengira, bahwa slogan modernisasi desa kemudian meloncat melampui batas yang bisa dibayangkan orang.
Kini kampung tidak hanya terang benderang tapi gemerlapan.
Tidak ada lagi kebun atau tanah kosong.
Rumah padat berhimpit-himpitan.
Alam kampung yang dulu rasanya sangat lega dan luas kini tak ubahnya sebuah kantung kecil dari bangunan hotel-hotel yang muncul di sekitarnya, termasuk mal besar dengan supermarket, kafe, dan sinema.
Dulu orang kampung seperti Mbah Kami berumur panjang karena makan umbi-umbian seperti singkong, talas, ubi jalar, dan seterusnya.
Sekarang kami menyaksikan orang makan popcorn di mal.
Minumannya soda.
“Sengaja pemakaman pagi, soalnya siang sedikit ramai mobil. Parkir melimpah sampai sini depan kuburan,” kata orang yang sangat saya kenal, Mbah Yono.
Saya ikut menunggu tibanya jenasah Mbah Kami.
Bahkan kemudian menyingsingkan lengan baju, ambil bagian menurunkan jenasah ke liang lahat.
Benar juga, tidak lama kemudian suasana makin ramai.
Mobil-mobil mulai berdatangan.
“Maklum Lebaran. Banyak plat nomor dari luar kota, terutama B,” ucap Mbah Yono. “Nanti seluruh jalanan kampung jadi tempat parkir,” tambahnya.
Udara kian pengap dan panas.
Apa boleh buat, saya ingin mendinginkan diri di mal yang ber-AC.
Di situ saya menikmati espresso.
Saya baru saja memakamkan masa lalu.***
11/4/2024