Skip to main content
Cerita

Biru Cinta Masa Pandemi

By August 6, 20213 Comments

Dia selalu duduk di situ, di pojok teras itu. Pegawai pos menyediakan kursi untuknya. Begini kejadiannya dulu.

Rumah di sektor 3 kompleks perumahan ini dijadikan kantor pos.

Bentuknya masih sama dengan rumah-rumah di kanan kiri. Depan kaca-kaca dengan bingkai kayu. Bagian atas di bawah atap terdapat konfigurasi segi tiga dihias kaca berwarna. Puluhan tahun lalu rumah model begini disebut gaya country.

Ketika dijadikan kantor pos, yang membedakan dia dengan sekelilingnya adalah catnya. Warna oranye dipadu abu-abu pada beberapa bagian—khas warna kantor pos yang untuk manusia dari generasi terdahulu menyimpan banyak kenangan.

Para pegawai ingat, wanita ini datang kira-kira 3 bulan setelah dunia dilanda pandemi.

Ia menuju counter yang melayani pengiriman surat, paket, dan pelayanan lainnya.

“Di mana Prabangkara?” tanyanya pada pegawai.

“Ibu ada keperluan apa?” tanya si pegawai, gadis berusia muda.

“Saya mencari Prabangkara.”

Si pegawai celingukan.

Di kantor ini tidak ada yang bernama Prabangkara.

“Tidak ada yang bernama Prabangkara di sini. Jangan-jangan ibu keliru. Mungkin penghuni rumah sebelah.”

“Tidak. Ini rumah dia. Ia tinggal di sini.”

Bingung si mbak.

Lelaki yang duduk di pojok ruang, kepala kantor, menghampiri.

“Mungkin ibu keliru. Tempat ini bukan lagi rumah tinggal, tapi kantor pos,” kata lelaki ini lunak.

“Tidak mungkin. Ia tinggal di sini. Menunggu kedatangan saya,” jawab si wanita.

Ia perhatikan wanita di depannya. Usia ia taksir di atas 60 tahun. Penampilannya rapi. Di mata kepala kantor yang orang Jawa wanita ini juga terkesan ningrat.

Seorang priyayi.

“Bisakah ibu menceritakan siapa yang ibu cari?” tanyanya.

“Prabangkara. Dia penulis. Mungkin dia belum pulang. Ke Tanamur.”

Yakin kepala kantor, dia menghadapi perempuan yang punya problem jiwa dan pikiran.

Selama berkantor di sini, sama seperti pegawai lainnya, ia sering mengalami kejadian aneh.

Satu di antaranya, kantor bisa sangat rapi di pagi hari seperti habis ada orang membersihkan dan merapikan segalanya. Padahal tidak ada satu pun pegawai melakukannya.

Kadang tanpa jelas juntrungannya, meruap wangi bunga.

Atau dupa.

Belum dia menentukan harus berkata apa, si tamu berucap: saya akan menunggu.

Wanita ini berbalik, duduk di bangku yang tersedia.

“Bagaimana kalau ibu menunggu di luar,” ucap kepala kantor.

Sang tamu tak berkeberatan. Dia berdiri. Kepala kantor mengantar keluar ke teras.

Tidak ada kursi.

“Oh, saya ambilkan kursi,” katanya.

Ia masuk dan muncul lagi sambil mengangkat kursi kayu untuknya.

“Tampaknya orang stress,” kata dia ketika kembali lagi ke meja kerja. “Kita harus maklum, pandemi membuat banyak orang stress. Bersyukur kita semua masih sehat dan bisa kerja,” tambahnya kepada para pegawai.

Yang tidak mereka duga, hari berikutnya wanita itu muncul lagi.

Tiba-tiba terlihat telah duduk di kursi di teras.

Begitu setiap hari.

Kadang dia membawa buku, duduk seperti menanti seseorang sambil membaca.

“Pasti rumahnya tidak sekitar sini,” seorang pegawai berucap. “Saya melihat dia ke sini naik mobil.”

“Pernah saya tanya, katanya rumahnya Tebet. Aneh. Kantor ini memang misterius. Bulu kudukku selalu berdiri setiap kali masuk ruang itu,” kata yang lain menunjuk kamar yang dijadikan gudang penyimpanan barang.

“Betul. Siang pas kalian semua keluar makan, saya mendengar ada suara tik-tak-tik-tak. Gemeretak seperti suara orang mengetik pakai mesin tik,” pegawai lain lagi menyahut.

“Mungkin ada sosok yang tidak kita lihat yang menarik perempuan itu selalu kemari,” perbincangan makin seru.

“Hantu pengarang,” yang tadi bilang merinding bulu kuduknya menimpali.

Pegawai wanita menangkupkan tangan di pundak. Serem.

Sejatinya tidak ada yang lebih tahu kecuali wanita yang diceritakan ini.

Dulu, belasan atau bahkan puluhan tahun lalu ketika kompleks ini terbilang baru ia sering ke sini. Sangat sering.

Ia menjumpai pengarang, seperti ia sebut namanya: Prabangkara.

Biasanya dia datang pagi atau siang hari.

Menyetir mobil sendiri.

Petang ia kembali ke rumah, ke keluarganya.

Sebagai ibu rumah tangga ia ingin jadi pengarang.

Hubungan dengan si pengarang sebatas hubungan mentor-murid, meski siapa tahu di balik itu semua ada apa-apanya.

Sebab nyatanya perempuan ini begitu kerap muncul, bahkan ketika yang dicarinya masih di tempat tidur.

Hemmm, mereka juga pernah ke Tanamur—diskotek terkenal pada masanya—seperti ia sebutkan.

Kini Jakarta banyak berubah. Tanamur tak ada lagi.

Kompleks perumahan yang dulu dikenal hip ini pun tampak menua, kalah bersaing dengan kawasan-kawasan baru yang lebih cemerlang.

Oleh si pengarang yang kini entah di mana, rumah dijual.

Tak jelas berapa kali rumah itu ganti pemilik sebelum akhirnya jadi kantor pos.

Kembali pada wanita tadi, ia sulit melupakan pengarangnya.

Bayangan Prabangkara selalu hadir.

Bagi yang kenal dongeng lama, nama Jaka Prabangkara muncul di akhir masa Majapahit. Ia putra raja Brawijaya V yang memadu cinta dengan putri Champa ibu tirinya.

Dalam kemurungan masa pandemi, wanita itu mengisi hari-harinya dengan membaca banyak buku.

Perlahan-lahan impian lama bangkit lagi, ia ingin jadi pengarang.

Kadang menulis sajak.

Tak sengaja ia menemukan buku baru, novel. Nama pengarang Arya Prabangkara.

Kaget dia, begitu pun ketika membaca isinya.

Bagi dia apa yang diceritakan buku itu adalah dirinya.

Lihat bagian ini, ucapnya dalam hati. Perempuan yang bertanya beda antara kenyataan dan fiksi itu pastilah yang ia maksud diriku.

Gambaran mengenai perjalanan ke Bali, menginap di hotel sepi di Candidasa, bukankah itu pengalaman kami berdua, ia bertanya-tanya.

Berarti, kamu senantiasa merindukan diriku, wanita itu berkesimpulan.

Masa-masa yang dijalaninya bersama si pengarang puluhan tahun lalu tiba-tiba hidup lagi, menjadi sedemikian nyata.

Lebih nyata dari yang nyata.

Hyper-real.

Termasuk rumah itu.

Dulu ia menganggapnya sebagai rumah sendiri, memasak, merapikan apa yang perlu ditata dan dirapikan, dan lain-lain.

Bahkan ia memegang kunci rumah, bisa datang kapan saja—ada atau tidak pemiliknya.

“Nyata dan tidak nyata, tiada bedanya,” ia selalu ingat apa yang diucapkan si pengarang.

Kini, apa saja yang ia baca di novel ia anggap nyata.

Gairah hidup yang pudar puluhan tahun bangkit kembali.

Kamu masih di situ, menungguku setiap waktu.

Pandemi masuk bulan ketiga, ia tak bisa menguasai kesunyian dirinya.

Cinta lama yang terkubur bangkit kembali.

Seperti hantu.

Disuruhnya asisten rumah tangga mencari taksi.

“Sekarang mencari taksi cukup melalui aplikasi,” asisten rumah tangga menyaut. “Ndoro mau kemana?”

Dia menyebut majikannya ndoro.

“Kamu tak perlu tahu.”

“Kemana-mana  ndoro tinggal memesan melalui aplikasi yang tersedia,” asisten kemudian mengajarinya.

Berbekal pengetahuan tadi wanita ini mengunjungi kantor pos tersebut.

Rindu tak pernah salah alamat.

Para pegawai kantor pos bertanya-tanya: adakah kehadirannya tiap hari berhubungan dengan misteri yang sering mereka dapati di rumah ini.

Belakangan sangat sering mereka semua mendengar suara mesin tik, tidak jelas berasal dari mana.

Seperti suara orang yang kerasukan setan tengah menulis di mesin tik.

Gemeretak memecah sunyi.

Banyak orang mengenal adanya hantu panggung. Yang paling terkenal Phantom of the Opera.

“… the phantom of the opera is there, inside your mind,” begitu penggalan lirik lagunya.

Apakah juga ada hantu pengarang?

Menghuni benak wanita itu.

Menghuni kantor ini.

Sumpah ini nyata, para pegawai kantor pos berkata.***

6/8/2021

Join the discussion 3 Comments

Leave a Reply