Masih saya ingat saya selalu menyiapkan catatan, coretan, atau apa saja sebagai pegangan untuk mampu mendongengkan sesuatu padanya. Selain kehadiran saya, yang sangat membahagiakannya adalah ketika saya membaca sesuatu, mendongeng, atau tepatnya berceloteh apa saja. Dia bersama anak cucu merubung saya, tertawa-tawa, kadang tercekam, kadang sedih, mengikuti apa yang keluar dari bibir saya.
Dengan dibangunnya jalan tol, belakangan banyak orang memuji-muji keindahan pemandangan Gunung Merbabu yang menjadi latar belakang pintu tol masuk kota Salatiga. Beberapa menyebut seperti Switzerland.
Bagi saya dan banyak kepala yang lahir dan bertumbuh di kota ini menganggap biasa-biasa saja. Tidak terkaget-kaget. Dulu dari bangun tidur sampai berangkat tidur gunung itu bersama kami.
Setiap kembali ke kota itu saya senantiasa meluangkan waktu ke desa di lereng Merbabu, menemui wanita yang saya sebut tadi.
Suaminya telah meninggal. Dia tinggal bersama anak cucu.
Semua anaknya telah berkeluarga. Selain tiga yang masing-masing tinggal di Lampung, Bekasi, dan Tangerang, ada dua tetap tinggal di desa.
Setiap kali saya mengunjunginya anak cucu berkumpul.
Ramai. Anak-anak rebutan oleh-oleh.
Sudah jadi kebiasaan, yang paling ditunggu adalah ketika saya membacakan cerita untuk wanita ini, yang oleh anak cucu dipanggil Mak Iah. Para cucu ikut-ikutan orangtua memanggilnya Mak Iah, bukan mbah, nenek, atau eyang.
Di kuping saya panggilan mak memang lebih tepat.
Dia tetap mak, tidak menjadi tua sebagai mbah.
Bahkan bagi saya pribadi dia bukan mak, tapi mbak. Mbak Iah.
Ya, Mbak Iah.
Dulu, ketika keluarga kami masih utuh, dia ikut kami. Pada masa itu banyak orang di rumah. Selain ayah-ibu dan empat anak (saya nomor tiga) di rumah kami tinggal tante adik ibu, kakak sepupu dari pihak ayah, serta sanak saudara lain termasuk tiga pembantu.
Dariah, kami anak-anak memanggilnya Mbak Iah, adalah satu di antaranya.
Saya masih sekolah dasar. Kalau tidak salah ingat di kelas empat saya sudah fasih membaca.
Oleh orang-orang dewasa di rumah saya mulai diatur mana bacaan boleh saya baca mana tidak. Saya lebih tertarik pada apa yang tidak boleh saya baca. Mencuri-curi, ngumpet sembari membaca.
Bacaan tante dan beberapa orang dewasa di rumah saya ingat persis adalah buku roman berbahasa Jawa. Itulah yang diam-diam saya incar. Begitu mereka lengah saya menggondolnya seperti kucing mencuri ikan asin. Menikmatinya di bawah jendela, dahan pohon, pojok kebon, pokoknya tempat-tempat yang tidak mereka pikirkan.
Yang paling tidak mereka ketahui, Mbak Iah sering meminta saya untuk membacakan barang curian itu untuknya.
Mbak Iah buta huruf. Oleh ayah diikutkan kegiatan belajar baca tulis, tapi dia lebih menikmati kalau saya membacakan untuknya.
Dia mengatur waktu dan tempat agar tidak ketahuan oleh siapa-siapa.
“Kamu sangat pandai, Lik,” katanya. Dia memanggil saya Lik, artinya “cilik”. “Di desa saya anak seusiamu tidak ada yang bisa baca,” tambahnya menceritakan desa tempat asalnya di lereng Merbabu.
Saya membacakan dongeng wewe gombel. Sangat menakutkan. Wewe gombel adalah makhluk halus menyeramkan, muncul di Gombel, tanjakan membahayakan antara kota kami dan Semarang.
Dia merinding mendengar cerita yang saya bacakan. Pada bagian-bagian tertentu ia mendekapkan kedua tangan di dada.
Sebagai pembaca, paling senang saya membacakan cerita roman oleh pengarang yang namanya saya ingat sampai sekarang: Any Asmara.
Satu dua judul bukunya masih saya ingat. Misalnya Roman Panglipur Wuyung dan Godane Perawan Indo.
Di kota kami banyak perempuan Indo. Cantik-cantik.
Beberapa adegan yang digambarkan dalam buku tipis itu membuat burung saya mengeras. Sekeras-kerasnya.
Mbak Iah tampaknya tak kalah menikmati. Ia mendengarkan, menelan ludah, pelan-pelan kadang mengangkat kedua tangan, ditangkupkan di dada seperti biasanya.
Agaknya bagian itulah yang harus ia lindungi dari serangan tokoh lelaki dalam buku—yang mungkin ia takutkan sekaligus harapkan.
“Apakah kalau sudah besar kamu akan menulis seperti itu, Lik?” tanyanya.
“Menulis?” saya bingung, balik bertanya.
“Ya, kamu pintar. Menurut Mbak Iah kamu bisa jadi apa saja termasuk jadi penulis,” ucapnya.
Itulah pertama kali saya mendengar seseorang bisa jadi penulis. Pengetahuan saya waktu itu sebatas kalau besar jadi tentara, pilot, dokter, insinyur, guru, dan lain-lain. Tidak ada anak bercita-cita jadi pengarang.
“Dari pintar membaca biasanya orang akan jadi pintar menulis,” kata Mbak Iah.
“Apakah kalau saya jadi penulis Mbak Iah akan membacanya?” tanya saya.
“Mbak Iah tidak bisa membaca, tapi orang lain akan membacanya,” katanya. “Kecuali nanti kamu membacakannya untuk Mbak Iah,” ia melanjutkan ucapan sembari tertawa.
Roman bahasa Jawa waktu itu kalau dipikir ulang tiada dua ngawurnya.
Menampilkan kalimat misalnya seperti ini:
“Njenengan kok ngebet ta Mbah, napa taksih greng?”
Rumangsa ditantang Mbah Miya pamer.
“Wong ayu, aja ndeleng tuweke nduk. Gaplek-gaplek tela, gathote ireng. Tuwek-tuwek Mbah Miya, njot-njotane jik kenceng.”
Saya tidak akan menterjemahkan buku lawas yang saya peroleh kembali di kios buku loak itu. Yang tidak tahu silakan tanya mereka yang bisa bahasa Jawa.
Dulu sebagai upah membacakan cerita Mbak Iah kadang membolehkan saya tidur dengannya.
Saya dia keloni.
Seperti tatkala membaca cerita, burung saya mengeras.
Entah Mbak Iah tahu atau tidak.
Lalu pecah peristiwa 1965.
Berakhirlah episode keluarga besar kami.
Saya sekolah berpindah-pindah kota ikut keluarga baik keluarga dari pihak ibu maupun ayah.
Selain mobilitas fisik, ada mobilitas yang meloncat jauh, mengarungi samudera dan pulau-pulau.
Dari roman bahasa Jawa saya mengenal roman modern Indonesia, sebelum kemudian saya akrab dengan nama-nama pengarang seperti HC Andersen, O. Henry, Oscar Wilde, dan seterusnya sampai nama-nama yang saya akui ikut membentuk dunia saya seperti Garcia Marquez dan Milan Kundera.
Hanya saja karena ari-ari saya ditanam di kampung halaman, tetap saja ada yang tertinggal di sana.
Jauh di kemudian hari saya terhubung kembali dengan Mbak Iah.
Dia sendiri telah melakoni berbagai peristiwa, termasuk sempat ditahan, dianggap terlibat G30S.
Tidak jelas bagaimana ia bisa dianggap terlibat G30S. Apakah wanita buta huruf ini membaca manifesto komunis yang ditulis oleh Engels dan Marx.
Antara sedih dan pengin tertawa saya mendengarnya.
Mbak Iah merasa apa yang dialaminya sebagai hal biasa.
Lelakon, katanya ketika belasan tahun kemudian kami bertemu lagi.
Menemukannya kembali di tempat asalnya di desa di lereng Merbabu saya merasa menemukan sumber mata air hidup saya.
Sejak itulah setiap kali pulang ke kota lama tidak pernah absen saya mengunjunginya.
Ia tahu saya telah jadi pengarang, dan menagih saya untuk membacakan sesuatu untuknya.
Bertahun-tahun itu saya lakukan, sebelum akhirnya saya menerima kabar dari anaknya: Mak Iah seda.
Saya tidak terlalu kaget. Saya telah memperoleh firasat melalui mimpi.
Sampai sekarang tetap rutin saya kunjungi desa di lereng Merbabu itu untuk menziarahi makamnya.
Makam wanita yang pernah berucap: dari kemampuan membaca orang bisa jadi penulis.
Penulismu datang Mbak, begitu ucap saya dalam hati setiap kali menziarahinya.
Untukmu aku menulis Blues Merbabu.***
26/06/2021
Takdzim utk mak Iah yg telah menaruh jangkar di Merbabu.
Nyinggung cerpen basa jawa jadi inget cerpen cerpen di Panjebar Semangat atau Mekarsari. Haahaha