Skip to main content
Cerita

Bulan ke-33

By November 19, 2024No Comments

LAMA tidak jumpa, ketika tanpa sengaja ketemu dengannya, Jessica mengajak saya ke Shanghai. Dia ingin saya ikut menyaksikan pembukaan galerinya di Shanghai.

“Saya bukan lagi wartawan. Saya sudah pensiun,” kata saya padanya.

“Aku tahu, tapi kita kan bersahabat. Masak gara-gara pensiun persahabatan juga pensiun,” tukasnya.

Ia katakan galeri kontemporernya berada di Nanjing Road, kawasan yang pasti saya bakal suka.

“Seleramu aku tahu. You’ll love it,” katanya meyakinkan.
Jessica selalu menyenangkan. Penampilannya senantiasa chic, sering mengenakan congsam atau saya menyebutnya Shanghai Look yang semata-mata mengingatkan saya pada Maggie Cheung.

Ah, bagaimana bisa menolakmu, Jessica Mae.

Dia sejenis sosok yang tidak mengenal kata tidak.

Pada penghujung musim gugur bersamanya saya mendarat di Shanghai.

Namun tunggu, sebenarnya bukan itu yang hendak saya ceritakan.

Di apartemennya saya mengalami kejadian aneh.

Saya bermimpi sangat jelas dan nyata.

Orang tua berambut putih membuka pintu kamar, mendekat dan bilang bahwa pada kelahiran sebelumnya saya pernah bertemu seorang wanita di Hangzhou.

“Cari dia,” perintahnya.

Belum sempat bertanya apa dan bagaimana wanita tersebut serta bagaimana mencarinya, sosok misterius itu menghilang.

Saya terbangun.

Termangu-mangu.

Saya lihat handphone.

Pukul 04.30.

Kata orang mimpi menjelang fajar bukan kembang tidur, melainkan ada pesan yang hendak disampaikan oleh langit.

Saat breakfast saya sampaikan pada Jessica bahwa saya ingin ke Hangzhou.

Tidak saya ceritakan tentang mimpi saya.

“Wah kapan? Let me set it for you. Hangzhou tidak jauh, hanya sekitar dua jam naik mobil,” kata Jessica yang gemar mengatur segala-galanya.

Don’t bother,” buru-buru saya menukas.

Saya tegaskan saya ingin pergi sendiri. Sudah saya pelajari naik kereta hanya memakan waktu satu jam. Saya akan nginap semalam di Hangzhou. Hotel bisa saya urus sendiri.

Are you sure?” Jessica menatap saya.

“Tentu.”

Dengan agak enggan ia melepas saya.

HANGZHOU.

Hangzhou adalah kota yang menakjubkan.

Seluruh kota ditata sebagai taman dengan pohon cherry blossom dan willow, menatap arah mana saja kita akan dihadapkan pada pemandangan indah luar biasa dengan mutiara yang dibanggakan kota ini: danau Westlake.

Keindahan Westlake menguasai seluruh kota.

Ujung-ujung daun willow atau sering disebut orang sebagai pohon hujan membelai-belai permukaan air.

Angsa-angsa berenang.

Burung yang oleh penduduk setempat disebut burung Yin-Yang tampak di sana-sini, selalu berpasangan, berpacaran.

Mereka monogami. Katanya kalau pasangannya mati, yang ditinggalkan akan segera nyusul.

Tiongkok adalah negeri cerita baik cerita sejarah, mitologi, maupun legenda.

Semua campur aduk tiada beda, mengembangkan daya imajinasi manusia karena manusia—berbeda dari makhluk lain—pada dasarnya adalah makhluk bahasa, makhluk cerita.

Westlake adalah sumber berbagai dongeng yang beberapa saya kenal seperti Sampek Engtay ataupun Siluman Ular Putih.

Saya ingat, pertama kali nonton Sampek Engtay tatkala masa kanak-kanak, dibawakan oleh rombongan kesenian keliling yang singgah ke kota, Ludruk Marhaen.

Betapa indah kisah cinta, danau, dan sosialisme.

Malamnya, di salah satu bagian danau di dalam kota, saya menonton atraksi luar biasa paduan tari, opera, musik, permainan cahaya, karya sutradara tersohor Zhang Yimou.

Permukaan danau ia ubah jadi panggung.

Penari—semua cantik tiada tara—seperti menari di atas permukaan air.

Tak kalah menakjubkan dari dongeng Perjanjian Lama.

Pada puncak pertunjukan seluruh danau menyala dengan musik mengentak, karya abadi komponis Beethoven, Simponi nomor 9 atau dikenal luas sebagai Ode of Joy.

Bagi saya, inilah aransemen Simponi nomor 9 terbaik selain satu yang saya kenang seumur hidup, yakni ketika simponi ini dibawakan oleh Deep Purple.

Terkagum-kagum pada atraksi tadi, saya lupa sama sekali akan mimpi di Shanghai.

Yang menggema dalam diri saya adalah Ode of Joy atau Song of Joy.

Esok hari, yang berarti hari terakhir di kota ini sebelum rencana balik ke Shanghai dengan kereta petang, saya mengunjungi China Academy of Art (CAA).

Kampusnya megah, tak jauh dari bibir pantai Westlake.

Di situ tengah berlangung pameran lukisan dengan tema “Draw from the Sources”.

Lama saya berkeliling di kampus, sempat teringat ayah almarhum yang pernah punya cita-cita anaknya sekolah di Tiongkok.

Di kampus ini terdapat museum.

Saya melangkah ke situ.

Selain memamerkan riwayat akademi yang umurnya hampir 100 tahun, di situ dipamerkan foto-foto peristiwa penting yang pernah berlangsung di Hangzhou.

Ada foto berukuran besar, ibu-ibu negara dunia ketika pertemuan G20 tahun 2016. Di antara deretan ibu-ibu negara tampak ibu negara kita, anggun dengan kebaya merah.

Saya mengamatinya berlama-lama, sebelum dikejutkan suara perempuan menegur dalam bahasa Mandarin.

“Sorry, I don’t speak Chinese,” kata saya sopan.

“Upssss,” dia berseru. “Where’re you from?” tanyanya.

Jarang dalam perjalanan ini saya berjumpa orang yang berbahasa Inggris.

Ini berbahasa Inggris, cantik pula.

Rupanya dia mahasiswi.

“Traditional Chinese painting,” kata dia menjelaskan jurusannya.

Kami kenalan.

Namanya Rong Er.

Mudah mengingatnya, soalnya sebelumnya saya sempat mampir pasar namanya Wan Er.

Di situ sempat makan mie di warung mie bersertifikat Michellin.

Dia tanya nama saya, saya jawab, dan memintanya untuk memanggil saya “kakak” saja mengingat dia jauh lebih muda dari saya, segar sesegar bunga chrysanthemum.

“Just call me Mas,” kata saya.

“Mas…” ia berucap.

“Yes Rong…,” saya menukas.

Dia tersenyum.

Saya bertanya padanya di mana saya bisa mendapatkan espresso.

“Nangsuo?” tanyanya.

“Yes, nangsuo,” kata saya.

Nangsuo artinya kopi.

Ia mengajak saya ke kafe di lingkungan kampus.

Bagus sekali kafenya.

Mahasiswa-mahasiswa membaca buku di situ—pemandangan yang jarang saya jumpai di negeri sendiri.

Kami kian akrab.

Menjelang sore ia mengajak saya jalan-jalan di pinggir danau di dekat kampus.

Ia membawa saya berjalan di jalanan panjang bernama Su Causeway yang membelah danau.

Kiri kanan jalan rapat ditumbuhi jajaran pohon cherry blossom dan willow.

“Kalau kita terus, di ujung sana adalah panggung pertunjukan di mana kamu nonton perunjukan Zhang Yimou semalam,” Rong Er menerangkan.

Kami duduk di bangku taman di tepi danau.

“Engkau lihat tiga pagoda di sana,” jarinya menunjuk kejauhan pada tiga pagoda di atas permukaan air, masing-masing tingginya saya taksir sekitar dua meter.

“Ya,” kata saya.

“Pagoda-pagoda itu berlubang-lubang. Ketika bulan bersinar penuh, orang-orang menyalakan lilin di lobang-lobang tersebut sehingga terpantulah bayangan cahaya di air, jumlahnya 30,” kata Rong Er. “Jadi ketika bulan purnama, di danau ini kamu akan melihat 33 bulan,” lanjutnya.

Saya mencoba menghitung.

Terdapat 30 bayangan menyerupai bulan dari lobang-lobang pagoda.

“Terus ada bayangan bulan yang sebenarnya, dan bulan di langit itu sendiri,” ia melanjutkan.

“32 bulan,” kata saya. “Yang satu lagi?” saya bertanya padanya.

“Satu lagi di hatimu,” jawab Rong Er.

Gila.

Wajah dia dari pertama ketemu saya batin secantik Dewi Bulan.

Saya menatapnya.

Dia menatap saya.

Inikah arti mimpi semalam?

Petang mau tidak mau saya harus kembali ke Shanghai.

Jessica telah beberapa kali menelepon.

Sampai apartemen Jessica menyambut dan bertanya apa yang saya dapat di Hangzhou.

“Bulan di hati saya,” jawab saya.***

19/11/2024

*Untuk mengenang Teresa Teng.

Leave a Reply