“CERITAKAN Natal di negerimu,” kata Lingling.
Tiongkok, dari kota-kota besar sampai kota setengah besar, kota kecil, desa-desa, semarak dalam suasana Natal.
Di kota besar dekorasi dan hiasan Natal luar biasa mewah.
Bintang Bethlehem berkilau di antara simbol merek dagang Chanel, Dior, LV, dan lain-lain tak ketinggalan merah kuning palu arit.
Gunadi, mahasiswa asal Surabaya yang tengah belajar computer science & engineering di Shenzhen menjadi pemandu saya. Bahasa Mandarin dia sangat lancar. Kalau pas bicara cepat sama berisiknya dengan orang-orang setempat.
Tahu saya menggemari film Chungking Express karya Wong Kar-wai ia mengajak saya merasakan naik kereta cepat dari Shenzhen ke Chungking.
Di Chungking kereta bukan hanya melaju di atas tanah tapi juga melayang di antara gedung-gedung tinggi dan apartemen-apartemen.
Chungking adalah kota ultra modern melebihi New York, London, Barcelona dan kota mana saja di dunia.
Yang akan menyainginya cuma IKN—andai saja nanti nyata, tidak mangkrak, tak sebatas bualan pembuatnya seperti nasib food estate sekarang.
Dari kota ke kota, naik gunung, berjalan-jalan di desa-desa di antara jajaran hutan bambu, sawah-sawah, sungai-sungai, sampailah kami di Yangshuo, perfektur di pinggir kota kecil Guilin.
Naluri bocah kampung: saya selalu menyukai kota kecil dan desa.
Udara dingin dan beku.
Temperatur di bawah nol derajat Celcius.
Kami menginap di penginapan sederhana bernama Village Inn.
Mirip Dragon Inn pada film silat dulu itu, penginapan milik Lin Ching Hsia yang pernah membuat saya jatuh cinta terkewer-kewer.
Dengan lirikan mata, lawan-lawan dibuatnya bergelimpangan.
Staf hotel, wajahnya amat sangat muda, namanya Lingling, tiap malam menemani saya dan Gunadi di depan perapian di ruang tamu penginapan.
Sesekali ia menambahkan kayu agar api terus menyala, sambil tak henti menuangkan minuman panas di cangkir kami—paduan teh, jahe, dan bunga osmanthus.
Adakah yang lebih nikmat dari ini?
Mendadak saya ingin bercerita tentang Natal seperti Mas Trias, Katolik yang taat, dubes kita di Roma.
Diterjemahkan Gunadi, menjawab pertanyaan Lingling saya katakan bahwa Natal di negeri kami berbeda dengan Natal di negeri Tiongkok ini.
“Apa bedanya?” tanya Lingling.
“Negeri kami bukan negeri komunis,” kata saya.
“Ya, lantas apa bedanya?” ia mendesak.
“Sebagai orang Kristen kami mengikuti jalan berbeda dari orang komunis,” kata saya.
Meski tampak segan, Gunadi menterjemahkannya.
Dia tampaknya khawatir saya akan ngaco.
“Bagaimana jalan orang Kristen?”
“Meneladani Yesus. Percaya penuh padaNya seperti murid-muridnya, para nelayan yang seketika meninggalkan jaringnya, perahunya, keluarganya, mengikuti Yesus.”
Gunadi menterjemahkan dengan baik.
Ia mengaku pada saya sebenarnya lebih berminat belajar theologi daripada komputer.
Apa boleh buat, pacarnya, cewek asal Pontianak, dikirim orangtuanya melanjutkan studi ke Tiongkok.
Ia pun mengikutinya.
Karena tak ada fakultas theologi di Tiongkok, jadilah ia belajar komputer.
“Tak apa, lebih ada gunanya,” saya membesarkan hatinya.
“Kami juga percaya pada Chairman Mao,” Lingling menyela.
Yang ia maksud adalah Mao Zedong.
“Yesus mengajak murid-muridnya meninggalkan kenikmatan hidup, tidak memilih jalan yang lebar dan nyaman tapi jalan yang sempit dan terjal untuk mencapai kebahagiaan sejati,” saya berbicara laksana berkhotbah. “Yesus berpihak pada orang-orang kecil, menghibur yang lemah, memberi penghiburan bagi yang menderita dan tersingkirkan.”
Gunadi menterjemahkan sambil mengangguk-anggukan kepala.
Lingling menambahkan kayu bakar.
Api membesar.
“Kami pun demikian,” ucap Lingling. “Chairman Mao berpihak pada kaum proletar. Apa yang dicapai dibagi secara merata. Sama rata sama rasa.”
Waduh, doktrin ini pernah saya dengar, dulu, dulu sekali.
“Dalam gereja kami tidak menyebut pengikut sebagai proletar, tapi umat,” kata saya.
“Apakah di negerimu apa yang kalian dapat juga dibagi sama rata sama rasa?” tanya Lingling.
Sungguh gadis yang pintar.
Saya tertawa.
“Tentu saja tidak, kami bukan komunis,” jawab saya. “Poros Jakarta-Beijing telah berakhir untuk urusan ideologi, kecuali untuk urusan percintaan,” saya melucu.
Lingling tertawa.
“Apakah kamu tidak curiga pihak lain mengambil lebih banyak?”
“Dimana-mana penguasa cenderung korup. Untuk diri kami, kami percaya bahwa cukup satu roti untuk hari ini,” kata saya mengutip doktrin kristiani, berikanlah kami roti pada hari ini.
“Hari esok?”
“Itulah yang namanya penyerahan total. Jangan takut hari esok asal kamu percaya.”
Sambil menterjemahkan Gunadi mengomentari bahwa saya sebenarnya cocok jadi pendeta.
Khawatir Lingling menanyakan hal aneh-aneh, saya agak mengalihkan cerita.
Saya ceritakan pelajaran sekolah Minggu dulu, bagaimana bintang di langit memimpin tiga orang majus menuju tempat kelahiran Kristus.
“Langit sangat terang, banyak bintang, tapi hanya ahli bintang yang paham mana bintang yang memimpin pada kebenaran,” kata saya lebih lanjut.
Saya katakan perjalanan mengikuti bintang mungkin serupa perjalanan saya, tanpa rencana kecuali semata-mata mengikuti jalannya alam sampai kemudian sampai di tempat ini, desa indah bernama Yangshuo.
Lingling tampak senang.
Kita tidak mendapatkan yang kita cari, tapi menemukan yang tidak kita cari.
Begitulah, tidak dinyana bahwa kemudian saya menemukan desa secantik ini, dengan gunung dari karang yang di atasnya berlobang seperti bulan, persawahan berundak-undak, dilihat dari ketinggian bentuknya seperti harimau merunduk, crouching tiger.
Makanannya pun saya cocok.
“Dan di sini ada hidden dragon,” saya menunjuk Lingling.
Ia tertawa senang.
“Saya ingin tinggal selamanya di sini.”
“Kamu sangat pandai bercerita,” kata Lingling pada saya.
“Tentu saja, dia penulis,” Gunadi menyela, menerangkan pada Lingling.
“Itu tadi cerita Natal untuk Lingling,” kata saya padanya.
“Xie xie,” jawab Lingling.
Wajahnya berbinar-binar.
“Saya juga ingin jadi penulis,” ucap Lingling, diterjemahkan oleh Gunadi pada saya.
“Andai jadi penulis, apa yang hendak kamu tulis?” saya bertanya.
“Cerita Natal untuk pacarku,” tukasnya.
Saya dan Gunadi tertawa tergelak-gelak.
Busyet ini cewek nakal juga, pikir saya.
Pipinya sehalus batu giok putih.
“Saya ingin cium pipimu,” kata saya.
Gunadi melotot.
Ia melihat saya dan Lingling berganti-ganti.
Lingling menatap dengan tatapan bertanya-tanya.
“Terjemahkan ucapan saya itu untuk dia,” saya memerintah Gunadi.
“Tidak mau,” jawab Gunadi.
“Ayo, coba saja,” saya mendesaknya. “Siapa tahu dia mau.”
“Tidak. Jancuk,” ia mengumpat.***
28/12/2023