Skip to main content
Cerita

Cinemamargaretha

By February 25, 2023No Comments

Teman saya di Lampung memberi kabar bahwa gedung bioskop lama di kota itu dijual dan telah laku. Sebelum gedung pindah tangan dan kemungkinan akan segera dirobohkan untuk proyek baru entah apa, pemilik bioskop mengosongkan segala isinya seperti poster-poster film lama, proyektor, lampu, slide, dan lain-lain. Barang-barang tersebut dijual sebagai barang loak.

“Aku kasih tahu kamu siapa tahu engkau butuh,” kata teman lama bernama Kardi ini via telepon.

“Waduhhhh,” aku berseru kaget.

Setiap kali ada gedung bioskop lama diruntuhkan aku teringat Cinema Paradiso karya sutradara Giuseppe Tornatore, cerita tentang gedung bioskop di kota kecil di Itali yang harus dirobohkan karena tidak relevan lagi dengan perubahan zaman. Terkuburlah suatu kenangan. Dan harapan.

Ada rasa sedih.

“Harganya murah-murah. Dianggap barang tak terpakai,” Kardi menambahi.

“Semuanya aku butuh,” sergahku buru-buru. “Jangan dijual ke orang lain,” tambahku.

“Ha-ha, aku sudah mengira. Setiap kali melihat gedung bioskop lama aku ingat kamu,” ucap Kardi.

Teman sekolah dari kecil—kami bersama-sama sampai lulus SMP sebelum kemudian pisah karena masing-masing pindah kota—Kardi sangat tahu kecintaanku pada bioskop. Dulu kami sama-sama suka nonton film di satu-satunya gedung bioskop di kota kami: Rex.

“Kamu sudah lihat barang-barangnya?” tanyaku.

“Sudah. Poster-poster film tahun 80an, proyektor yang aku tidak tahu masih nyala atau tidak, potongan-potongan slide, gulungan film, dan entah apa lagi. Oh ya, kursi-kursi bioskop. Kalau kursi tentunya kamu tidak butuh, ha-ha,” tuturnya.

“Terserah kamu saja, pokoknya jangan jatuh ke tangan orang lain.”

“Kalau begitu aku akan segera ke situ,” kata Kardi.

Tidak berapa lama Kardi mengirimkan foto-foto via WA. Poster film-film lawas, dari film cowboy, drama Hongkong, sampai fim Indonesia dengan gambar-gambar yang syurrrr.

Gambar poster masih dibikin dengan lukisan cat minyak.

Kadang anatominya kacau, tapi spirit masa lalu yang disimpannya bagiku menggetarkan.

Kardi menyertakan harga barang-barang tersebut yang luar biasa murah.

“Kamu beli semua saja, talangin dulu, ntar aku transfer,” kataku tak sabar, khawatir kehilangan kesempatan.

“Iya.”

Beberapa hari kemudian aku menerima berkoli-koli paket.

Edan, aku serasa menemukan harta karun.

Kupilah-pilah poster yang masih cukup bagus, setengah rusak, atau rusak sama sekali.

Tidak masalah. Yang rusak nanti akan kurestorasi.

Tentang proyektor, segera kupanggil tetanggaku namanya Asep.

Dia pandai membetulkan segala barang elektronik—atau bahkan barang apa saja. Istilahnya: handyman. Aku dan istri menjuluki dia MacGyver.

“Sep, ini proyektor apa masih bisa dibetulkan?” tanyaku begitu dia muncul.

Asep melihat-lihat dengan seksama.

“Dapat dari mana ini, Mas,” tanyanya sambil meneliti barang itu. “Antik. Lensanya sangat bagus,” ia komentar.

“Proyektor bioskop zaman dulu, merk Chingkang. Dapat dari Lampung,” aku menerangkan.

Setelah lama memeriksa ia berucap, “Kayaknya bisa. Prinsipnya kan reel bisa berputar. Paling harus dicari lampunya.”

“Apakah lampu bisa dicari?”

“Nanti akan saya cari. Boleh saya bawa pulang? Biar tenang dikerjakan di rumah.”

“Tentu saja. Pokoknya beresin.”

Tidak percuma kami menjulukinya MacGyver.

Beberapa hari kemudian MacGyver datang membawa proyektor itu yang dari penampakannya di mataku telah berubah tampan.

Asep juga membawa speaker yang katanya compatible.

“Semua sudah jalan. Juga sound. Saya coba dengan beberapa slide sudah bisa. Sengaja saya bawa ke sini malam hari agar Mas segera bisa lihat hasilnya,” katanya.

Dia mencari colokan listrik terdekat sembari memperlihatkan bagaimana proyektor telah bekerja kembali.

“Coba kita bawa ke halaman belakang,” kataku.

Halaman belakang rumahku menyerupai arena kecil, out door, berlantai keramik. Sehari-hari aku memanfaatkannya untuk olah kanuragan. Kadang-kadang teman-teman datang, latihan bersama.

Di tembok putih di situ kami proyeksikan sorotan lampu proyektor.

Asep memasang slide yang telah dicobanya di rumahnya.

Di tembok muncul tulisan “Dilarang Merokok. Film Segera Dimulai.”

Tidak alang kepalang kagetku.

Seketika ingat zaman nonton Django di Rex.

“Busyettt…. Kayak layar tancap,” seruku.

“Kita coba dengan slide-slide lain,” katanya.

Ia telah menyambung-nyambung berbagai slide yang katanya dia sendiri belum memutarnya, tidak tahu apa gambarnya.

Entah bagaimana, tiba-tiba dia jadi proyeksionis.

Dipasangnya reel film.

Begitu reel berputar, yang muncul pertama sorotan cahaya beserta kepingan  gambar-gambar tak jelas.

Sound mendengung.

Tidak lama kemudian muncul gambar cukup jelas, potongan film lama yang dengan segera kukenali film apa: Suci Sang Primadona.

Joyce Erna tengah menari tari gandrung Banyuwangi. Ditonton Alam Surawijaya.

Bagiku ini film luar bisa monumental.

Aku seperti tersihir.

Aduh Mbak.

Pada masa itu gairahku barangkali sama seperti Rano Karno, yang pada film ini masih remaja, memerankan remaja yang jatuh cinta pada sripanggung bernama Suci yang diperankan oleh Joyce Erna dengan gilang gemilang.

Terlintas masa itu, puluhan tahun lalu, masa-masa awal di Jakarta, aku kenal wanita separuh baya, dengan daya pikat yang di mataku pada masa itu adalah juga daya pikat primadona.

Primadona urban.

Mobilnya Mitsubishi Lancer.

Kakinya bagus, mengenakan high heel.

Ah, Mrs. Robinson….

Teringat kami nonton pekan film yang diselenggarakan oleh Sinematek.

Kami menonton film-film karya Woody Allen, antara lain Hannah and Her Sisters.

Usai nonton kuterangkan bahwa di film ini tampak sekali Allen adalah pengagum sutradara Ingmar Bergman.

Dia senang sekali dengan obrolanku.

Katanya aku memiliki pengetahuan luas tentang film.

Aku kian menjadi-jadi, ingin terlihat lebih cerdas lagi.

“Yang kusukai dari film tadi bagaimana semua tokohnya sebenarnya terjebak dalam pesona seni dan uang, seks dan ambisi untuk sukses, dengan gaya khas Woody Allen—gaya Manhattan,” ucapku.

Ia menatapku dengan mata terpesona.

“Mereka mengejar apa yang diimpikan oleh modernitas, tanpa sadar kehilangan sesuatu,” kataku.

“Apa yang hilang itu?” tanyanya.

“Cinta,” jawabku.

Tatapannya jadi berkabut. Bibirnya tak jelas mau berucap apa, sebelum kemudian berubah jadi senyum.

Ketika aku tanya, apakah dia ingin segera pulang, ia menjawab masih ingin bersamaku.

Dia memegang tanganku.

Jantungku berdegup.

“Kita ke Ancol saja yuk,” usulnya.

Pada masa itu Ancol terkenal dengan kawasan pantainya, namanya Binaria—tempat orang pacaran dalam mobil.

Ada istilah: “mobil bergoyang”.

Ia mengarahkan mobil ke sana.

Aku seperti kerbau dicocok hidungnya.

Bulan jauh di angkasa.

Terdengar gemericik air laut membelai pantai.

Tiba-tiba film putus.

Aku terbangun dari lamunan kacau.

“Memang pendek-pendek begini filmnya, Mas,” kata Asep.

Dia mengotak-atik proyektor dan memasang potongan-potongan film lain.

“Kita seperti di bioskop,” ucap Asep. “Harusnya tempat ini kita beri nama Ciawi Theater,” tambahnya tertawa.

“Ah, kurang tepat. Namanya mustinya Cinemamargaretha,” kataku.

Asep tak peduli. Ia sibuk membereskan proyektor.

Aku juga tidak merasa perlu menerangkan padanya mengapa aku berucap Cinemamargaretha.

Dia tak akan paham.

Bahkan aku sendiri pun tak paham diriku kala itu.

Wanita yang kuceritakan tadi namanya Margaretha.

Panggilannya Rita.

Sekarang entah dimana….***

25/2/2023

Leave a Reply