Michael, pemilik kopi langganan, menelepon saya.
“Ada wanita mengaku bernama Bre Redana,” katanya.
Heran saya, jadi pengin tahu.
Kedai kopi Michael semacam butik kopi. Kopi dan makanan kecilnya sangat istimewa, kalau dalam fashion tergolong haute couture.
Sejatinya Michael adalah coffee connoisseur. Ia membuka tempat ini untuk lingkungan pecinta kopi. Pelanggan baru sering ia tanya namanya untuk ia input dalam sistem untuk dipelajari selera personalnya terhadap kopi.
“Saya juga heran. Ketika saya tanya namanya dia menyebut Bre Redana,” lanjut Michael.
“Apakah ada tendensi kejahatan?” tanya saya.
“No, no…,” buru-buru Michael menukas. “I don’t think so. Dia sudah dua kali ke sini. Sepertinya semata-mata agak stress. Nanti kalau dia ke sini lagi Mas Bre saya telepon,” ucap Michael.
Selang beberapa hari kemudian Michael menelepon.
“Mas Bre dimana?” tanyanya.
“Di rumah,” jawab saya.
“She’s here,” bisik Michael.
Buru-buru saya menuju butik kopi Michael.
Antara rumah saya ke butiknya cuma butuh waktu seperempat jam.
Kopi Michael tampak sepi. Di halaman terparkir satu mobil Alphard warna hitam.
Saya masuk.
“Hai,” Michael menyapa seperti biasa.
Dia segera meracik kopi untuk saya, spesial dengan liquor, sembari matanya melirik memberi kode.
Hanya wanita ini satu-satunya di sini siang ini.
Saya duduk di meja kursi seberang sambil menimbang-nimbang apa yang hendak saya lakukan.
Harus saya akui, dia cantik. Sangat terawat, sentosa, menunjukkan diri sebagai perempuan makmur.
Rambut sebahu.
Dress terusan warna biru muda model you can see memperlihatkan lengannya yang putih padat, sama padat seperti pinggulnya.
Ia duduk menumpangkan kaki.
Aduh, kakinya sangat bagus.
Usia saya taksir antara 50-60 tahun.
Saya mengerahkan keberanian yang pernah saya miliki dulu—entah mengapa kini makin luntur—untuk mendekat dan menyapa.
“Suka kopi di sini?” tanya saya.
Dia mengangkat wajah, senyum sekilas.
“Boleh saya duduk sini,” ucap saya, dan tanpa menunggu persetujuan langsung duduk di kursi di depannya.
“Excellent,” dia mengomentari kopi yang dicicipnya pelan.
Bibirnya indah.
“Michael sebenarnya bukan pengusaha, dia coffee connoisseur,” saya membuka percakapan. “Saya Benny,” saya memperkenalkan diri dengan menyebut nama asal-asalan. “Boleh tahu siapa nama mbak?”
“Bre Redana,” jawabnya.
Saya tersentak.
Apakah betul itu nama dia?
Betapa tidak kreatifnya dunia.
Atau, andaikata saya lahir sebagai perempuan, adakah bakal secantik dia?
“Rasanya saya pernah dengar nama ini. Mbak pengarang?” tanya saya.
“Blues Merbabu, Rex, Urban Sensation, Dongeng untuk Seorang Wanita,” ujarnya tanpa menatap saya.
Saya terbengong-bengong.
Semua yang ia sebut adalah judul buku karangan saya.
“Tentang apa itu semua?”
“Lelaki brengsek menulis segala hal tentang wanita. Kenangan diacak-acak. Saya ingin kembali ke masa lalu dan membereskannya. Mana mungkin. Semua hanya menjadikan hari ini tak jadi apa-apa kecuali sebuah hari dengan pengalaman tambahan berikut detil-detil yang tak perlu.”
Betul kata Michael.
Ada yang kurang beres pada wanita ini.
Kekurang-beresan tingkat dewa.
“Mbak ahli sastra rupanya?” saya memancing.
“Doktor pertama bidang sastra dan bahasa adalah Prof Dr Husein Dajadiningrat. Patungnya ada di sudut halaman Universitas Leiden. Dekat perpustakaan. Pada zaman itu ia bisa berkuliah di Leiden karena hubungan baik ayahnya dengan Dr Snouck Hurgronje. Lelaki brengsek itu tahu segalanya dari petite histoire sampai lipstick kesukaan perempuan.”
Perempuan ajaib.
Saya tambah tertarik dengan ilmu ngelanturnya.
“Mbak tingal dimana?”
“Jakarta-Rancamaya. Trajectory masa silam masa kini.”
Bahasa yang dia pakai sangat canggih.
Trajectory, istilah yang dulu sering muncul dalam studi post-modernisme.
Agaknya dia penggemar filsafat seperti Mbak Saras Dewi.
“Dari mana mbak berasal?” saya kian ingin tahu.
“Bali utara.”
“Singaraja?”
“Lovina. Nama puitik bikinan pengarang Anak Agung Panji Tisna. Nama saya sendiri Ni Komang Bre Redana.”
Busyet, ternyata ada Ni Komang yang lain.
Yang saya kenal Ni Komang Ariani.
“Kenal Putu Fajar Arcana?” saya mulai ikut ngawur.
Seluruh orang sastra di Bali saya anggap kenal Putu Fajar Arcana.
“Di Leiden saya kenal Putu Fajar Arcana. Dia tinggal di Amsterdam, jadi penyiar radio Hilversum. Tiap hari bolak-balik Amsterdam-Hilversum. Saya tanya mengapa tidak tinggal di Hilversum. Katanya Hilversum desa. Apa bedanya dengan Negare, ucapnya dengan logat Bali. Amsterdam lain. Kosmopolit. Katanya dia tidak lagi betah tinggal di desa. Mungkin pula ia punya pacar di Amsterdam.”
Seperti saya pikir tadi, ini benar-benar ngawur tingkat dewa.
Saya kenal baik Putu Fajar Arcana. Dia tidak pernah jadi penyiar radio Hilversum atau radio mana saja.
Yang pernah jadi penyiar radio teman saya Frans Sartono. Semasa masih di Solo sebelum pindah Jakarta dia pernah jadi penyiar radio. Tak heran ia memiliki pengetahuan luas mengenai lagu-lagu dan penyanyi-penyanyi lawas. Ia selalu menceritakan biduanita Arie Koesmiran dengan mata binar-binar. Dia lalu nikah dengan pengusaha rokok merek Jambu Bol, ucap Frans bernada patah hati.
“Apa karya terbaru mbak?” tanya saya.
“Cinta tak memerlukan alasan. Dari lagu kesukaan lelaki brengsek itu A Whiter Shade of Pale. Apa-apa katanya tidak memerlukan alasan dan kita ketahui, seperti lirik A Whiter Shade of Pale yang untuk memahaminya kita perlu ambil program doktor, itu pun bisa keliru. Banyak pemusik zaman itu mencipta sambil stone. Mengapa kita musti pusing terhadap apa yang tidak kita ketahui. Pusing sebaiknya dengan apa yang kita ketahui.”
Ada benarnya. Yang bikin pusing adalah apa yang kita ketahui, bukan yang tidak kita ketahui.
Terbukti zaman ini makin banyak orang tak keruan pikirannya. Mungkin karena teramat banyak yang diketahui.
Seperti memori komputer, otak jadi hang.
Berkali-kali dia menyebut lelaki brengsek, saya jadi penasaran, ingin tahu siapa yang dimaksudnya.
“Dia mengajari saya menyetir mobil. Saya tekankan berkali-kali saya tidak akan bisa tapi dia ngotot. Naik sepeda saja saya tidak bisa. Akhirnya benar, saya malah menabrak anak babi. Anak babi mati seketika. Saya jadi trauma seumur hidup.”
Baru kali ini saya mendengar orang belajar nyetir nabrak anak babi.
Kenapa yang jadi korban harus babi.
“Ia mencoba mengubah prinsip-prinsip hidup saya termasuk dalam hal nyetir mobil. Bagi saya lebih enak jadi juragan, duduk di jok belakang, biar orang lain yang nyetir.”
Seusai berucap demikian ia menengok arloji.
Patek Phillipe, saya kepo memperhatikan arlojinya.
“Saya harus pergi,” katanya tiba-tiba.
Tanpa mempedulikan saya ia membereskan barang-barangnya, mengeluarkan kaca mata hitam dari tas mewahnya, meletakkan kaca mata di atas kepala.
Hemm, Christian Dior edisi mutakhir.
Ia berdiri.
Saya ikut berdiri untuk menghormatinya, sembari mengikuti dia melangkah keluar ruangan.
Tidak ada kesempatan untuk bertanya apa pun lebih lanjut.
Alphard hitam itu mobil dia.
Sopir langsung menyalakan mesin begitu melihat juragannya keluar.
Betul, lebih enak jadi juragan.
Tidak repot cari parkir.
Ia masuk mobil.
Perlahan mobil meninggalkan halaman.
Saya perhatikan plat nomornya: B 1011 RE.
Hai, bukankah itu angka kelahiran saya?
10 November.
Saya benar-benar bingung.
Yang tidak beres sebenarnya dia atau otak saya.***
12/6/2022
Keren. Melepaskan identitas diri. Mencoba melihat kemungkinan diri pada identitas gender lain. Salut deh sama Mas Bre!