Skip to main content
Cerita

Dialog Imajiner dengan Adriana

By June 30, 2021No Comments

Bahwa tokoh dalam cerita yang ditulis seseorang bisa hidup dan berkembang sendiri di luar kendali pengarangnya saya tahu, namun tidak pernah mengira dia benar-benar datang dalam mimpi dengan sebegitu nyata. Itulah yang terjadi tadi malam.

Tiba-tiba dinding ruang kerja saya bergetar. Buku-buku di rak bergoyang. Ada yang jatuh. Kepala saya hampir tertimpa buku.

Bersamaan dengan itu muncul wanita.

Tidak, tidak seperti kuntilanak bergaun malam putih, rambut terurai panjang, wajah pucat, seputar mata menghitam.

Sama sekali tidak seperti itu.

Ia cantik. Kontur wajah lembut, hidung tak terlalu mancung, bentuk bibir bagus.

Rambut sepundak terawat memancarkan pertanda kesentosaan hidup.

Kaki dibalut celana jeans stretch, mempertegas kaki dan pinggul yang indah. Atasan pullover abu-abu, turtle neck.

Saya tinggal di daerah pegunungan. Dingin.

Duduk di ruang kerja saya bersarung dan berjaket. Seperti para penjaga villa.

Terpana saya melihat kemunculannya.

Dia Adriana, tokoh imajiner dalam cerita yang baru saja saya selesaikan berjudul Ketika Jati Berbunga.

Ya, Adriana.

“Tidak percaya aku datang…,” ucapnya diiringi senyum.

Saya kehilangan kata-kata tidak mampu menjawab dengan segera.

Juga tidak mengira dia hadir dengan cara seperti ini.

Ketidak-nyataan melebihi kenyataan.

Mungkin saya kelewat banyak membaca Umberto Eco.

“Apa yang membawamu kemari?” saya buka suara.

“Kangen,” jawabnya spontan.

Jagad dewa batara, saya mengucap dalam hati.

“Idiommu sama persis ketika kamu mengarang cerita,” ia berucap. “Kamu senang berseru jagad dewa batara. Kamu orang kuno.”

Agak kaget saya. Dia bisa membaca pikiran saya, mampu menangkap kata yang tak terucap.

Hemmm, kurang apa lagi. Cantik. Memiliki kepekaan tingkat langit.

“Ya, aku kaget,” saya mengakui.

“Jangan kagetan,” sergahnya senyum-senyum.

Saya jadi rileks.

Saya siap beranjak ingin mencarikan tempat duduk.

Lagi-lagi dia membaca pikiran dan niat saya. Dia melangkah mendekat, lalu meletakkan pantat duduk di bibir meja kerja, persis di depan hidung saya.

“Di sini saja,” ucapnya sembari menopangkan satu kaki di atas kaki lainnya.

Kakinya, seperti kesan pertama tadi, indah.

Dalam jarak sedekat ini saya juga bisa membaui parfumnya: Poison.

“Aku tahu kamu pemuja kaki dan tak malu-malu mengakuinya. Itu karena Charles Bukowski, pengarang kesukaanmu,” katanya.

Mati aku. Semua tentang diriku diketahuinya.

“Aku juga tahu kamu menyukai aroma parfum yang menyengat ini.”

“Kenapa engkau datang?” saya menyela, agar dia tidak terus membaca diri saya.

“Kan sudah kukatakan, aku kangen.”

Oh ya, ya… Belakangan otak saya kurang tangkas.

Saya menumpangkan tangan di atas pahanya.

Serasa sudah lama kami berteman.

“Kamu tidak berubah. Imajinasimu berkelana tanpa peduli dosa. Pengarang gemar membawa tokohnya ke tempat tidur, kamu mengaku mengutip kata-kata itu dari seseorang, padahal kamu mengutip dirimu sendiri.”

Saya senyum-senyum. Nyatanya memang demikian.

“Apakah imajinasi berkonsekuensi dosa?” tanya saya.

“Tanyakan pada dirimu sendiri.”

“Bukankah hukuman berlaku untuk perbuatan, bukan pikiran?”

“Galileo Galilei dihukum  karena pikirannya bahwa bumi mengelilingi matahari, bukan sebaliknya,” jawabnya.

Saya termenung.

Betul juga. Banyak orang dibunuh karena pikiran dan keyakinannya, bukan perbuatannya. Penguasa punya kebiasaan menumpas pikiran.

Saya berujar: “Sebuah ayat aku ingat. Bunyinya: pada mulanya adalah firman. Pada mulanya adalah kata. Dengan itu Sang Pencipta telah menubuatkan bahwa penjadian dunia dan seisinya dimulai dari kata. Bukan yang lainnya. Bukan yang kita jalani, lihat, dengar, alami, dan lain-lain. Melainkan kata.”

Beberapa orang mengenal saya sebagai makhluk pendiam. Keliru. Pada orang yang tepat saya banyak bicara. Ngomyang seleluasa-leluasanya.

“Dengan kata sebagai ikhwal proses penjadian, apa yang kita jalani, lihat, dengar, lakoni, tidak seberapa dibandingkan pengalaman yang lahir dari olah kata, krida kata. Di kuil-kuil Shaolin selain krida badan ada krida kata melalui latihan menulis kaligrafi.

Sebagaimana pengalaman atas tubuh membawa pengalaman tak terhingga, dari yang esensial sampai yang eksistensial, begitu pun dengan olah kata melalui kaligrafi.

Dengan kuas, tinta, kertas, kita tidak hanya belajar mengenal jari-jari dan pergelangan tangan, sam chien kien nat chu, tetapi juga menguak cakrawala kehidupan melalui kata-kata.

Otak kita dibentuk oleh perkembangan kata, perkembangan bahasa. Bahasa membawa evolusi neuron, membawa manusia mencapai kesadaran.

Kesadaran berkembang dari waktu ke waktu, menjadi penopang peradaban.

Begitulah peradaban terbangun, manusia menemukan diri. Celaka kalau berpikir dicurigai,” saya berkata panjang lebar.

“Itu sebabnya kamu menulis cerita,” tukasnya.

“Persis. Aku tahu kamu tahu segalanya tentang diriku. Aku tidak menuliskan pengalaman, kenyataan, baik pengalaman diri sendiri maupun manusia lain. Buat apa membikin disclaimer ‘berdasar kisah nyata’. Buat apa menulis kisah nyata.

Menulis adalah ikhtiar untuk memperluas cakrawala kehidupan.

Merambah keluar batas pengalaman hidup.

Sepengetahuanku begitulah Dante menulis Divina Commedia, Cervantes menulis Quixote, Kafka menulis The Castle, dan seterusnya.

Atau orang-orang lama melisankan dongeng rakyat yang kudengar dari sejak masa kanak-kanak. Agar anak mengenal cakrawala kehidupan.”

Dia menumpangkan telapak kaki di paha saya.

Saya suka. Cutex kukunya merah. Seperti pramugari Singapore Airlines.

Tiba-tiba saya ingat dongeng Jaka Tarub. Cerita pemuda desa mengintip para bidadari yang turun dari kahyangan, mandi di telaga.

Pemuda ini mencuri kain salah satu bidadari, namanya Nawang Wulan.

Karena kainnya dicuri, Nawang Wulan tak bisa terbang kembali ke kahyangan. Ia menyerah, diperistri di pemuda desa.

Dalam sekejap muncul gagasan pada diri saya untuk mencuri kain Adriana, agar dia tidak bisa kembali ke alam khayal.

Biar di sini, menjelma jadi kenyataan.

Saya meliriknya.

“Ha-ha-ha, seperti kukatakan kamu tidak berubah,” Adriana tertawa. “Aku membaca pikiran jahatmu. Oleh karenanya aku tidak mengenakan kain, tidak akan melepaskan pakaian, nude, telanjang sehingga kamu berkesempatan mengintip dan mencuri kainku. Aku tidak sudi tersandera.”

Brengsek. Terus terang saya jadi malu.

Angin malam berdesir.

“Aku ngantuk. Selamat tinggal,” begitu saja ia  berucap, seenteng bilang kangen ketika datang tadi.

“Tunggu, tunggu…,” saya berusaha menahannya.

Seperti asap dia menghilang.

Terbangun saya dari lelap sesaat.

Di mana Adriana?

Tidak ada buku yang jatuh.

Semua baik-baik saja.

Mundo, rottweiler saya tidur di bawah meja.

Saya menengok jam dinding.

Pukul 23.00.

Bagi yang kenal waktu tubuh, ini saatnya tidur.

Pantas tadi begitu ngantuk, sampai tertidur di kursi.***

30/6/2021

Leave a Reply