Skip to main content
Cerita

Double Fantasy

By September 7, 2024No Comments

MENYAMBUT tamu istimewa, tak lama lagi kakak laki-laki saya akan datang bersama pacarnya. Dari Jakarta mereka naik kereta api, sore bakal sampai stasiun kereta di kota yang jaraknya sekitar 50 kilometer dari kota kecil kami. Sepupu yang punya mobil sudah dalam perjalanan untuk menjemputnya, ikut merayakan kebahagiaan kami terutama Ibu.

Ya, sudah lama Ibu berangan-angan ingin segera punya menantu perempuan.

Sangat lama Ibu berharap agar kakak saya, kami memanggilnya Mas Tantra, punya pacar.

Entah mengapa, di antara keluarga besar, di antara para sepupu baik putra-putri dari kakak-kakak maupun adik-adik dari pihak Ibu atau pun Bapak, dari dulu hanya Mas Tantra yang tak pernah pacaran.

Sepupu-sepupu lelaki yang seusia Mas Tantra banyak yang sejak remaja sudah gonta-ganti pacar.

Ada bahkan yang bangga dengan reputasi sebagai “playboy”—kami menyebutnya boipung alias playboy kampung.

Belum lagi yang perempuan. Ada sepupu perempuan yang hamil tatkala SMA.

Terpaksa berhenti sekolah dan jadi ibu muda.

Kehidupannya kemudian kurang lebih seperti digambarkan lagu “Too Young to be Married”.

Dulu Mas Tantra jadi teladan.

Coba kalian semua itu begitu, seperti Tantra, mengutamakan sekolah, demikian komentar sering muncul memuji Mas Tantra yang kebetulan juga pandai, selalu menjadi bintang kelas bahkan bintang sekolah.

Dengan kecemerlangannya Mas Tantra memperoleh sekolah-sekolah terbaik dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi, hingga akhirnya dengan mudah usai kuliah ia diterima bekerja di perusahaan minyak asing terkemuka.

Siapa tak bangga.

Ketika kehidupan Mas Tantra terbilang mapan, berpindah-pindah kantor dari Dumai sampai kemudian Jakarta, juga tak terdengar Mas Tantra punya pacar.

Jadilah Ibu mulai resah.

Seluruh keluarga mulai kepo, mendorong-dorong agar Mas Tantra segera mendapatkan wanita yang cocok.

Sering kali secara diam-diam Ibu menjalin hubungan dengan teman-temannya yang punya anak perempuan untuk dijodohkan dengan Mas Tantra.

Begitu pun Bude atau Bulik, melakukan kegiatan serupa, semuanya secara diam-diam.

Setahu saya, ada beberapa pihak menyorong-nyorongkan anak perempuannya ingin besanan dengan Ibu.

Dari waktu ke waktu usaha tak membuahkan hasil.

Mungkin benar, jodoh Tuhan yang menentukan.

Maka, tak terkira bungah Ibu ketika pada kunjungan terakhir waktu itu, pada Ibu Mas Tantra mengaku punya pacar.

Langit cemerlang seketika.

“Wah, anak mana? Dari mana? Ada fotonya?” Ibu sampai tak tahu harus mendahulukan pertanyaan apa saking kaget dan bahagianya.

“Anak Jakarta,” kata Mas Tantra saya ingat.

“Jakarta? Seperti apa anaknya?” Ibu berseru.

“Kelahiran Minahasa,” kata Mas Tantra kalem.

“Aduhhh, pasti cantik. Coba Ibu lihat fotonya.”

Mas Tantra mengeluarkan foto dari dompet, menunjukkan pada Ibu.

“Duh Gusti, cantiknya…” seru Ibu. “Siapa namanya?”

“Bella,” jawab Mas Tantra. “Dia kembar.”

Ibu tambah kaget.

“Kembar? Jadi ada kembarannya?”

“Ya tentu ada, namanya kembar. Nama saudara kembarnya Donna.”

“Bukan dua-duanya dipacarin kan…,” saya menyela.

Ibu melotot.

“Ini pembicaraan penting, kamu tidak usah ikut-ikutan. Kamu dari ingusan tukmis, tak bisa lihat perempuan jidat kelimis, ngejar-ngejar perempuan melulu,” Ibu membentak saya.

Saya garuk-garuk kepala.

Tak henti-henti pada liburan kali itu percakapan Ibu melulu berhubungan dengan keingin-tahuannya tentang pacar Mas Tantra.

Bagi Ibu dari sejak hari itu tak ada urusan lebih penting dibanding pengakuan bahwa Mas Tantra punya pacar.

Kalau bisa sudah pasti  jarum jam akan ia percepat, sampai ke hari di mana Mas Tantra berjanji akan membawa pulang Bella dan mengenalkannya pada keluarga.

DAN hari itu adalah hari ini.

Saya menunggu di rumah kakek tak jauh dari rumah kami. Bersama Mas Dwi yang menjemput mereka akan langsung ke rumah kakek-nenek terlebih dahulu.

Rumah kakek tak jauh dari rumah kami, di pinggir jalan besar.

Mobil tak bisa masuk gang tempat rumah kami.

Selain itu, tata krama di keluarga kami memang demikian.

Kakek-nenek harus dikunjungi terlebih dahulu.

Apalagi dalam hal ini tak kurang nenek juga ingin segera melihat calon Mas Tantra.

Saya yang membukakan pagar ketika mobil Mas Dwi masuk halaman.

Saya pula yang pertama salaman dengan tamu dari Jakarta itu begitu mereka keluar dari mobil.

Bella bersama saudara kembarnya, Donna.

Pancen ayu, batin saya.

“Ini adik saya, Gitanyali yang kuceritakan,” Mas Tantra mengenalkan diri saya.

Terlihat keduanya agak kaget.

Pasti mereka tidak  mengira penampilan saya yang jauh beda dari Mas Tantra.

Mas Tantra necis, rapi.

Saya berantakan, rambut sebahu.

“Dia penulis, punya pers kampus,” Mas Tantra melanjutkan tentang saya.

Dengan cepat saya menjadi akrab dengan Donna.

Usia Bella-Donna dua tahun di atas saya, empat tahun di bawah Mas Tantra.

Beberapa hari mereka di rumah kami, saya runtang-runtung dengan Donna.

BENAR, yang saya ceritakan di atas adalah peristiwa jauh masa lalu.

Sebagian tokoh yang saya sebut sudah tiada lagi kini, seperti kakek, nenek, Ibu, juga Mas Tantra.

Perlu saya tambahkan, hubungan asmara Mas Tantra dengan Bella tidak berlanjut.

Begitu jalannya nasib, Mas Tantra menikah dengan gadis lain berasal dari Bandung.

Khusus tentang Bella dan Donna, terus terang nama tersebut samaran, bukan nama mereka yang sebenarnya.

Saya hampir lupa risalah di atas, andai tidak disebabkan ada teman yang baru-baru ini menyebut nama Donna, maksud saya nama Donna yang sebenarnya.

Butet, teman saya dari Yogya itu, baru saja melakukan perjalanan ke Manado.

Dia bilang ketemu wanita kembar yang mengaku pernah mengenal saya, keluarga kami, puluhan tahun lalu.

Ia sebut namanya.

“Kamu kenal?” tanya Butet.

Saya tak segera mampu menjawab, mencoba mengingat-ingat terlebih dahulu dengan melokalisir masa tertentu.

Manusia tanpa konteks peristiwa mudah lenyap dari sejarah.

Oh ya, remang-remang saya mulai bisa merekonstruksi apa yang terjadi pada masa itu.

Tak lama setelah peristiwa yang saya ceritakan tadi saya lulus sarjana muda.

Pindah ke Jakarta, kerja jadi wartawan.

Pikiran saya mengembara pada periode tersebut.

Saya ingat apa yang saya tulis ketika pertama kali bekerja di koran, yakni peristiwa penembakan John Lennon di depan apartemennya di Manhattan, New York, seusai ia melakukan rekaman bersama isterinya, Yoko Ono.

Hasil rekaman menjadi album yang saya sukai sampai sekarang, judulnya Double Fantasy. Di situ terdapat lagu favorit saya, “Kiss Kiss Kiss”.

“Pacar kamu ya, dulu?” Butet bertanya lanjut. “Ayu lho.”

“Saya agak lupa,” jawab saya.

“Katanya pernah nonton film segala sama kamu ketika itu.”

“Mungkin benar, mungkin tidak.”

Sejatinya, memori sering menipu.

Teman saya yang lain, Joss Wibisono di Belanda, beberapa kali tanya, apakah yang saya tulis benar-benar pernah terjadi atau tidak, nyata atau tidak nyata.

Di Amsterdam saya sering ngebir bersamanya.

Jawabnya sama saja, bagi saya yang nyata dan tidak nyata sama saja.

“Tergantung yang baca,” kata saya. “Kalau mereka percaya itu nyata ya nyatalah dia. Bahasa punya kaki sendiri, bisa jalan sendiri, kadang saya yang mengikuti dia, bukan dia mengikuti saya.”

Joss tertawa, saya ikut-ikutan tertawa.

Kenyataannya demikian.***

7/9/2024

Leave a Reply