Skip to main content
Cerita

Pamflet Politik dalam Cerpen

By February 13, 2024No Comments

UTUSAN yang diberi perintah untuk mencari tahu hal ikhwal negeri yang bak kapal tengah oleng seperti hendak tenggelam memberikan laporan kepada Dewan Langit.

Di hadapan para dewa anggota Dewan Langit ia membacakan laporan seakan membaca cerita pendek.

Bahasa kahyangan memang demikian.

Selain baik dan benar, ia indah tidak kaku seperti bahasa hukum.

Saya mendengarnya tadi malam tatkala tiduran di sofa di depan televisi yang menyala tapi tidak saya lihat dan pedulikan.

Yang begini sering terjadi pada saya.

Peristiwa nyata, senyata kenyataan, anggaplah sebagai berkah bahwa oleh Yang Kuasa kita diberi mimpi dan imajinasi.

Di antara ambang tidur dan jaga saya mendengar ia menarasikan laporan yang di telinga saya terdengar sebagai pamflet politik dalam cerpen.

Begini bunyinya:

Tiga bulan hamba melakukan perjalanan.

Dibanding perjalanan belasan tahun sebelumnya hamba melihat bertambahnya jumlah penduduk secara signifikan.

Karena perubahan waktu dan zaman, angkatan baru kependudukan ini tidaklah seperti angkatan lama.

Pelayaran samudera makin ramai ke negeri ini.

Dengan wilayah teramat luas, bagian pedalaman menyerupai benua terdiri dari gunung-gunung, sungai-sungai, dan hutan-hitan, harus diakui tidak mudah mengelola negeri seperti ini.

Kapal-kapal asing lenggang kangkung mendarat di berbagai pelabuhan dan pantai.

Didasari rasa ingin tahu akan keajaiban negeri—ditambah ingin cari untung dari kekayaan alammya—mereka melanjutkan perjalanan ke pedalaman dengan kapal maupun perahu lebih kecil melalui sungai-sungai.

Juga dengan berbagai cara menembus perjalanan darat.

Raja, penguasa beserta birokrasinya seperti tertidur.

Tak peduli pada perkembangan yang tengah terjadi.

Menteri perang entah kemana.

Kabarnya ia sakit-sakitan.

Para pejabat pada semua tingkatan sibuk dengan urusan sendiri-sendiri melakukan korupsi sesuai tingkatan dan kemampuan maksimal masing-masing.

Hutan-hutan di wilayah utara yang jarang penduduknya telah banyak yang jatuh ke tangan orang-orang asing.

Untuk menopang gaya hidup mewah penguasa dan kelas atas negeri (kebutuhan atas kemewahan hidup tak mengenal batas) rakyat dicekik dengan pajak yang terus membubung tinggi.

Hidup rakyat tambah susah.

Bukan hanya gagal  panen, boleh dikata pertanian gagal total.

Pertanian tidak lagi disucikan sebagaimana manusia seharusnya menyucikan bumi, langit, berikut alam dan seisinya.

Seperti hamba sebut sebelumnya, terutama angkatan baru kependudukan negeri, mereka tidak lagi akrab dengan kenyataan di alam.

Dengan terpisahnya mereka dari kenyataan di alam, maka makin terpisah mereka dari ilmu pengetahuan, karena sejatinya ilmu berasal dari alam dan oleh karenanya harus dikembalikan kepada alam melalui masyarakat dan kebudayaan.

Api cinta kasih telah padam.

Pihak penguasa dan orang-orang kaya tidak kenal lagi welas asih pada yang miskin, sebaliknya yang miskin menaruh kebencian pada yang lebih beruntung.

Keresahan meluas.

Para begawan dan cerdik pandai memberikan peringatan pada Raja akan buruknya keadaan, bahwa negeri tidak sedang baik-baik saja.

Alih-alih mendengarkan, Raja menganggap para Begawan, pujangga, cerdik pandai, tengah bersekongkol untuk menggulingkan kekuasaan.

Raja penuh curiga karena para pejabat di semua tingkatan telah terpecah-pecah, menggalang kekuatan masing-masing.

Peringatan para begawan dianggap keberpihakan pada pihak tertentu dan kepentingan tertentu.

Kelewat lama dikungkung kebiasaan bahwa segala-galanya bisa dibayar tunai dengan uang, Raja dan penguasa tidak lagi percaya akan kemurnian alam.

Kini Raja berusia 86 tahun.

Ia tahu waktunya tak akan lama lagi.

Dia hendak mewariskan bukan saja kekuasaannya tapi juga keresahan dan ketamakannya pada putranya.

 

Utusan berhenti sesaat untuk menghela napas.

Seorang dewa anggota Dewan Langit menggunakan kesempatan mengajukan pertanyaan.

“Apakah engkau sendiri sempat bertemu Raja?” tanya dewa ini.

“Ya, hamba sempat menemui Raja,” jawab Utusan.

Diceritakan oleh Utusan, bahwa ia mengubah diri jadi asap dan kemudian muncul di depan Raja.

Raja katanya kaget.

“Utusan langit,” Raja berseru.

“Ya,” jawab Utusan.

“Apa maksud kedatangan paduka?” tanya Raja.

“Seluruh keadaan negeri sudah saya pelajari. Saya ingin membicarakan keadaan negeri pada paduka Raja,” Utusan menceritakan percakapannya dengan Raja.

“Baik, nanti malam saya akan undang paduka. Kita makan malam sambil berbincang-bincang,” ujar Raja.

Utusan Langit menuturkan kepada para dewa bahwa ia menolak undangan.

Dari pengalaman yang ia kumpulkan selama perjalanan, Raja mengalihkan perhatian siapa saja yang hendak bertanya tentang keadaan negeri dengan jamuan pesta dan makan malam.

Pesta makan malam selalu diramaikan para penghibur, tukang nyanyi, menari, pemain sandiwara dan semacamnya untuk memecah perhatian tamu.

Mereka cantik-cantik tampan-tampan konon menerima bayaran mahal untuk kepentingan ini.

Raja akan bicara ngalor-ngidul sampai tamu lupa pada substansi kunjungannya.

Terlebih lagi Raja dikenal sebagai tukang bohong.

Tidak ada gunanya makan malam seperti itu.

Gratis sekali pun.

“Oleh karenanya hamba tegas menolak undangan Raja,” kata Utusan.

“Sekarang saja kita bicara mengenai keadaan negeri,” kata Utusan menceritakan ucapannya pada Raja.

“Sebagai utusan langit ternyata paduka tidak kenal tata krama,” kata Raja.

“Paduka Raja hendak menunda membicarakan krisis negeri,” tukas Utusan.

“Itu tuduhan tak beralasan, melanggar tata cara komunikasi dengan Raja dan istana. Paduka bisa dijerat hukum dan dijebloskan ke penjara,” kata Raja.

Utusan langit kaget pada keberanian Raja.

“Apakah paduka Raja lupa bahwa tahta paduka merupakan mandat langit?”

“Adakah langit mampu mengalahkan saya?” sahut Raja.

Jagad dewa batara, Utusan Langit berucap dalam hati.

Tak ada gunanya melanjutkan percakapan.

Utusan Langit mengubah diri jadi asap, menghilang, dan kembali ke langit.

Begitulah kisah perjalanan dia.

Serasa tak percaya Dewan Langit mendengar laporan ini.

Ruangan berdengung.

Para dewa bicara satu sama lain.

“Jadi apa yang akan kita lakukan?” tanya satu dewa memecahkan ruangan.

“Kita berhentikan Raja,” seru dewa yang lain.

“Kapan?”

“Besok.”

Tanpa berembuk lebih lanjut para dewa bersepakat memutuskan mencabut mandat langit yang pernah diberikan para dewa kepada Raja, besok.

Ya, besok.***

13/2/2024

Selamat menyambut Valentine

Leave a Reply