Skip to main content
Cerita

Jalan Dongeng

By July 16, 20215 Comments

Karena tidak mengenal tempat lain, pojok pertigaan kota tempat aku menunggunya kukira tempat terbaik di dunia.

Pada tembok di sudut jalan tergantung papan tulis hitam. Orang yang tulisan tangannya menurut anggapanku terbaik di kota, dengan kapur putih menulis: Eldorado. Disertai jam pemutaran: 17.00/19.30/21.30.

Inilah tempat paling strategis untuk mengiklankan film yang diputar hari ini di satu-satunya bioskop di kota: REX.

Dari sini aku leluasa mengamati toko di seberang sana, dekat pertigaan di deretan toko-toko. Toko barang-barang kelontong “Happy”. Kalau ia keluar, aku bisa melihatnya dari sini.

Kami janji pukul 5 sore.

Entah karena tiba terlalu awal, aku merasa lama sekali menunggunya.

Kadang kendaraan melintas.  Juga dokar, kereta kuda, angkutan populer di kota.

Ini sore kedua kami janji di sini. Kami akan sama-sama ke taman bacaan.

Ia suka membaca komik roman remaja. Karya para komikus yang tidak asing: Jan Mintaraga, Zaldy, Teguh Santosa, dan lain-lain.

Aku lebih menggemari Kho Ping Hoo, SH Mintarja, Herman Pratikto, Motinggo Busye, dan pengarang siapa saja kalau belum ada lagi karya baru nama-nama saya sebut tadi.

Setelah alun-alun kami akan melewati jalan sepi.

Pekan lalu, di jalan itu aku memegang dan menggenggam tangannya.

Ia tak berkeberatan. Menatapku, balik menggenggam erat tanganku.

Tanpa ragu kucium pipinya. Halus bagai sutera.

Baru puluhan tahun kemudian nantinya aku menemukan lagi pipi selembut itu.

Lampu jalanan menyala.

Tiba-tiba aku melihat sosok gadis di atas trotoar berjalan ke utara.

Rupanya aku terlewat, tidak melihat saat ia keluar toko.

Kenapa ia ke arah utara.

Barangkali ada keperluan lain sebelum ketemu aku.

Setengah berlari aku menyusulnya.

Ia mengenakan rok kembang-kembang, blouse putih. Rambut diikat belakang seperti kebiasaannya.

“Fang Yin…,” aku berseru ketika cukup dekat di belakangnya.

Ia menoleh.

Ternyata bukan Fang Yin.

Agak malu aku memanggil orang yang salah.

Dia melanjutkan langkah tak peduli. Mungkin dikiranya aku satu sekte dengan Min Kebo.

Sebegitu mirip. Sosoknya, tingginya, caranya berjalan.

Waktu itu kami sama-sama duduk di bangku SMP.

Toko “Happy” cukup terkenal. Begitu pun papanya yang terkenal galak.

Makanya aku tidak ia bolehkan datang ke toko.

“Tunggu aku di pertigaan,” katanya.

Aku tersenyum.

Diam-diam aku ingat buku tentang perempuan separuh baya yang pada suatu sore di akhir pekan menanti lelaki yang dicintainya di pantai sepi di Normandia.

Ah, Milan Kundera.

Dari Paris, perempuan itu datang terlebih dulu ke kota kecil itu. Ia menyewa kamar di hotel dekat pantai. Sembari menunggu kekasihnya yang akan tiba petang hari, ia jalan-jalan menyusuri pantai.

Sang kekasih tiba di hotel. Oleh resepsionis ia diberi tahu, wanita yang dicarinya sedang keluar jalan-jalan ke pantai.

Lelaki ini menyusul.

Dia meihat perempuan yang dikira kekasihnya. Ternyata bukan.

Beberapa kali itu terjadi.

“Bagaimana aku bisa keliru mengidentifikasi orang yang saya cintai,” pikirnya.

Pikiran tadi menggelisahkannya. Ia mempertanyakan cintanya. Bagaimana seseorang mencinta wajah yang dia lupa.

Terus terang, saat ini pikiran itu menggelisahkanku.

Adakah aku masih mencintai kota ini, sehingga memutuskan untuk kembali ke sini, aku bertanya-tanya.

Andai aku ketemu Fang Yin, apakah aku bakal mengenalinya.

Mustahil, ucapku dalam hati.

Dulu pun, hanya berselang beberapa jam setelah bubaran sekolah, sore hari aku sudah keliru, mengira orang lain sebagai dia.

Kota ini, dengan pertigaan di pusat kota yang pernah kukira pusat dunia sebagaimana Machu Picchu di Peru, Haight-Ashbury di San Francisco, atau Time Square di New York, sama sekali berbeda dari yang kugambarkan di atas.

Tidak ada papan tulis hitam bertulis Eldorado.

REX telah lama rata tanah, diganti bangunan mal.

Kini aku jadi berpikir ulang, mengapa kami hendak membangun rumah di sini?

Yang punya gagasan sejatinya istriku. Aku memanggilnya Pipi. Panggilan itu agak mirip namanya. Dia tak tahu bahwa sebutan tersebut bagi diriku bermuatan memori mengenai pipi selembut sutera.

Kami berdua punya kecenderungan sama: spontan.

“Mengapa kita tidak bangun rumah di sana,” katanya. “Aku juga sangat suka kota itu. Kita bisa suka-suka, kadang di Jakarta, Hongkong, kadang kembali ke situ,” tambahnya.

Begitu percakapan kami via telepon.

Dia masih di Hongkong menyelesaikan pekerjaan, baru akan pulang ke Jakarta minggu depan.

Tersentak aku mendengar gagasannya.

Dengan semangat aku memutuskan pulang ke kota kelahiran untuk melihat-lihat, di mana sebaiknya nanti kami membangun rumah.

“Rumah kecil saja. Bikin sesuka kamu. Bukankah kamu selalu mengeluh, setiap kali pulang kampung merasa tidak ada hotel yang kamu merasa cocok,” Pipi berkata.

Betul. Di samping itu aku memang suka membangun rumah.

Rumah yang kami tempati di Jakarta kubangun sendiri.

Begitu pun dulu ketika dia mendirikan galeri seni rupa. Aku menanganinya dengan membumbui konsep-konsep post-modernisme.

Cita-citaku dulu jadi arsitek. Nasib berkata lain. Aku kerja di biro iklan. Jadi copy writer. Kadang menulis novel.

Menginap di hotel di tengah kota, tiap hari kini aku jalan kaki menyusuri jalan-jalan maupun lorong-lorong kota yang dulu kuakrabi.

Kadang aku mampu mengingat: oh itu dulu rumah Roy; itu rumah Hastoyo; itu rumah Suzanna; itu rumah Pak Samat; dan seterusnya.

Kini semua telah berubah.

Bukannya bahagia, aku merasa menderita karena nostalgia, bahwa  yang ada sekarang tidak seperti yang dulu.

Aku jadi meragukan rencana kami berdua.

Malam hari aku telepon ke Hongkong.

“Aku mempertimbangkan ulang, apakah rencana kita realistik. Kota tidak seperti yang dulu,” kataku pada Pipi.

Kudengar dia tertawa.

“Tentu saja, tapi aku tidak membayangkan bahwa kita akan membangun rumah di tengah kota. Kukira kamu punya bayangan yang sama, mencari tempat di desa, tempat kamu pernah menuliskan cerita, tentang pemuda yang berasal dari sebuah desa dengan mata air yang menghidupi seluruh penduduk. Aku ingat dongengmu, pemuda tersebut kemudian mendirikan kerajaan bernama Pajang.”

Terkesima aku dibuatnya.

Mengapa yang berpikir demikian dia, bukan aku.

Baru sadar aku akan kekeliruanku. Aku terjerat masa lalu,  kota, melupakan desa, mata air, lembah, ladang, gunung, dan lain-lain.

“Kamu terobsesi kemudaan, ingin menjadi muda selamanya,” kata istriku.

Lagi-lagi tak ada yang lebih betul dari kata-katanya.

Keraguanku hilang seketika.

“Baik, baik. Besok aku akan survei ke desa-desa. Reinventing the blues mountain,” ucapku.

Kita akan membangun rumah. Di kota lama. Tidak di kota. Di desa.

“Anggaplah itu jalan dongeng hidupmu,” istriku menambahkan.

Aku termangu-mangu lama sekali.

Jalan dongeng hidupku….***

16/7/2021

Join the discussion 5 Comments

  • Hartono says:

    Cerpen ini asyik dibaca sambil dengerin God Bless melantunkan Huma di atas bukit: lebih baik di sini….

  • Damar says:

    Bukankah semua seperti itu, untuk melihat ke depan, harus terjerat masa lalu dulu….

  • DaHonoF says:

    Ada yang bilang saat kita memutuskan pulang ke kampung halaman, masih adakah support system yang ada di sana? Support system dalam arti lingkungan sosial dari orang2 yg dulu (dan masih) membutuhkan kehadiran kita di sana. Kalau itu sudah tidak ada, perlukah pulang kampung itu? Hehehe malah jadi panjang, karena juga lagi gelisah mikirin ini….

Leave a Reply