Skip to main content
Cerita

Kebohongan Terakhir 2021

By December 31, 2021No Comments

31 Desember 2021.

Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Limousine yang saya tumpangi masuk menyusuri jalan menanjak. Mendekati bangunan utama dari ketinggian terlihat cahaya kerlap-kerlip pantai Keramas. Sopir yang saya sewa dan baru kali ini ke sini takjub. Saya minta didrop di depan pintu utama.

Rumah terang benderang. Ramai, telah banyak orang. Petugas service bar dengan seragam putih-putih mondar-mandir, ada yang membawa minuman ada yang menawarkan tapas.

Saya melangkah masuk.

Hidangan segala rupa dari dapur hotel bintang lima digelar di meja.

Terdengar suara berseru: “Kang….”

Happy Salma. Hanya ia panggil saya ‘kang’.

Mengenakan rok terusan putih Happy menghias diri dengan perhiasan meriah di laher, tangan, dan daun telinga. Melihat estetika perhiasannya saya pastikan itu produk dia sendiri, Tulola Jewelry.

Terlihat Chris, Yurike, Dewa Budjana, Acil Bimbo, Dicky Hutajulu, Putu Suasta, Putu Wirata, Vanessa, Intan Petersen, dan lain-lain yang kurang saya kenal atau saya pangling karena lama tidak ketemu. Lama saya tidak ke Bali.

Tommy Awuy yang bermain piano menoleh.

“Welcome, bro,” sapanya di antara lagu Pink Floyd yang tengah ia bawakan, Comfortably Numb.

“Teh Vivi mana?” Happy bertanya sembari merangkul saya.

“Nanti nyusul,” jawab saya.

“Uncle…,” Mag menghambur menghampiri. Di tangannya gelas champagne.

Wajah Mag sangat cerah. Saya dengar sejak dengan kekasih sekarang, namanya Kaus, dia menjadi lebih stabil. Mungkin juga mendapat banyak pencerahan. Kaus seorang spiritualis.

Mag memeluk saya.

Tiba-tiba entah muncul dari mana, di hadapan saya telah berdiri si tuan rumah, the queen of the house, the queen of the party: Jais Darga.

Kami berpelukan erat.

Rasanya lama sekali tidak ketemu dia. Terakhir ketemu di Paris sebelum pandemi.

“Mana Vivi, chay?” ia bertanya.

“Nanti nyusul. Sedang menemani Meitty di Nusa Dua,” saya menerangkan.

“Meitty Heiden? Phillips Auction House?”

Sebagai art dealer Jais tahu nama-nama orang di balai lelang internasional.

Saya katakan Meitty tengah berlibur di Bali.  Dia datang dari London bersama sosok yang saya tahu semua orang mengenal namanya: Kristin Scott Thomas.

“Hah, aktris Inggris yang kamu jatuh cinta itu?” ucap Jais.

Ia menarik tangan saya, meninggalkan Mag, Happy, dan lain-lain.

“Saya sudah bilang dia, kamu ingin ketemu,” bisik Jais.

Dada saya berdebar-debar.

Tadinya saya hampir tidak percaya bahwa orang yang saya anggap seperti dewa ini bakal datang ke rumahnya: Salman Rushdie.

Jais wanti-wanti untuk tidak membocorkan kepada siapa-siapa.

Tentu saja. Kontroversi mengenai Salman Rushdie bisa saja belum berakhir bagi sejumlah pihak.

Setahu saya perkenalan Jais dengan Salman Rushdie karena persahabatan dia dengan gallerist terkemuka di Prancis, Enrico Navarra.

Enrico punya jaringan nama-nama besar. Ia bersahabat dengan Alain Dellon, Ron Wood, Bono, dan lain-lain.

Oleh Jais saya dikenalkan Enrico ketika ia berkunjung ke Bali, tinggal di rumah ini.

Duduk di sofa di pinggir kolam renang Salman Rushdie dikelilingi Jean Couteau, Tjok Gus suami Happy Salma, dan satu pria yang baru saya kenal kali itu, namanya Emiliano dari konsulat Italia di Bali. Dia yang menemani sekaligus membawa Salman Rushdie kemari.

“Rushdie, this’s my brother I already told you,” kata Jais. “He knows everything of you.”

Saya agak gemetar. Kami berjabatan tangan.

“Are you MI6?” Salman Rushdie berseloroh membuat saya agak merasa santai.

“No. Mossad,” jawab saya tak mau kalah.

Dinas intelijen Israel Mossad saya anggap lebih hebat daripada dinas intelijen Inggris MI6.

“You must be Joseph Anton,” saya balik bercanda.

Rushdie tertawa.

Orang-orang di sekeliling boleh jadi tak paham apa yang kami berdua omongkan.

Dia meminta saya duduk di sebelahnya.

Seperti mimpi duduk di sebelah Salman Rushdie. Jantung saya berdegup keras.

Pelayan datang menawarkan wine, champagne, vodka, tequila, dan lainnya.

Saya butuh tequila biar tidak nervous.

Begitu menenggak satu shot tequila saya bicara lebih lancar.

Selain berbahasa Inggris baru saya tahu malam itu bahwa Salman Rushdie berbicara bahasa Italia dengan lancar.

Dengan Emiliano ia bercakap-cakap dalam bahasa Italia.

Saya bertanya kenapa dia memakai nama Joseph Anton ketika jadi buron di bawah perlindungan MI6.

“Saya coba menggabungan nama penulis-penulis favorit saya, semua terdengar aneh: Vladimir Joyce, Marcel Beckett, Franz Sterne…,” dia menjawab pertanyaan saya.

Jean Couteau mendengarkan dengan serius.

“Lalu sampai pada Conrad dan Chekhov. Joseph Anton terdengan okey,” ucapnya.

Giliran saya tertawa mendengar penjelasannya. Juga Jean Couteau.

“Berapa lama menggunakan pseudonym Joseph Anton?” Jean Couteau menyela.

“Sebelas tahun,” jawab Rushdie.

Terdengar Tommy Awuy memainkan lagu Rolling Stones “In Another Land”. Lagu ini dari album Their Satanic Majesties Request. Dia pasti dengan sengaja memilih nomor itu.

“Saya bertemu Mick Jagger tatkala The Stones main untuk presiden Vaclav Havel di Praha,”

kata Rushdie.

Dia menceritakan dukungan Havel padanya saat masa-masa sulit yang dialaminya gara-gara novel The Satanic Verses.

Bagi saya sangat menarik pandangan Rushdie mengenai Velvet Revolution oleh Havel. Menurut dia Velvet Underground adalah satu-satunya band dalam sejarah yang menciptakan revolusi, menjadi inspirasi Velvet Revolution pada akhir pendudukan Russia atas Ceko.

Itulah babak terakhir Cold War.

“Mereka tidak cuma menyanyikannya seperti The Beatles,” kata Rushdie saya ingat sampai sekarang.

Ketika sebagai presiden Havel melakukan lawatan ke Amerika, di New York ia menyempatkan bertemu Lou Reed dari Velvet Underground untuk berterimakasih.

Jais yang tadi meninggalkan kami muncul lagi, membawa tamu berwajah ganteng, sepertinya keturunan Arab, namanya Omar.

Tamu ini katanya desainer perhiasan, dulu tinggal di Bali, kini di Swiss.

Ia bersalaman dengan kami semua.

Giliran dengan saya dia menjabat tangan saya lama sekali. Dia memperhatikan gelang yang saya pakai di tangan kanan.

“Dari mana anda mendapatkannya?” tanyanya.

Antique boutique house di Yunani,” jawab saya.

Ia tak melepaskan tangan saya, meraba gelang tersebut.

Banyak orang kagum dengan gelang ini.

Bahan emas, berbentuk ular melingkar dalam desain Romawi kuno.

“Tentulah sangat mahal,” ucapnya sembari melepas tangan saya.

Saya mengangguk.

Ngobrol dengan Salman Rushdie berlanjut sebentar, sebelum kemudian Emiliano berkata bahwa mereka harus meninggalkan tempat.

Rushdie ditunggu untuk acara di kediaman konsul Italia di Denpasar.

Sepeninggal Rushdie dan Emiliano Omar mendekati saya.

Sambil merangkul pundak saya dia berucap: “Bolehkah kita bicara berdua sebentar?”

Saya tidak tahu apa yang hendak dia bicarakan. Kami menjauh ke tempat sepi di halaman belakang.

Berjarak dari keramaian tamu, ia membuka percakapan.

“Dulu semasa tinggal di Bali saya punya kenalan, general manager The Conrad, namanya Jonathan. Bukan hanya kenalan, tapi teman baik. Dia waktu itu pujya hubungan dengan wanita Jakarta namanya Angela,” katanya.

Saya terkesiap.

Dia menatap saya.

Pastilah ada hubungan dengan gelang ini.

Tadi saya menjawab asal-asalan. Saya suka bicara sembarangan. Kadang bohong.

Gelang ini pemberian Angela—belasan tahun lalu ketika saya masih bujang dan punya beberapa pacar. Angela waktu itu mengatakan gelang yang diberikan pada saya ini tak ada duanya di dunia.

“Hubungan Jonathan dan Angela putus. Kini Jonathan tinggal di London. Jonathan dulu memesan gelang ini untuk Angela. Saya ingin bertanya, apakah gelang ini pemberian Angela? Saya tidak membikin yang lain desain semacam ini,” lanjutnya.

Sungguh saya merasa ditelanjangi, kikuk, tak tahu harus berbuat apa.

“Ya,” jawab saya pelan disertai rasa malu. “Maaf, tadi saya bohong.”

“Tidak masalah. Saya tidak ingin mencampuri urusan pribadi kalian. Kalau boleh tahu apakah artinya Angela pasangan anda?”

Tidak mengira sebuah gelang akan membuka percakapan seperti ini.

“Sudah lama sekali, saya bahkan tidak tahu lagi bagaimana dan di mana dia sekarang. Saya telah menikah dengan perempuan lain yang segera akan muncul,” jawab saya sejelas-jelasnya untuk menebus dosa kebohongan tadi. “Sebaiknya gelang ini saya berikan pada anda. Masterpiece yang sebaiknya dimiliki pembuatnya,” lanjut saya mencopot gelang tersebut dan menyodorkan padanya.

Omar terpana.

“Tidak bisa demikian,” katanya.

“No, please,” saya ngotot menyodorkan gelang padanya.”Sekarang benda ini jadi beban bagi saya.”

“Kalau alasannya demikian saya bisa terima,” ucap Omar. “Saya akan membayar anda,” lanjutnya.

“Sebaliknya, saya akan membayar anda,” saya menukas.

Mengapa saya harus membawa-bawa benda dari kenangan masa lalu.

Omar tertawa, memeluk saya.

Dari dalam rumah terdengar suara makin riuh.

“Mari cari wine,” ajak Omar.

Berdua kami melangkah masuk ruangan.

Tamu telah bertambah. Terlihat istri saya Vivi, Ninuk Mardiana dan suaminya Rachmat yang ternyata tengah di Bali, Garin Nugroho, Kamila Andini dan suaminya Ifa Isfansyah, dan lain-lain.

“Menghilang kemana sih, saya cari-cari,” ucap Vivi.

“Ini Omar,” saya memperkenalkan Omar padanya.

Yurike, adik sepupu Jais, nimbrung.

Anyway, apa resolusimu darling?” Yurike yang agaknya mulai mabuk berucap pada saya tanpa juntrungan.

Dia biasa manja pada saya.

Vivi maupun Omar melihat kami berdua.

Brengsek, saya tidak memikirkan resolusi.

“Ayo dong, jawab,” kata Yurike menggelendot di pundak saya.

“Okey,” ucap saya. “Saya pengarang. Malam ini adalah kebohongan saya terakhir menutup tahun 2021. Tahun depan ada kebohongan baru. Tugas fiksi menjadikan  yang tidak nyata seolah nyata.”

“Jadi ini tidak nyata?” kata Yurike sambil memonyongkan bibir.

Semua tertawa.

Beberapa detik lagi 2021 berakhir.

Kami bersulang mengangkat gelas masing-masing.

Happy new year.***

30/12/2021

Leave a Reply