Skip to main content
Cerita

Kemuning Part 2

By September 4, 2021September 6th, 2021No Comments

Terus terang Ermina penasaran mengenai pemilik rumah, si pengarang itu, yang oleh Chris yang mengontrak rumahnya dan menjadikannya guest house tempat Ermina dan suami tinggal sekarang, katanya kini tinggal di Hongkong.

“Bisa gak ya saya menelepon dia. Saya pengin kenal,” kata Ermina pada Chris.

“Tentu bisa. Dia akan senang. Nanti saya kasih nomor telepon dia,” jawab Chris.

“Saya agak penasaran…,” ucap Ermina.

“Agak misterius orangnya,” Chris berucap.

“Tampak dari tulisannya,” tukas Ermina.

“Dia baik kok,” Vei, istri Chris yang mendengar percakapan berkomentar.

Ermina dan suaminya, Nius, sering malam hari bertandang ke rumah Chris-Vei seperti malam ini.

Tiada momen sebaik ini.

Berempat mereka menikmati spaghetti meat ball bikinan Vei sambil minum wine.

“Sudah saya kirim nomor dia,” kata Chris pada Ermina.

“Terimakasih,” Ermina mencek handphone.

“WA dulu. Khawatirnya dia tidak mengangkat nomor yang tidak dikenal,” kata Vei.

“Tentu. Pengarang pasti sangat menjaga privacy dirinya,” Ermina menyahut. “Besok pagi saja. Tidak enak malam-malam begini. Belum kenal.”

Paginya Ermina mengirim pesan WA:

Selamat pagi. Maaf mengganggu. Salam kenal. Saya Ermina, teman Chris. Saya dan suami tinggal di rumah Anda. A beautiful house, we’ll take a good care of it. Salam untuk keluarga.

Tidak lama ia mendapat jawaban.

Hi Ermina. Nice to know you. Salam dari kami di Hongkong.

Ermina senang langsung disapa dengan namanya tanpa embel-embel apa-apa.

Begitulah perkenalan mereka.

Sejak itu, meski tidak terlalu sering, mereka kadang bertukar kabar.

Ermina jadi tahu, istri dia tidak bekerja di Sotheby’s atau pun Christie’s seperti disebut Chris, melainkan Phillips Auction House.

Selama pandemi Hongkong katanya juga ketat pembatasan sosialnya. Keduanya lebih banyak di rumah. Apartemen mereka di Causeway Bay.

Ermina bisa membayangkannya. Causeway Bay adalah kawasan terkenal di Hongkong.

Pada perkembangannya, merasa cukup dekat, Ermina memberanikan diri bertanya mengenai kemuning.

“Saya baca di salah satu buku, mas menulis tentang kemuning,” tulis Ermina melalui WA. Ia memanggilnya ‘mas’.

Disinggungnya bau kemuning yang sering merebak di dalam rumah.

“Kalau Anda ada waktu saya akan telepon. Agak panjang ceritanya,” si pengarang menjawab.

Any time. Saya ibu rumah tangga yang banyak waktu,” Ermina membalas.

Si pengarang menelepon.

“Dari mana enaknya saya akan memulai,” begitu dia membuka percakapan. “Kisah ini kelewat melankolis.”

Berceritalah si pengarang.

Ermina mendengarkan penuturan yang sangat memikat, lancar, seperti cara bercerita dia melalui buku-bukunya.

Dulu sekali, saya masih kecil, kemungkinan Ermina belum lahir, di kota ini ada dalang wayang kulit, nama panggungnya Ki Gondokemuning.

Gondo dalam bahasa Jawa artinya bau. Bau kemuning.

Pada zamannya dalang ini sangat terkenal, namanya sering diasosiasikan dengan kota yang Ermina tinggali sekarang ini.

Para penduduk mencintainya.

Saya perlu sedikit memberi gambaran mengenai konteks zaman itu—sekiranya Ermina kurang tahu.

Waktu itu PKI adalah partai besar di Indonesia. Dia memiliki lembaga-lembaga onderbow, antara lain Lekra—Lembaga Kebudayaan Rakyat.

Tidak ada rasanya seniman rakyat yang tidak dekat dengan Lekra, tak terkecuali dia.

Cerita mengenai Karna menjadi favorit dia, seperti Karna Lahir, Karna Gugat, Karna Tanding, dan lain-lain.

Dia Sukarnois.

Pernah ia mendalang di halaman kantor PKI.

Penonton meluber sampai jalan raya.

Saya ingat dengan jelas, waktu itu saya SD. Saya menyukai pertunjukan wayang dan pertunjukan apa saja. Hari Minggu sering nonton matine show.

Lakon yang dibawakan oleh Ki Gondokemuning malam itu Karna Lahir.

Bagi saya pribadi, membayangkan Dewi Kunti, wanita yang melahirkan Karna, adalah membayangkan wanita yang cantik luar biasa, mampu menggoda dewa.

She must be very pretty.

Dewi Kunti mendapat mantra suci Aji Dipa dari resi Druwara.

Dengan mantra ini ia bisa mendatangkan dewa, meski resi Druwara memperingatkan harus hati-hati.

Jangan sembarangan, jangan digunakan saat surya persis di atas kepala.

Saya bayangkan Dewi Kunti sengaja menggoda para dewa.

Dia bertapa telanjang.

Batara Surya tergoda, selain oleh paras ayunya juga oleh pantatnya.

(Busyet, pikir Ermina mengenai pengarang ini. Seperti tulisannya, ucapannya kadang kelewat terus terang).

“Aku datang memenuhi panggilanmu,” kata Batara Surya yang tiba-tiba muncul di hadapan Dewi Kunti.

“Oh, bagaimana ini, hamba bingung,” kata Dewi Kunti.

“Mengapa bingung?”

“Hamba cuma coba-coba, bisa ketemu dewa beneran atau tidak.”

Batara Surya tersenyum.

Dalam hubungan yang saya bayangkan tidak ragawi melainkan terjadi secara virtual seperti modus hubungan zaman ini, Dewi Kunti hamil.

Secara wadag Dewi Kunti tidak terjamah, tapi secara batin dia telah bersetubuh dengan Batara Surya.

Sang bayi kemudian lahir, tidak melalui bagian paling intim dari tubuhnya, melainkan dari telinga.

Itu sebabnya sang bayi dinamakan Karna, artinya telinga.

(Ermina baru tahu, Karna artinya telinga).

Mengenai kelanjutan nasib Karna tidaklah akan saya perpanjang.

Pendeknya nantinya dia jadi senapati andalan wangsa Kurawa, berperang menghadapi saudaranya sendiri.
“Saya tidak tahu, apakah Ki Gondokemuning pada waktu itu sudah membaca akan adanya bencana dari perpecahan bangsa ini,” kata si pengarang.

Dia melanjutkan, tidak lama kemudian meletus peristiwa 1965.

Tidak perlu saya ceritakan lagi berapa banyak nyawa melayang pada masa itu di negeri ini.

Ratusan ribu. Jutaan.

Ki Gondokemuning adalah salah satunya.

Konon dia dihabisi di hutan karet di utara kota. Kota dulu dikelilingi hutan karet.

Banyak cerita berbau mistik beredar kala itu.

Seluruh penduduk kota menengadah melihat bulan, katanya ada wajah Bung Karno di bulan.

Terus ada lagi kabar, tiap malam di gunung tampak banyak nyala api seperti obor. Katanya itu lampor, arwah orang-orang yang mati penasaran.

Ada yang saya percaya karena waktu itu saya ikut membauinya, malam hari di mana-mana semerbak bau wangi.

Banyak orang membauinya.

Wangi apa?

Kemuning, begitu kata orang.

Saya jadi tahu itulah bau kemuning.

Wanginya lembut.

“Apakah kira-kira ada hubungannya dengan Ki Gondokemuning,” Ermina tak tahan, menyela dengan pertanyaan.

“Mungkin. Sebenarnya ada yang ingin saya katakan pada Ermina.”

“Apa itu?”

Tidak ada jawaban. Jangan-jangan saluran terganggu.

“Hellooo,” Ermina berucap untuk meyakinkan bahwa yang diajaknya bicara bisa mendengar.

“Ya, Ermina. Oh ya, apakah bau kemuning mengganggu Ermina dan suami?”

“Sama sekali tidak. Kami berdua menyukainya,” jawab Ermina. “Apa yang ingin mas katakan pada saya tadi?”

Kembali sepi sejenak.

“Ki Gondokemuning adalah ayah saya.”

Nyesssss, Ermina merasa diguyur seember air es.

“Maaf, saya telah menceritakan hal yang mungkin tidak perlu saya ceritakan.”

Ermina terdiam, tidak bisa segera menanggapi.

“Sudah saya katakan di depan, cerita ini teramat melankolis.”

It’s a sad story. Terimakasih telah bercerita pada saya,” itulah kata-kata yang kemudian meluncur dari bibir Ermina.

“Banyak orang telah kehilangan hubungan dengan alam. Tidak banyak yang bisa membaui wangi kemuning, bau sejarah yang menolak untuk dilupakan. Agaknya alam sendiri yang telah memilih Ermina.”

Ermina termangu-mangu mendengar ucapan tersebut.

“Apakah Ermina tetap tidak akan terganggu dengan wangi kemuning?”

Mengulang yang diucapkan penulis Ermina berucap: “Seperti mas katakan, alam sendiri yang memilih kami.”

Didengarnya tawa lawan bicaranya.

“Terimakasih. Sampaikan salam saya untuk suami,” katanya sembari kemudian mengucapkan good bye dan menutup telepon.

Lama Ermina termenung.

Benar-benar ajaib pengalaman saya di kota ini, katanya dalam hati.

Tidak saya kira ada sejarah sedemikian kelam di balik wangi kemuning, batinnya***

4/7/2021

Leave a Reply