Adakah seorang pengarang bisa mengirimkan wangi kemuning?
Pasangan Ermina-Antonius Dahana mengalaminya.
Nius—begitu panggilan Antonius Dahana—tadinya ragu-ragu menerima ajakan sahabatnya, Chris, untuk pindah ke kota kecil ini, ikut mengurusi usaha sarang burung waletnya. Kedatangannya waktu itu sekadar untuk menyenangkan dan menghormati Chris.
Lain tidak.
Yang tidak ia sangka, usaha Chris sebesar dan seserius ini.
Pabrik terletak di lahan sangat luas di pinggir kota. Bangunan pabrik berada di tengah kebon durian diselang-seling pohon rambutan.
Dibangun pula di antara pohon-pohon rambutan sebuah cafe—Chris menyebutnya kafetaria.
“Biar seperti zaman mahasiswa di kampus,” kata Chris.
Pohon durian dan rambutan tengah berbuah saat Nius dan Ermina datang.
Mereka menikmati durian terenak sepuasnya, serta rambutan berkulit merah-merah tinggal petik dalam jangkauan tangan.
“Saya lebih suka durian daripada apel. Firdaus kalah dibanding tempat ini,” ucap Nius.
Chris dan istrinya, Vei, tertawa terpingkal-pingkal.
Para pekerja membersihkan sarang walet di hall besar, mengenakan masker, penutup kepala, sarung tangan, kaki dibalut plastik untuk menjaga sterilisasi ruangan.
Lingkungan kerja bersih luar biasa sampai kamar mandi dan toiletnya.
“Kayak laboratorium ruang angkasa,” komentar Nius.
Chris membeberkan rencananya, dia segera membuka pabrik serupa di Bali. Ia juga tengah menjajaki kemungkinan mengembangkan pabrik ke negara-negara yang tenaga kerjanya masih murah seperti Kamboja, Laos, atau pun Vietnam.
“Makanya aku butuh kamu. Sementara aku kesana kemari aku membutuhkan tenaga terpercaya untuk mengurusi pabrik di sini. Ayolah pindah ke sini,” kata Chris.
Nius tidak menjawab.
Ia tidak membayangkan diri pindah dari Jakarta. Di Jakarta dia bekerja sebagai desainer grafis, pekerjaan yang disukainya, sesuai jurusan kuliah dulu bersama Chris.
“Kita sama-sama orang desain. Nanti kita bisa sama-sama mengeksplorasi kemungkinan usaha desain di sini,” Chris membujuk. “Dulu saya juga ragu untuk meninggalkan Jakarta. Percayalah, nanti kamu akan tahu sendiri, di kota kecil ini banyak hal tak terduga. Semua yang ajaib ada di sini.”
Tidak henti-henti Chris bicara.
Yang tergerak justru Ermina.
Sejak pertama menginjak tempat ini diam-diam dia merasa jatuh hati.
“A peaceful little town,” ia menggumam. “And very beautiful.”
“Nah makanya, pindah saja ke sini Ermi,” Chris senang.
Mata Ermina berbinar-binar membayangkan hidup di sini.
“Ya ngapain di Jakarta. You’ll find a miracle here,” kata Chris lagi.
“Seneng kok, dulunya saya juga ragu, tapi lama-lama senang,” Vei menambahi. “Ada sekolah internasional. Boy kami sekolahkan di situ,” kata Vei mengenai anak semata wayang mereka yang berusia sekolah dasar
“Saya sih tidak keberatan pindah,” Ermina membuka sikapnya.
.
Akhirnya Nius luluh.
Juli 2019.
Nius-Ermina pindah ke kota kita.
Chris menyediakan rumah tinggal tak jauh dari pabrik.
Rumah itu kecil, dua kamar tidur dengan dapur, pantry, dan paling utama ruang kerja yang banyak bukunya.
Chris mengaku rumah tersebut ia kontrak dari pemilik yang berdomisili di Jakarta, pasangan suami-istri, sang suami berasal dari kota ini.
“Siapa mereka?” tanya Ermina.
Chris menyebut nama.
“Bukankah dia pengarang?” Ermina merasa tak asing dengan nama yang disebut Chris.
“Ya, dia kan berasal dari kota ini,” Chris menerangkan. “Istrinya pindah kerja ke Hongkong, dia ikut. Tidak bisa wira-wiri seperti sebelumnya. Mereka memilih pengontraknya, tampaknya saya dianggap cocok. Kebetulan saya butuh guest house.”
“Apa kerja istrinya?”
“Di balai lelang internasional, Sotheby’s apa Christie’s, saya lupa. Rumah ini didesain oleh arsitek yang berasal dari kota ini juga. Arsitek luar biasa, banyak memperoleh penghargaan. Pernah kerja di Jepang, ikut biro arsitektur terkemuka di dunia, Kengo Kuma,” Chris menerangkan penuh semangat.
Ermina dan Nius jadi mahfum, mengapa rumah begitu artistik.
“Betul, kota ini banyak kejutan,” komentar Ermina.
Dalam kelambatan waktu khas kota kecil mereka jadi sadar, bahwa justru dalam keleletan, waktu tidak hilang—tidak seperti etos kota besar yang segalanya harus bergegas, time is money.
Waktu tidak untuk dikuasai, tapi dihayati.
Mungkin ini yang disebut quality time, begitu Ermina berpikir.
Dia banyak membaca buku yang ada di ruang kerja.
Termasuk buku-buku yang ditulis oleh si pemilik rumah itu.
Dia lahap semuanya.
Ketika Nius sibuk kerja, kadang Ermina jalan-jalan, menyetir mobil mengeksplorasi kota yang kian membuatnya jatuh cinta.
Hemmm, gunung itu rupanya yang ia ceritakan, batin Ermina melihat gunung yang membiru.
Dia menyelipkan judul lagu Still Got the Blues, Ermina ingat setiap kalimat dari buku-buku si penulis.
Malam pergantian tahun 2019/2020 diadakan pesta di rumah Chris.
Tamu terdiri dari ekspatriat yang tinggal di kota itu, beberapa dosen dari perguruan tinggi setempat, dan lain-lain.
Mereka menikmati barbeque sambil minum wine.
Diiringi band yang entah didapat dari mana oleh Chris, Ermina dan Nius berdansa.
Lagu Eric Clapton, Wonderful Tonight.
“Kita seperti di sorga,” bisik Nius di telinga Ermina.
Sampai kemudian masuk bulan ketiga tahun 2020.
Dunia meredup oleh pandemi.
“Agaknya Tuhan telah mempersiapkan kita untuk menikmati quality time di kota yang tenang ini,” kata Ermina yang bersama Nius adalah pemeluk Kristen yang rajin ke gereja.
Istilahnya: domba Allah yang baik.
“Ya, rupanya ini kehendak Tuhan,” Nius menimpali dengan perasaan syukur.
Makin sering berdiam di rumah dan tidak kemana-mana dikarenakan pandemi, kadang mereka mencium bau sangat wangi di rumah.
“Wangi apa ini?” tanya Nius.
“Seperti kemuning,” kata Ermina.
“Tidak ada pohon kemuning di sekitar sini,” ucap Nius.
Mereka mencari-cari sumbernya.
Betul, tidak ada pohon kemuning.
Asalnya dari ruang kerja.
Aneh.
Ketika bau wangi kian sering muncul, mereka bertanya pada kenalan baru, namanya Samuel Indratmo.
Teman gereja. Kata teman-teman yang lain Samuel punya kemampuan melihat sesuatu yang tak kasat mata.
“Bagaimana baunya?” tanya Sam ketika Nius dan Ermina menemuinya.
“Lembut, seperti bau kemuning,” jawab Nius.
“Apakah kalian merasa terganggu?”
“Tidak,” kata Nius.
“Kami cuma penasaran,” Ermina menambahkan.
Sam mengangguk-angguk, kemudian memejamkan mata.
Beberapa saat setelah menarik napas ia membuka kembali matanya.
“Spirit mortal,” ucapnya. “Tidak mengganggu. Malah pertanda baik.”
“Spirit mortal?” Ermina ingin tahu.
“Ya. Jika wanginya tajam seperti wijaya kusuma itu wangi penguasa langit, dunia para dewa. Kalau tidak kuat kita bisa mabuk, timbul halusinasi. Yang kalian tangkap baunya ini spirit manusia. Siapakah pemilik rumah itu?”
Ermina dan Nius berpandang-pandangan.
“Seorang penulis,” Ermina menjawab. “Dia saat ini tinggal di Hongkong.”
Kembali Samuel mengangguk-angguk.
“Dari mana wangi berasal?”
“Ruang kerja.”
“Nah,” Sam menukas. “Betul dugaan saya. Di rumah kalian ada ruang kerja penuh buku.”
Nius dan Ermina kehilangan kata-kata.
Bagaimana orang ini bisa tahu?
Nius berniat menceritakan pengalaman tersebut kepada Chris, tapi keburu Chris menyampaikan berita untuknya.
“Pemilik rumahmu menelepon tadi pagi,” ucap Chris.
“Hah, apa katanya?”
“Cuma say hello. Dia bilang senang rumahnya terawat.”
“Bagaimana dia tahu?” Nius terheran-heran.
“Aku juga tanya seperti itu padanya. Dari mata batin, jawabnya. Tidak tahu dia serius atau main-main. Maklum pengarang. Suka mengarang-ngarang,” kata Chris sambil lalu.
Nius terbengong-bengong.
Inikah bagian dari keajaiban kota ini?
Diceritakannya percakapan dengan Chris pada Ermina.
Mendengar penuturan Nius lama Ermina terdiam, sebelum kemudian berucap: “Mengapa saya bisa lupa bahwa dalam salah satu bukunya ia menyinggung kemuning. Saya menyukai buku-buku dia, mungkin dia merasa.”***
1/9/2021