Skip to main content
Cerita

Ketika Jati Berbunga (11)

By May 26, 2021No Comments

Wine melancarkan orang bicara.

Bara melanjutkan cerita.

“Sepupu mama yang mengangkat saya sebagai anak adalah dosen arsitektur. Itu sebabnya saya kuliah arsitektur. Saya sebenarnya pengin kuliah seni rupa. Cita-cita saya jadi pelukis,” ucap Bara tertawa.

“Pengin jadi pelukis?” Adriana agak heran.

“Ya. Saya pengin jadi seniman. Dunia seni adalah dunia kebebasan,” ia menjawab. “Tidak apa. Di arsitektur ada kegiatan menggambar juga,” lanjutnya.

“Jadi Bara ini arsitek?” tanya Adriana.

“Saya melepas pekerjaan itu sekitar 2 tahun lalu. Saya merasa senang menulis. Melamarlah saya jadi wartawan. Eh, diterima,” katanya tertawa sembari menyebut nama koran nasional.

“Wow,” ucap Adriana. “Ternyata saya sedang berhadapan dengan wartawan.”

“Mungkin saya tidak benar-benar tahu pengin jadi apa. Saya dibayang-bayangi kenyataan, anak PKI tidak boleh jadi apa saja. Tidak bisa jadi pegawai negeri, guru, tentara, polisi, dan lain-lain. Tak terkecuali jadi wartawan.”

“Bukankah arsitek profesi yang independen?”

“Nah itulah. Dalam ukuran kebutuhan hidup saya yang tak seberapa, profesi itu bahkan cukup menyejahterakan. Properti sedang berkembang dan akan terus berkembang.”

“Bara sudah menikah? Punya anak?” Adriana bertanya seperti jaksa.

Yang ditanya mengulum senyum.

“Saya belum nikah. Venus belum memihak saya.”

“Kenapa tiba-tiba terpikir untuk menjadi wartawan?” Adriana mengalihkan pertanyaan.

“Seperti saya katakan tadi, saya selalu tertarik dunia seni. Seni rupa. Menulis. Juga ada hal yang barangkali hanya saya yang paham, dan saya merasa tidak perlu dipahami orang lain. Katakanlah itu semacam altruisme saya. Ingin berbuat sesuatu yang lebih besar untuk masyarakat,” ucapnya disertai tawa ringan, menertawakan diri sendiri.

“Altruisme?” Adriana mengulang kata-kata Bara.

“Ternyata belakangan saya bosan. Jadi wartawan cuma gitu-gitu saja. Saya malah ingin kuliah lagi.”

Bagi Adriana, makhluk di depannya ini sungguh unik.

“Mau kuliah lagi? Kuliah apa?” tanyanya.

“Saya mengajukan proposal bea siswa pada sebuah lembaga yang memberikan bea siswa untuk studi lanjut di Jerman. Proposal saya diterima. Kapan saja ada universitas di Jerman menerima saya sebagai mahasiswa, bea siswa akan keluar. Saya tertarik dunia ide. Itu menurut saya yang mendasari segalanya. Seni, arsitektur, dan lain-lain. Mungkin saya akan mempelajari critical theories. Sekarang saya sedang memperlancar bahasa Jerman, kursus di Goethe Institute.”

Meski tak sepenuhnya paham yang ia katakan, Adriana mengagumi semangat dan gairah anak muda ini.  Terus terang ia merasa selama ini hidupnya ternyata juga begitu-begitu saja.  Ia merasa terjebak dalam rutinitas. Untung ada Jati Inn. Sedikit banyak ia menemukan mainan baru.

“Saya salut dengan semangat Bara,” Adriana berucap.

“Bukan semangat, mungkin semata-mata saya selalu resah,” katanya. “Eh, ngomong-ngomong siapa arsitek yang membangun tempat ini?” Bara mengalihkan pembicaraan.

Adriana menyebut nama.

“Wow…,” ganti Bara yang berseru.

“Kenal?” tanya Adriana.

“Tidak secara pribadi. Dia seorang urban planner. Membangun beberapa kota.”

“Betul.”

“Bagaimana seorang urban planner bisa membangun tempat ini?”

“Saya kenal baik. Dikenalkan seorang teman.  Kemudian jadi teman ngobrol yang menyenangkan. Terus terang Bara mengingatkan saya padanya.”

“Ah saya bukan siapa-siapa. Tidak menyangka ini karya dia.”

“Susah payah membujuknya,” kata Adriana. “Dia mengaku belum pernah membikin rumah. Dia membikin kota. Saya bilang aneh, arsitek belum pernah membikin rumah. Kalau begitu bagaimana bisa mengenal manusia. Dia tertawa cekakakan. Baik, baik, baik, ia berucap berulang-ulang menyatakan kesanggupannya sambil tertawa.”

Bara terpana mendengar cerita Adriana.

“You’re amazing. I’m amazed. Yang belajar arsitektur pun belum tentu paham bahwa arsitektur urusannya membangun manusia, bukan gedung,” Bara berucap sungguh-sungguh dengan tatapan kagum.

Adriana sama sekali tidak mengira bahwa cerita sembarangan tersebut mengundang komentar seperti itu. Seumur hidup ia belum pernah merasa setersanjung ini. Dia menangkap bagaimana mata Bara berkilat menatapnya.

Mereka melanjutkan percakapan ngalor-ngidul.

Mata keduanya menjadi sangat sering bertatapan.

Sebelum akhirnya Bara merasa kepalanya mulai melayang.

Udara juga makin dingin.

Wine ini membikin saya ngantuk,” katanya menunjuk botol yang telah kosong. “Mungkin karena mengemudi Jakarta-Blora tadi.”

Adriana melihat arloji.

“Hah, pukul 02.00 lebih,” ucapnya. “Silakan kalau mau istirahat,” tambahnya seperti merasa bersalah.

“Tidak apa. Saya sangat senang dengan obrolan kita,” Bara berucap.

“Good nite,” kata Adriana bangkit dari duduk.

“Good morning. Ini sudah pagi,” Bara membalas sembari bangkit.

Adriana tersenyum.

Bersambung

Leave a Reply