Skip to main content
Cerita

Ketika Jati Berbunga (12)

By May 27, 2021No Comments

Nuri datang membawa juice pepaya. Ditambah sedikit perasan lemon. Ini gelas kedua bagi Adriana pagi ini.

Pohon-pohon flamboyan di seputar kediamannya berbunga merah-merah.

Pada waktu itu pohon-pohon jati juga tengah berbunga. Bunga pohon jati berwarna kuning pucat mendekati putih, kecil-kecil, mahkota dari batangnya yang besar, keras, lurus.

Adriana bisa mengingat persis pengalaman 20 tahun lalu yang dialaminya. Usai percakapan panjang yang berakhir dini hari ia masuk kamar.

Ia membuka pullovernya. Celana jeansnya. Lalu di depan kaca ia melepas beha. Tinggal celana dalam Victoria’s Secret melekat di tubuh.

Dilepasnya ikatan rambut. Ia menggerakkan kepala, mengibaskan rambutnya yang tebal hitam sepundak. Rambut baru dirapikan di salon beberapa hari lalu.

Dia memperhatikan rambutnya, wajahnya, susunya, puting susunya, perutnya, pinggulnya.

Tidak terlalu buruk untuk usia 40, ucapnya pada diri sendiri.

Kata orang usia 40 adalah puncak kecantikan dan kematangan wanita.

Bagaimana pria-pria lebih muda memandang diriku saat ini, begitu terlintas di pikiran Adriana.

Ah, mengapa aku mendadak berpikir seperti ini?

Adakah karena dia?

Ia ambil kimono. Dikenakannya kimono biru tua. Lalu masuk selimut.

Pada saat bersamaan, di kamar Bara membuka korden. Vitrase ia biarkan menutup kaca.

Bulan bulat dini hari berkilauan di langit.

Bara mematikan lampu. Cahaya bulan menembus menerangi kamar dengan cahaya sendu.

Di seberang tembok ia melihat pucuk-pucuk pohon jati berbunga.

Ia merebahkan diri di kasur. Kini kantuknya malah hilang. Matanya ketap-ketip.

Terbayang wajah Adriana, tatapan matanya, bibirnya, pipinya, rambutnya, jari-jarinya, cutex kukunya, pullover biru yang dikenakannya, dan lain-lain.

Kenapa aku sebegitu nyaman berbincang-bincang dengannya?

Rasanya selama ini aku belum pernah punya perasaan seperti ini.

Huh, sebenarnya beberapa kali ia mengalaminya. Agaknya ia lupa. Kalau terpesona dengan yang baru, orang mudah lupa yang lama.

Dia ingat masa remaja di Surabaya. Bersama teman-teman membentuk band dan ia menjadi vokalis. Ia gemar meniru-niru vokal Syeh Abidin dari band Apotek Kaliasin, dikenal anak-anak muda tanah air dengan sebutan AKA.

Setiap kali manggung tak lupa ia membawakan lagu mereka “Jatuh Cinta”.

            Tak pernah kuduga
            Kala ku jatuh cinta
            Tiada terlintas di hati
            Kalau ku bermain cinta

             Aku tiada mengerti
            Baru kini ku tahu
            Slalu kusebut dia
            Kuharap kedatangannya

Tentu saja tak ketinggalan Uriah Heep. “July Morning”. Setelah intro yang menggelegar ia angkat suara:

            There I was on a July morning
            Looking for love
            With the strength of a new day dawning
            And the beautiful sun

Adriana tak kalah akrab dengan lagu tersebut.

Berkelebat kenangan Jalan Braga.

Ah, mengapa pikiranku jadi kelayapan kemana-mana….

Adriana juga tidak bisa tidur. Resah kehilangan kantuk.

Matahari kemudian terbit. Ia memilih bangkit memulai kegiatan pagi.

Pastilah ia masih tidur nyenyak sepagi ini, pikir Adriana.

Ternyata dugaannya keliru. Dia terkejut mendapati Bara duduk di restoran menghadap kopi.

“Good morning. Kok sudah bangun?” Adriana menyapa.

“Saya tidak bisa tidur.”

Adriana menahan diri, urung berucap: saya juga sulit tidur.

“Pesan apa?” itu yang keluar dari bibirnya.

“Bubur ayam,” kata Bara.

Itu salah satu menu istimewa kami. Eh mau tahu ceritanya?” kata Adriana.

“Apa?” Bara bertanya.

“Tentang bubur ayam itu,” tukas Adriana. “Suatu pagi saya jalan-jalan ke pasar. Di Blora banyak jajanan enak. Di pasar dekat rumah sakit ada seorang ibu yang kelihatannya bukan warga setempat bertanya pada pedagang apakah ada yang jual bubur ayam. Tidak ada, kata yang ditanya. Yang lain menjawab ada tapi jauh sambil menyebut nama tempat.

Saya menyapa ibu tadi. Dia orang Jakarta. Bersama keluarga tengah liburan di Blora. Suami mendadak jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Saat itu suami ingin makan bubur ayam. Bubur ayam ala Jakarta.

Kalau cuma bubur ayam gampang membikinnya. Ia saya tawari ikut saya pulang. Saya suruh cook membikin bubur ayam.

Ketika jadi ia sempat menikmati selain yang dibungkus untuk suami.

Ia bersyukur. Berterimakasih, ingin membayar berapa saja.

Saya bilang tidak usah bayar.

Sejak itulah bubur ayam masuk menu kami. Penggemarnya banyak. Para pejabat datang ke sini hanya untuk makan bubur ayam.”

Lagi-lagi Bara terpesona. Wanita ini memang luar biasa.

“Adriana adalah Ratu Midas. Apa yang disentuh jadi emas,” kata Bara.

Adriana tertawa gelak-gelak. Dia menyukai komentar Bara.

Kian sering dan kian intens mata mereka beradu pandang.

Usai sarapan Bara minta diri, ingin mandi dan berbenah. Dia harus segera menemui sang pendeta.

Adriana kembali ke kompartemennya. Mukanya sumringah.

Tidak lama kemudian dia mendengar suara mesin mobil dihidupkan. Suara mobil berlalu.

“Dia hebat,” pikir Adriana. “Yang pantas dikasihani sejatinya justru negeri ini.”

Bersambung

Leave a Reply