Skip to main content
Cerita

Ketika Jati Berbunga (13)

By May 28, 2021No Comments

 

Kala itu Stella masih kecil. Tidak ada yang tahu hubungan Adriana dengan Bara. Setidaknya demikian menurut Adriana, bahkan sampai saat ini.

Hanya saja acapkali terjadi, sejatinya banyak orang tahu sesuatu tentang diri kita termasuk hubungan kita dengan seseorang. Diri kita satu-satunya yang tidak tahu bahwa seluruh dunia tahu.

Sore Adriana melihat mobil Bara terparkir lagi di halaman. Sangat ingin tahu hasil pertemuan Bara dengan si pendeta, ia ke restoran. Berharap Bara di situ seperti tadi pagi.

Ternyata tidak ada. Mungkin sedang istirahat.

Malam sekitar pukul 19.00 lagi-lagi Adriana pura-pura meninjau restoran. Siapa tahu Bara tengah makan malam.

Tidak tampak juga.

Barangkali tidur, pikir Adriana. Bukankah semalam dia mengaku tidak bisa tidur?

Baru sekitar pukul 22.00 ketika Adriana melintas lobi dilihatnya Bara di halaman hendak keluar meninggalkan penginapan.

Mau apa dia malam-malam begini.

“Mau kemana?” Adriana berseru.

Bara menghentikan langkah, berbalik menghampiri dirinya.

“Bulannya luar biasa. Saya ingin jalan-jalan di hutan,” kata Bara.

“Hah?”

Selama di sini beberapa kali pagi-pagi Adriana jalan-jalan, tapi belum pernah sekali pun malam-malam jalan-jalan di hutan. Terpikir pun tidak.

“Mau ikut?” Bara menawari.

“Mengapa tidak,” sahut Adriana. “Tunggu.”

Ia bergegas ke tempat tinggalnya. Ingin ganti alas kaki.

Tidak lama muncul lagi, mengenakan pullover.

Sepertinya menyukai pullover, batin Bara. Kali ini warnanya hijau pupus. Dan memang tampak cantik sih….

Mereka meninggalkan pondok.

Hidung Bara menangkap aroma lembut parfum mahal.

Begitu pun Adriana. Dia bisa menebak Bara mengenakan cologne. Segar, manly, nonchalant.

Campur aduk antara romantisme, misteri, dan untuk sebagian masyarakat setempat barangkali horror, begitulah hutan jati.

Sangat sering masyarakat Blora mendengar cerita mobil tersesat di hutan. Sopir umumnya jadi linglung. Mengaku tidak mengerti, bagaimana mobilnya tiba-tiba berada di tengah hutan. Padahal akses jalan menuju ke tempat itu pun tidak ada.

Lebih 60 persen tanah di Blora adalah hutan jati. Umur pohon jatinya ada yang di atas 100 tahun.

Selain jati di beberapa tempat terdapat perkebunan tebu.

Adriana takjub luar biasa.

Mengapa baru kali ini aku mengenali mistik keindahan lingkunganku.

Mereka menyusuri jalan tanah, lumayan lebar tapi tampak jarang diinjak orang.

Hutan beku bermandi cahaya keperakan. Serangga dan makhluk hutan merayakan purnama.

Ada berbagai suara serangga: berderit putus-putus, nyaring tiada berkesudahan, ada yang seperti peluit, berciut lalu berhenti.

Bara dan Adriana hanya mengenal bunyi cengkerik dan orong-orong.

Ada suara seperti manusia tersedak.

“Itu suara burung hantu,” kata Bara.

“Pungguk?” tanya Adriana.

“Ya, dia merindu bulan. Matanya besar, wajahnya bloon.”

Wuissss, angin yang ditimbulkan kelepak sayap terasa begitu dekat di atas kepala mereka. Ternyata kelelawar.

“Bikin kaget saja,” ujar Adriana. “Kirain vampire.”

“Isyarat, jangan-jangan Adriana bakal digondol vampire.”

Di tempat agak lapang, langkah mereka dihadang sepasang burung yang sedang bercengkerama di atas tanah. Burung-burung itu tak terbang bahkan ketika mereka mendekat.

“Ini burung tekukur. Mereka biasa mencari makanan di atas tanah dan memang tidak takut dengan orang,” Bara menerangkan.

Adriana berhenti, jongkok, memperhatikan kedua burung.

“Lihat, mereka seperti sepasang kekasih,” ucapnya.

Bara memperhatikan rambut Adriana yang berkilauan.

Tentu wangi, ia menelan ludah.

Ditatapnya pula punggung Adriana yang tengah jongkok, lengan, yang dibalut pullover hujau pupus, semuanya.

Betapa sempurnanya….

Ia ingat sajak Rendra: masuklah ke dalam saku bajuku, daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.

“Mungkin mereka berpikir serupa tentang kita,” kata Bara.

Adriana tersenyum.

Ia asyik memperhatikan dua burung yang tak mempedulikan tabir malam kasmaran.

 

Bersambung

 

 

Leave a Reply