Skip to main content
Cerita

Ketika Jati Berbunga (15)

By May 30, 2021No Comments

 

Pada peristiwa di hutan jati malam itu ada adegan yang dirasa oleh Adriana agak konyol. Dia senyum-senyum sendiri setiap kali mengingatnya.

Ia akui dirinya makin tertarik pada sosok yang baru dikenalnya kurang dari 2 hari itu.

Apakah dia ikut-ikutan terbawa pernyataannya tatkala menentukan pilihan kamar?

Diingatnya ucapannya: saya percaya pada cinta pandangan pertama. Ia menolak melihat kamar yang lain.

Lalu malah bertanya apa zodiac saya.

Saya tak menjawabnya. Khawatir dia menjadi ge-er, gede rasa. Kamar itu Aries Room. Zodiac saya.

Kalau dipikir ulang, sejak semula Bara dirasanya “ajaib”.

“He’s miraculous, though a bit childish.”

Di hutan itu tiba-tiba Bara mengusap pipi Adriana. Belum sempat Adriana sadar musti bersikap seperti apa, Bara menciumnya.

Secara refleks Adriana membuang muka.

Ciuman tipis terkena pipi. Sempat nyerempet bibir.

“Kamu gila,” Adriana gusar.

Bara menyadari kelancangannya.

Adakah kurang pantas?

“Maaf,” katanya.

Boleh jadi bulan di angkasa malah tertawa.

Napas Adriana turun-naik.

“Kamu bahkan tidak tahu status saya,” Adriana menggerundal. “Saya lebih tua darimu, dan ibu seorang anak.”

“Jadi kesalahan saya apa?”

Sungguh Adriana tidak paham, makhluk ini malah bertanya apa kesalahannya.

Adriana diam saja.

“Apakah karena mencium, atau karena tidak tahu status Adriana?” Bara menegaskan pertanyaan.

Sebal, gemas, pengin marah, pengin tertawa, pengin nangis, atau entah apa Adriana tidak tahu apa yang dirasakannya (oh wanita).

“Terus kamu tadi minta maaf untuk apa?” tanyanya sengit.

“Saya minta maaf karena merasa tidak bisa menahan diri.”

“Kamu memandang saya sebagai apa?”

Bara memandang Adriana.

“Wanita yang sejak pertama melihat telah membuat saya jatuh cinta,” Bara berucap tanpa dosa.

Mata Adriana terbeliak. Blushing. Pipinya memerah.

“Jangan sembarangan…,” Adriana berkata.

“Ya sudah kalau tidak mau. Toh saya juga sudah minta maaf.”

“Ya ampun, enteng sekali kamu berkata.”

Sumpah mati Adriana benar-benar tidak tahu harus bersikap macam apa.

“Enak aja kamu minta maaf setelah melakukannya. Kamu gila,” ucapan Adriana tanpa arah.

“Jadi…,” Bara berkata menyatakan tidak tahu harus bagaimana.

Adriana membisu. Dasar brengsek, hatinya uring-uringan.

Sayup-sayup terdengar suara lonceng kecil.

“Suara apa itu?” Adriana berucap.

Bara menajamkan pendengaran.

“Lonceng sapi. Ada gerobak sapi,” kata Bara.

Lama-lama suara kian jelas. Suara kian dekat.

Tidak lama kemudian terlihat pedati.

Keduanya menepi saat gerobak yang ditarik dua ekor sapi lewat. Di leher sapi tergantung lonceng dari kuningan. Bunyinya kleneng-kleneng.

Pedati menyapa mereka dalam bahasa Jawa.

Bara membalas sapaannya.

Dari saat itu Adriana lebih banyak diam.

Mereka berjalan pulang.

Bara menggandeng, memegang jari-jari Adriana.

Adriana tidak menolak. Jari-jarinya membalas genggaman Bara.

Bara memeluk pinggangnya. Adriana menyandarkan kepala ke bahu Bara.

Meruyak harum rambutnya. Serasa kepala yang bersandar di pundak ini milikku.

Bara menatap wajah Adriana.

Langkah terhenti.

Mereka bertatapan.

Bara mendekatkan wajah ke muka Adriana.

Pelan dia mencium bibir Adriana.

Adriana pasrah. Dan membalasnya.

Bara memeluk erat.

Adriana memeluk tak kalah erat. Tangannya mengusap punggung Bara.

Mega berarak.

Angkasa menggigil.

Mereka berciuman seperti layaknya kekasih yang menunda rindu bukan selama 2 hari, tetapi 2 abad.

Oh kekasih, bunga-bunga jati itu, kucurigai sebagai kata-kata hatimu.

Selanjutnya hutan menyaksikan mereka berjalan, berpelukan, berciuman tiada henti-henti.

Nonstop.

Menjelang sampai pondok Adriana melepaskan diri dari pelukan Bara.

“Tidak enak dilihat pegawai,” bisiknya.

Bara melepas pelukan. Padahal masih pengin banget.

Di sudut penginapan, setelah memastikan tidak ada siapa-siapa di sekeliling, kembali Bara mendaratkan ciuman. Ada yang sudah tidak bisa ia tahan lagi.

Sekejap Adriana membalas ciumannya yang panas, sebelum kemudian mendorong Bara untuk tidak meneruskan.

“Jangan…,” bisik Adriana.

“Ada apa?”

“Jangan sekarang. Saya belum siap,” kata Adriana minta pengertian.

Bara mengalah.

Malam itu keduanya kembali ke kamar masing-masing.

Dua-duanya tidak bisa tidur sampai pagi.

Entah apa ini namanya: sama-sama pintar atau sama-sama goblok.

 

Bersambung

Leave a Reply