Skip to main content
Cerita

Ketika Jati Berbunga (16)

By May 31, 2021No Comments

Mempertimbangkan kepantasan tidak mungkin Adriana membicarakan apalagi mengumbar cerita apa yang terjadi pada malam berikutnya, malam ketiga Bara di Jati Inn. Yang tidak dia sangka, semua muncul di novel.

Ya, di novel.

Bara dulu ia ingat memang ingin menulis novel. Pergulatan yang susah, katanya. Dia sampai mencurigai dirinya tidak berbakat.

Waktu telah berlalu cukup lama. Ia sendiri merasa sudah beranjak dari hubungan yang pada saat tersebut selalu ia timbang-timbang: love atau infatuation.

“Kamu terlalu banyak berpikir,” kata Bara memprotes ketika itu.

Adriana meminta waktu dan pengertian, mempertimbangkan terlebih dahulu saat Bara mengajaknya menikah.

Bara tidak berkata lebih lanjut. Tampak sangat kecewa.

Harus bagaimana lagi. Sungguh saya merasa belum siap. Saya butuh waktu, kenang Adriana.

Mungkin itulah kelemahan saya.

Cinta tidak memerlukan kalkulasi seperti usaha mebel kayu jati.

Sejak saat tersebut ia merasa hubungan mereka mengambang.

Ada jalinan yang tidak sepenuhnya tersambung.

Tidak jelas itu apa.

Mungkin kurang ada kepasrahan diri.

Ada resistensi untuk menerima pasangan sebagaimana adanya.

Nobody’s perfect.

Tiba-tiba Bara menyatakan hendak berangkat ke Jerman. Dia diterima di sebuah universitas terkemuka di Frankfurt. Terkenal sebagai sarang Neo-Marxis.

“Berapa lama?” tanya Adriana.

“Dua tahun kalau lancar,” jawab Bara.

Mereka tidur bersama sebelum Bara berangkat, namun dirasakannya suasana tidak lagi seperti sebelum-sebelumnya. Apalagi dibanding pengalaman malam terakhir di Jati Inn, ketika paginya Bara harus balik ke Jakarta karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda.

Berbeda dengan di Jati Inn, malam saat Bara hendak berangkat ke Jerman mereka bercinta, setelah itu diam tidak banyak berkata-kata.

Sama sekali Bara tidak menyinggung bagaimana masa depan hubungan mereka.

Adriana tidak tahu harus berkata apa, kecuali sedih.

Kenapa perjalanan cintaku selalu rontok dalam semusim, Adriana bertanya dalam hati.

Kalau jujur, jangan-jangan aku memberi andil atas bunga yang cuma tumbuh semusim.

Seperti cermin, novel yang ditulis Bara terus terang menghadapkan Adriana pada dirinya sendiri.

Ia menemukan buku tadi karena informasi teman. Teman ini menelepon, bilang tengah membaca novel yang karakternya katanya mirip Adriana.

“Mirip sekali. Saya sampai membaca berkali-kali,” katanya.

Adriana tanya apa judulnya.

Sang teman menyebut judul dan nama pengarang.

“Buku baru. Carilah di toko buku.”

Penasaran, Adriana mampir ke sebuah toko buku besar. Tidak sulit mencari buku yang dimaksud. Buku itu dipajang di rak depan. Agaknya buku laris.

Membaca beberapa lembar halaman depan, meski pengarang bukan nama yang dia kenal, Adriana yakin seribu persen itu Bara. Andai karakter tidak mirip dirinya sekali pun ini jelas ditulis oleh Bara.

Orang mengenal rasa bahasa, dan rasa bahasa dari novel yang dibacanya adalah rasa bahasa Bara.

Adegan ranjang di Jati Inn diceritakan detil.

Devil in the flesh, begitu penulis memberi judul pada bab itu.

Nama tokoh, tempat, disebut berbeda. Yang sama adalah bahwa adegan bercinta terjadi di penginapan milik si perempuan.

Dalam novel, penginapan tidak di hutan jati melainkan di tepi pantai yang digambarkan sangat romantik. Pantai itu terletak di kawasan Candidasa, Bali.

Pada setiap lembar buku Adriana dipaksa berkonfrontasi pada diri sendiri.

Seperti inikah sejatinya diriku?

Bangkit lagi kenangan manis yang pernah ia alami bersamanya.

Waktu itu pagi hari berikutnya Adriana mengajak Bara ke Randublatung.

Adriana menyetir sendiri jeep Wrangler. Ia punya passion terhadap mobil premium. Bara duduk di sebelahnya. Adriana ingin menunjukkan pada Bara bagaimana dia biasa membawa tamu-tamunya, para buyers dari Eropa.

Di Randublatung ada stasiun kereta api tinggalan zaman Belanda. Lokomotif kuno  dioperasikan lagi untuk tujuan wisata, berjalan di tengah hutan jati bolak-balik Randublatung-Cepu.

“Tidak terkira senangnya para tamu saya ajak naik kereta,” cerita Adriana.

Malam hari, usai makan malam mereka berbincang di ruang tamu. Ruangan tidak terang benderang seperti pertama kali Bara melihat tempat ini. Redup, tidak semua lampu dinyalakan.

Di pantry tatkala Adriana menyiapkan minuman, Bara memeluknya dari belakang. Ia mencium tengkuk Adriana. Lalu telinga. Adriana bergidik dan menggeliat hebat. Ia berbalik, memeluk erat membalas ciuman panas Bara.

Itulah prolog yang kemudian menyala menjadi adegan membara di ranjang di kamar Adriana. Dilakukan dengan tanpa sungkan dan basa-basi.

Rangkaian peristiwa 3 malam yang diingat Adriana selamanya.

Pagi hari mereka mandi bersama, saling menggosok badan dan ciuman di bawah siraman shower.

Hal itu tidak terjadi pada malam sebelum Bara berangkat ke Jerman.

Ah, masa lalu….

Kesempatan yang melintas sekali dan tak akan terulang lagi.

Bersambung

Leave a Reply