Skip to main content
Cerita

Ketika Jati Berbunga (17)

By June 1, 2021No Comments

Apa saja yang dipertimbangkan oleh Adriana kala itu?

Dia merasa dirinya belum selesai berbenah, menata hidup yang dia merasa sangat menikmatinya.

Kalau aku menikah, bagaimana dengan semua yang sudah dan sedang kubangun ini? Apakah keberadaan orang lain tidak malah mengganggu?

Saat itu dia tinggal di Pondok Indah. Ia mengontrak rumah mewah sebagai tempat tinggal sementara.

Adriana sedang membangun istana yang dinikmatinya sekarang ini. Kawasan yang masih sering berkabut di pagi hari.

Rumah yang ia impikan, yang dia angankan bakal merefleksikan dirinya.

Not to impress, but to express.

Rumah terdiri dari bangunan induk sebagai tempat tinggal dia, galeri, serta bangunan yang berfungsi sebagai setengah ruang publik termasuk tempat makan menghadap kolam renang. Konsep arsitektur meniru karya arsitek kenamaan Jepang, Tadao Ando. Penyatuan dengan alam.

Kekosongan.

Kosong dalam isi; isi dalam kosong.

Ia mendapatkan gagasan tersebut ketika mengunjungi Pulau Naoshima, Jepang. Di situ terdapat sejumlah bangunan termasuk museum yang dibangun oleh Tadao Ando. Gagasan Zen Buddhisme melekat pada semua karya Ando.

Membaca novel tadi Adriana jadi tahu bagaimana dirinya dan hubungan mereka dipersepsikan oleh Bara.

Ada lirik Breakfast at Tiffany’s dikutip di situ:

            You’ll say, we’ve got nothing in common

            No common ground to start from

            And we’re falling apart

            You’ll say, the world has come between us

            Our lives have come between us

            Still I know you just don’t care

Dalam novelnya Bara menggambarkan hubungan yang bergelora, indah dan manis di permukaan tapi sejatinya rapuh karena tidak ada pondasi bersama.

Pondasi bersama? Bagaimana dengan cinta?

Ah, cinta adalah nyala sesaat. Untuk memeliharanya tidak semudah menikmati nyala tadi agar hangat sepanjang masa. Makin terang nyalanya, jangan-jangan makin cepat padamnya.

Seperti bintang dalam gugus Bimasakti, bintang yang paling terang adalah bintang yang paling pendek umurnya.

Di situ si penulis menyinggung hutan jati.

Berulang-ulang Adriana membaca kalimat: jangan jatuh cinta tatkala jati berbunga. Cinta akan cepat layu.

Oh, ternyata demikian engkau melihatnya, Adriana tersadar.

Dalam novel tersebut digambarkan si tokoh perempuan tengah membangun istana di tanah agak berbukit di tepi pantai. Si tokoh ingin melihat laut di kejauhan, menikmati sunset setiap petang.

Dia ingin memanjakan kesendirian dengan kemewahan hidup keseharian dan kemewahan kenangan—kemewahan ala Breakfast at Tiffany’s.

Siapa bakal mampu menembus dua wilayah itu, novel ini mempertanyakan.

Standar kemewahan hidupmu amat tinggi, tidak banyak orang mampu menggapai dan mengimbanginya.

Ditambah benteng memori, yang mustahil seseorang mampu menginjaknya, karena semua telah jadi bagian masa lalu. Banyak orang terikat, tak bisa melepaskan memori masa lalu. Termasuk trauma kegagalan pernikahan dulu.

Memori sebagai pondasi harus dibangun melalui pengalaman bersama.

Itulah perlunya sering piknik berdua, begitu penulis novel bercanda.

Cinta sebagai kegiatan waktu luang dari kegiatan bekerja bagaimana bisa kokoh.

Itu namanya part time lovers.

Adriana senyum sendiri, ingat Bara sering mengucapkan kata-kata tak terduga yang terdengar lucu di telinga.

Sarkastik dan tragik.

Seseorang yang ingin membangun kehidupan baru harus bersedia melepas semua kehidupan lama, begitu tertulis dalam buku itu.

Membaca novel itu Adriana merasa berhadap-hadapan dengan Bara. Di situ bertaburan pula paradoks-paradoks Zen.

Dia merenung. Pondasi bersama.

Kemungkinan itu yang dialami Adriana dengan perkawinannya.

Diingatnya bagaimana ia dulu ketemu Lambang. Mereka saling tertarik, meski tak segila pengalaman hutan jati.

Tidak lama kemudian mereka menikah.

Usia Adriana saat itu 28 tahun. Belum banyak memikirkan segala sesuatu.

Dengan perkawinannya, dia masuk ke lingkungan baru yang telah dipersiapkan untuknya. Serba sempurna. Ia tinggal menikmati.

Lambang adalah keturunan keluarga kaya raya, pengusaha yang kalau saya sebut namanya, tidak peduli kalangan apa, kalian akan mengenalnya. Sangat terkenal.

Pada mulanya ia sangat menikmati, sebelum lama-lama sering merasa asing.

Kenapa merasa asing?

Sebab dia tidak terlibat dalam proses atas segala yang ia nikmati ini.

Lama-lama entah mengapa, dia merasa seperti tamu di rumah sendiri.

Silakan kalau kalian menganggap saya mengada-ada dan tak kenal bersyukur.

Dalam pesta luar biasa untuk merayakan ulang tahunnya, Adriana lebih merasa seperti anak kecil yang dipestakan. Dia tidak paham apa yang tengah terjadi. Waktu itu ia tengah hamil muda.

Diingatnya kembali tamu-tamu yang hadir. Sebagian tidak dia kenal. Mereka dari lingkungan pergaulan Lambang, tidak semua ia tahu dan kenal.

Ada pula Sandra.

Ah, jangan-jangan saat itu sudah terjalin hubungan istimewa antara suaminya dengan Sandra.

Jangan-jangan di pojok ruangan entah di mana, mereka ciuman.

Bersambung

Leave a Reply