Skip to main content
Cerita

Ketika Jati Berbunga (19)

By June 4, 2021No Comments

Ruang, dalam arti jarak, dan waktu perlahan-lahan meredupkan hubungan mereka. Surat Bara dari Frankfurt tak lagi mengandung spirit atau daya seperti setiap kata muncul darinya dulu. Adriana bisa merasakan perbedaannya.

Dunia nyatanya memang sempit. Tak terelakkan Adriana mendengar hal yang tidak ingin dia dengar.

Seorang teman tanpa ragu memberi tahu—mungkin teman ini tidak tahu hubungan khusus Adriana-Bara selain semata-mata teman baik—bertemu Bara di Jerman. Bara bersama pacarnya. Orang Jerman. Cantik, kata sang teman menjelaskan.

Adriana dengan segala kegalauan sebenarnya sudah mengantisipasi hal seperti ini jauh-jauh hari. Sulit dia membayangkan karakter seperti Bara absen dari hubungan romantik.

Pernah Adriana berseloroh pada Bara, tentang beratnya hubungan  berumah tangga.

“Duniamu adalah dunia wine and roses,” kata Adriana.

Dengan itu Adriana hendak memancing, adakah Bara bakal sanggup menjalani hubungan  perkawinan yang tentu berbeda dibanding pacaran.

Bara tidak menanggapi serius. Dia ketawa-tawa.

“Bukan wine and roses, tapi Guns n Roses. Sweet Child O’ Mine,” Bara menyahut.

Bagaimana aku tidak ragu terhadapmu, batin Adriana.

Berbekal sikap penuh reserve sekalipun, Adriana tidak mengira efek yang terjadi pada dirinya demi mendengar penuturan teman mengenai Bara di Jerman tadi.

Ia menjadi lemas seketika.

“Adriana, are you all right?” tanya sang teman ketika melihat Adriana tampak kosong.

“Ooh, I’m okay,” sahut Adriana buru-buru. “Saya punya darah rendah. Kadang-kadang seketika menjadi pening,” ucapnya berbohong.

Sang teman tertegun, tidak tahu harus berbuat apa.

“Bisakah aku minta rokok,” tiba-tiba Adriana minta dibagi rokok.

Teman ini menyodorkan rokok, dan menyalakannya.

Ia heran. Setahunya Adriana tidak merokok.

Dalam novel yang dibacanya kemudian, Adriana melihat bagaimana lelaki tokoh utama dalam novel diceritakan berpacaran dengan gadis dari Sonthofen. Digambarkannya gadis itu sebagai gadis lugu dari kota kecil.

Si tokoh menyebut, gadis itu, namanya Betinna—entah nama sebenarnya atau tidak—bukanlah benar-benar wanita yang ia cari.

Jangan-jangan hanya untuk mengisi kesepian, tatkala musim gugur tiba, menggantikan musim panas yang ceria.

Musim gugur adalah pemandangan indah bagi turis, tapi keadaan yang menekan bagi penduduk setempat.

“Summer of love” berlalu, diganti masa kembali ke bangku kuliah.

ABBA dengan Fernando diganti dengan Adorno.

Di novel ini si tokoh utama menjelaskan dirinya, sejatinya ia tidak terlalu tertarik pada wanita Caucasian, bule. Ia selalu lebih tertarik pada wanita Oriental.

Adriana manggut-manggut. Membaca novel ini ia merasa bisa mengenali interior penulisnya.

Diingatnya dulu, bintang-bintang kesukaan Bara bukanlah bintang film Barat, tapi Hongkong, seperti Maggie Cheung.

“Ini soal proximity. Asia lebih dekat di hati saya,” Adriana ingat ucapan Bara.

Dikarang-karang dengan plot akrobatik, Adriana tetap bisa melihat kesejajaran cerita di novel dengan perjalanan hidup Bara yang sedikit-sedikit diketahuinya.

Termasuk pencarian si tokoh akan kubur ayahnya.

Manusia tidak bisa dipisahkan dari hubungan tubuh-pikiran-roh, demikian kalimat ia baca.

Jelas itu bahasa Bara.

Setelah menyelesaikan studi, si tokoh tidak kembali ke negerinya.

Di negeri sendiri kadang ia merasa sebagai anak kost.

Begitu di novel, begitu pula kenyataan yang ia dengar tentang Bara. Bara bekerja di sebuah badan internasional, pernah menempati pos di Inggris, Dubai, terakhir Thailand.

Dalam novel tersebut Bangkok diceritakan panjang lebar. Inilah kota yang diimpikan tokoh utama. Dia bisa menghirup kembali kehangatan Asia.

Ia memuji-muji Bangkok. Bangkok adalah kota liberal, tidak sekonservatif Jakarta. Jakarta menurut dia  kota yang tidak bahagia. Kota yang tidak liberal tidak akan menjadi kota yang bahagia, kata si tokoh.

Diceritakan, di Bangkok ia menemukan wanita yang cantiknya dia lukiskan sebagai kecantikan wanita Champa. Jangankan hatinya yang rapuh gampang jatuh cinta, bahkan pada zaman dulu emporium Majapahit terguncang oleh kecantikan wanita Champa.

Waktu berselang cukup lama dengan hubungan istimewa mereka dahulu ketika Adriana membaca buku itu.

Toh ketika membaca sempat terselip cemburu di hati Adriana.

Lagi-lagi Adriana ingin tertawa meninjau perjalanan perasaannya.

Butuh waktu lama bagi seseorang untuk sanggup menerima apa yang terjadi pada diri sendiri, tersenyum, menertawakan diri sendiri.

Kalau puluhan tahun masih memendam dendam pada kekasih lama itu bukan pertanda cinta tapi sakit jiwa.

Sekarang ini Adriana semata-mata merasa beruntung, bahwa pada usia 40 tahun dulu dia pernah mengalami masa amat indah.

Keindahannya seperti lagu yang disukainya, Cherry Red:

            Where are you
            Cherry red, sweeter than the honey comb
            Sweeter still when we’re alone
            Cherry red, cherry red

Bersambung

Leave a Reply