Adriana jadi ingin tahu bagaimana kira-kira Bara membangun hubungan dengan “putri Champa”. Dalam kehidupan nyata, ia dengar akhirnya Bara menikah dengan wanita Thailand.
Ia coba bandingkan dengan cerita di novel.
Pada novel, ia membaca dari pos di Dubai si tokoh dipindah, ditempatkan di Bangkok. Novel ini menggambarkan segala hal secara detil, selain mengutip banyak buku, film, dan lain-lain.
Khas Bara. Ketika bertutur ia kerap memperkaya tuturannya dengan buku yang dibacanya, film yang pernah ditontonnya, atau lagu tertentu yang mengesankannya.
Pendengar mudah terlena.
Meski bukan ahli sastra, Adriana mengakui ini novel pop yang kaya.
Posisi si tokoh cukup penting, representative lembaga internasional untuk Asia. Di Bangkok ia menempati apartemen cukup mewah di daerah Silom.
Ia menjalin hubungan dengan wanita setempat, yang dengan pengecualian kecantikannya, semuanya adalah serba biasa. Sebutlah mutiara dalam kebersahajaan keseharian.
Aku suka mencium wajahnya pagi hari, saat dia masih tertidur—tanpa rias apa pun, ekspresi sejujur-jujurnya manusia, begitu novel bertutur. Pipinya bau bantal.
“Gombal habis,” kata Adriana dalam hati sambil tertawa.
Di novel perempuan ini bernama Kun Kanchana. Setahu Adriana Kun nama umum di Thailand. Semacam panggilan.
Kewajaran hidup terdiri dari segala hal yang biasa-biasa saja. Banyak orang mencari dan berhasil menyelenggarakan hidup secara luar biasa. Kehidupan semacam itu, diibaratkan karya seni adalah karya seni kelas dunia. Picasso, Mondrian, Warhol, dan seterusnya.
Adriana merasa tersindir membaca tulisan tersebut.
Orang seperti itu, begitu novel ini ngalor-ngidul, tanpa sadar bisa kehilangan kewajaran. Dia kehilangan harmoni diri dan keselarasan dengan lingkungan.
Ketika membangun hubungan asmara, ia canggung dan ragu. Mengira hubungan cinta serupa perusahaan. Terpaku pada tujuan, lupa proses. Harus memperhitungkan untung-rugi, apa yang bakal hilang dan apa yang bakal didapat sebagai ganti.
Brengsek, pikir Adriana.
Untung saat itu dia merasa perasaannya telah beranjak dari beban sebelumnya. Ia merasa telah melepas beban kenangan. Yang dulu itu anggap saja the second craziness. Beruntung pernah menikmati.
Setiap orang punya jalan sendiri-sendiri. Aku diuji, masih harus mencari jalanku sendiri, Adriana berkata pada diri sendiri.
Semoga kamu bahagia, begitu malah ucapnya.
Itu pula doa Guru di Taktsang yang diingatnya: semoga semua makhluk berbahagia.
Berkali-kali pada beberapa bagian novel ia menemukan sosok dirinya.
Si penulis menggambarkan kehidupan suatu pasangan, dikutip dari novel berjudul Revolutionary Road.
Dilukiskan di situ pasangan istimewa yang hidup di pinggiran Connecticut, Amerika Serikat. Oleh lingkungan sekeliling, para tetangga di lingkungan elit dan bersahabat Revolutionary Hill, pasangan tersebut dianggap pasangan ideal.
Tak ada yang kurang dari kehidupan mereka. Serba indah dan berkecukupan.
Hemm, ini kehidupanku dulu dengan Lambang di Menteng, batin Adriana.
Ternyata pasangan ini tidak memiliki pondasi yang dibangun bersama. Indah di permukaan, lemah di dalamnya.
Mereka gagal mengkomunikasikan diri masing-masing.
Bahkan ketika yang satu menyebut I love you pada pasangannya, baik yang menyebut maupun yang mendengar tidak mengartikan kata tersebut sebagaimana terucap. Begitu pun ciuman pagi hari tatkala si lelaki meninggalkan rumah untuk ke kantor.
Hambar tanpa lada—black pepper.
Begitulah hubungan mereka berakhir tanpa alasan.
Lagi-lagi penulis menyebut judul lagu.
Kali ini Beneath the Surface dari Incognito.
Adriana tertegun membaca bab itu.
Hubungan yang berakhir tanpa alasan?
Adriana mencoba berpikir.
Jelas alasanku mengakhiri hubungan dengan Lambang. Kalau dengan Bara kuakui memang kurang jelas, selain diriku yang tidak tahu tengah mencari apa.
Aku sibuk dengan proyek hidupku, membangun rumah, mengembangkan perusahaan, membesarkan Stella untuk jadi sesuai yang kuinginkan, dan lain-lain.
Bara lebih banyak belajar dariku, pikir Adriana.
Dalam novel dilukiskan si tokoh lelaki menemukan hubungan yang dirasanya sederhana, tanpa cita-cita besar, kecuali menikmati segala hal sederhana sehari-hari.
Kun Kanchana bekerja di industri kecantikan Sephora.
Adriana tersenyum. Ia kenal brand tersebut. Kalau tidak salah malah masih punya lipstick merek itu.
Diceritakan Kun seperti kelas pekerja pada umumnya. Pergi pulang kantor pada waktu yang tetap, naik BTS.
Menunjukkan sikap hormat dengan menangkupkan tangan dalam posisi namaste saat melewati kuil Buddha Wat That Thong tak jauh dari stasiun BTS.
Sebelum pulang, selalu beli dulu salad mangga, sebutannya sum tum mamuang. Menurut pandangan si tokoh semua orang Thailand makan salad yang rasanya mencerminkan keseimbangan manis dan pedas.
Si tokoh belajar mengikuti kebiasaan wanita yang kemudian dinikahinya, tanpa banyak menimbang-nimbang.
“Kalau banyak menimbang malah bakal gak jadi,” kata si tokoh.
Bukan soal menimbang, kata novel ini. Melainkan kesediaan belajar menyesuaikan diri dalam hidup bersama—suatu proses yang disadarinya bakal berlangsung terus-menerus sampai akhir hidup.
Dalam bayangan Adriana, kurang lebih seperti itulah kehidupan Bara sekarang.
Bersambung