Skip to main content
Cerita

Ketika Jati Berbunga (21)

By June 7, 2021No Comments

Melalui novel yang dibacanya Adriana mengkontemplasikan hidupnya.

Kontemplasi-meditasi-mendengar (contemplating-meditating-hearing).

Dia ingat perjalanannya mengikuti berbagai kegiatan berbau spiritualistik, dari Ubud, Paris, sampai pernah di sebuah kota kecil di Swiss di kaki pegunungan Alpen.

Terakhir ke Bhutan. Guru di kuil di Taktsang menekankan tiga hal tadi—sesuatu yang Adriana merasa telah mempraktikkan dan mengakrabinya.

Betulkah?

Tiba-tiba Adriana meninjau lebih dalam diri sendiri, kenapa tadi pikiran kemana-mana, dari Menteng, Pondok Indah, sampai Jati Inn di Blora?

Ia tersadar, ini semua tidak lain karena Stella.

Kontemplasi, meditasi, mendengar.

Apakah selain dua hal yang pertama yang aku lakukan dengan bersemangat, aku melakukan hal ketiga yang amat sederhana, yakni mendengar?

Apakah selama ini aku cukup mendengarkan Stella?

Perlahan-lahan dia menyadari bahwa dia sebenarnya tidak pernah mendengarkan Stella.

Diingatnya, entah berapa kali tatkala adu mulut dengan Stella, anaknya semata wayang ini berucap: you just hear yourself. Never hear anybody else, let alone me.

Dalam diamnya kali ini terasa ada yang menampar dirinya.

Jangan-jangan benar yang diucapkan Stella.

Agak enggan Adriana mengakuinya.

Apa salahku?

Seluruh hidupku kukorbankan untuknya. Kujaga emosiku kala itu, agar janin tidak terpengaruh situasi batinku saat itu.

Mungkin tetap ada yang bocor.

Stella menunjukkan jiwa memberontak sedari kecil.

Pernah saya menyinggung soal ini pada Bara. Saya ingat komentar dia. Sambil tersenyum ia berucap: Rebel Without a Cause.

Masih sekitar umur 5 tahun, ketika bisa memakai kaos sendiri, Stella selalu mengenakan kaos secara terbalik.

Saya mengajarinya perlahan, membetulkan kaosnya.

Tidak lama kemudian kaos sudah terbalik lagi. Dia mencopot dam membaliknya.

Symptom perlawanan,” kata Bara.

Sejenak terperangah Adriana mendengar komentar Bara waktu itu.

Betulkah? Adriana mulai berpikir sungguh-sungguh, tidak menganggapnya lucu-lucuan.

“Masih kecil lucu, tapi makin besar perlawanannya bisa meningkat,” kata Bara.

“Kamu seperti psikolog. Kamu belajar psikologi?” tanya Adriana.

“Tidak perlu belajar psikologi. Psikologi ilmu terapan. Yang mempelajari filsafat akan paham dengan sendirinya. Dulu di Jawa ada tokoh namanya Ki Ageng Suryomentaram. Ia mengenalkan psikoterapi kawruh jiwa.”

Kenyataannya tidak terlalu keliru apa yang pernah diucapkan Bara.

Kamar pernah terbakar; di sekolah mendominasi teman-temannya; jadi pimpinan geng; saya pernah ditagih oleh kantin sekolah untuk membayar utang Stella; dan lain-lain.

Untuk yang terakhir tadi Adriana sangat malu. Bayangkan, rasanya tidak pernah ia memberi uang tidak cukup. Bahkan berlebihan.

Hadiah ulang tahun ke-18 ketika Stella sudah memiliki SIM adalah BMW dua pintu.

Bagaimana dulu utang di kantin sekolah? Dalam jumlah yang sumpah mati tak terkira kecilnya.

Berpacaran semasa remaja, saat bangku kelas menengah, tentu wajar. Adriana menjalani hal serupa (dia merahasiakan umur berapa keperawanannya hilang. Pokoknya di bangku kelas menengah).

Problemnya bagi Adriana, Stella selalu pacaran dengan cowok yang dirasanya tidak “berkelas”. Ada salah satu staf rumah tangganya melapor, mengantar Stella ketemu cowok, si cowok nunggu di pinggir jalan. Jongkok.

Hah, pacaran macam apa ini, gerutu Adriana. Waktu itu Stella masih SMP.

Padahal tak kurang banyak teman Adriana dari kalangan berada punya anak lelaki. Entah serius atau bercanda, banyak di antara mereka menyatakan ingin besanan dengan dirinya.

Pusing Adriana kalau mengingat dengan siapa saja putrinya berhubungan.

Pernah juga belajar pole dance. Lalu mengunggah videonya menari di tiang dengan pakaian super sexy, lengkap dengan killer heel.

Entah apa sebenarnya mau dia.

Kini Adriana harus menjawab lamaran dari lelaki pilihan Stella, yang dari segi usia lebih pantas jadi ayahnya.

Adriana merasa di persimpangan jalan.

Bersambung

Leave a Reply