Anak adalah kehidupan
Mereka sekadar lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu
Walau pun bersamamu tapi bukan milikmu
Curahkan kasih sayang tapi bukan memaksakan pikiranmu
Karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri
…
Ah, puisi Kahlil Gibran “Anakmu Bukanlah Anakmu” ini klise. Banyak orang fasih mengucapkan tapi tidak ada yang benar-benar mampu menjalankan amanatnya.
Yang membikin Adriana tersentak justru ungkapan dalam novel yang dibacanya.
Tokoh utama dengan “putri Champa” Kun Kanchana dilukiskan tidak punya anak. Tidak masalah, katanya. Sang tokoh malah menyebut anak adalah proyek gagal hampir semua orangtua.
Anak adalah proyek gagal?
Adriana mengernyitkan alis.
Dibacanya lebih lanjut: tidak ada satu pun orangtua berhasil menjadikan anak persis seperti mereka inginkan. Sebaliknya jika orangtua sukses 1.000 persen mencetak anak seperti mereka maui, mereka menciptakan robot, bukan manusia.
Ia menandai kalimat tadi.
Mengapa selama ini aku sebegitu berkukuh ingin menjadikan Stella seperti kuinginkan, Adriana perlahan-lahan bangkit mengakui salah kaprah keinginan terpendamnya.
Menentukan dia harus sekolah di sini tidak di situ, les ini les itu termasuk les piano biar dia tidak seperti diriku yang tidak becus main piano, dan lain-lain yang barangkali membuat puyeng Stella.
Mungkin dia merasa diperlakukan sebagai robot boneka mainan.
Akhirnya dia tidak mempertontonkan keanggunan cewek main piano membawakan nomor-nomor klasik seperti saya bayangkan, malah mempertontonkan keliaran atraksi pole dance.
Rasanya saya hendak pingsan, dia menyebar video, pakaian hanya cawat dan beha, alas kaki killer heel 30 cm, menari-nari berputar di tiang besi.
Selain sesak napas melihat penampilannya yang menurut ukuran saya kurang pantas, saya juga waswas takut dia terlepas dari tiang besi dan cedera.
Mengapa apa yang dia lakukan selalu bertentangan dengan apa yang aku inginkan?
Apa yang salah dengan dirinya?
Apa yang salah dengan diriku?
Oh, beratnya jadi ibu.
Masih duduk di kursi makan memandangi lapangan golf dengan cahaya matahari yang mulai menguapkan embun di rumput, Adriana ingat sejumlah kejadian.
Saat Stella menjelang genap 17 tahun, Adriana membayangkan pesta besar-besaran.
Sweet seventeenth. Tidakkah ini pantas dirayakan secara istimewa?
Pesta hendak ia selenggarakan di rumah. Bikin tenda. Ada panggung untuk live music.
Kalau perlu akan dia datangkan The Rollies.
Gone are the Songs of Yesterday.
Ia beri tahu teman-temannya, ibu-ibu muda, tentang rencana pesta tersebut.
Beberapa sudah mulai latihan nyanyi untuk tampil nanti. Ada pula yang mempersiapkan diri dengan latihan dansa.
Pada kenyataannya ternyata Stella menolak pesta. Dia hanya ingin makan di restoran bersama teman-teman dekat, tak lebih dari 10 orang.
“Mama gak usah ikut,” kata Stella.
Adriana gigit jari.
Teman-teman tertawa mendengar cerita Adriana bahwa pesta batal.
“I prefer serenity,” Adriana menceritakan ucapan Stella.
“Kayaknya yang ngebet pesta maknya, bukan anaknya,” komentar seorang teman kepada Adriana. “Mengapa lu gak bikin pesta sendiri untuk diri sendiri saja….”
“Mungkin banyak anak sekarang malu sama kelakuan mak-mak kayak kita,” teman yang lain menimpali sambil tertawa-tawa.
Setahun kemudian, saat Stella ulang tahun ke-18, Adriana memberi hadiah istimewa BMW dua pintu. Sejatinya itu juga keinginan Adriana sendiri. Dia ingin bikin kejutan untuk Stella.
Kalau dipikir-pikir, belum tentu Stella membutuhkannya.
Nyatanya mobil lebih banyak menganggrok di rumah karena Stella sekolah di Australia.
Stella memilih kebebasan daripada BMW dan Dior.
Destinasi traveling-nya waktu itu Cuba.
Stella ingin menginjak negeri Fidel Castro, sahabat Che Guevara.
Mengapa tidak ke LA saja seperti cita-cita banyak orang, pikir Adriana. Enak, bisa belanja-belanja di Rodeo Drive.
Punya satu anak saja sebegini aneh.
Jangan tawari atau bujuk Stella untuk menggunakan tas bermerek seperti ditenteng Adriana. Stella akan menolak sembari tertawa: seperti mak-mak. Gak ada temen gue bawa Hermes.
Film Sex and the City yang disukai Adriana dipandangnya sebagai film tolol.
Stella tidak memakai alas kaki Christian Louboutin tetapi sneakers.
Bagi Stella sutradara yang pantas diperhitungkan pada waktu itu adalah Quentin Tarantino.
Bacaannya buku The God of Small Things karya Arundhati Roy.
Belakangan lagu yang didengarkan Stella bukan Shakira atau Christina Aguilera tapi The Bee Gees.
When I was small and Christmas trees were tall
We used to love while others used to play
Don’t ask me why but time has passed us by
Someone else moved in from far away
Apa yang tengah terjadi padanya?
Banyak orangtua tak tahu ke pusaran mana sebenarnya anaknya bergerak.
Bersambung