Skip to main content
Cerita

Ketika Jati Berbunga (25-Tamat)

By June 11, 20212 Comments

Dua bulan kemudian.

Adriana menerima ibunda Najamudin, Cut Nyak Mala, yang tiba dari Aceh.

Usia 85 tahun, sehat, rapi, kulitnya terang, hidung runcing mancung, dari pertama Adriana terkesan olehnya. Dia didampingi adik perempuan Naja, namanya Fatma. Sangat cantik.

Cut Nyak bicara cepat, dengan logat Aceh. Adriana harus sangat seksama mendengarnya.

Sudah jelas maksudnya: melamar Stella untuk pendamping Naja.

“Biarlah mereka menjalani hidupnya. Dosa kalau Naja tidak bisa membahagiakan Stella,” kata Cut Nyak, membikin Adriana tersenyum dalam hati.

Katanya dia merindu anak perempuan lagi, dan itulah Stella.

“Dia akan jadi inong Aceh,” ucapnya.

Ada kejutan bagi Adriana.

Ketika pamitan, Cut Nyak mengangsurkan kantong beludru warna biru ke tangannya. Agak berat.

“Ini oleh-oleh untuk adik dari Cut Nyak,” katanya. Dia menyebut Adriana ‘adik’.

Kaget ketika kemudian Adriana membukanya. Isinya sejumlah perhiasan dari emas kuno.

Pastilah ini benda berharga keluarga, Adriana terkesima.

Ingat catatan sejarah, dulu rakyat Aceh melepas harta berharganya termasuk perhiasan emas untuk membeli pesawat pertama bagi Indonesia.

Itu belum seberapa.

Kejutan paling besar diterima dari Stella dan Naja.

Naja memberi tahu Adriana bahwa dia akan segera resign dari tempat kerja sekarang. Ia memutuskan menerima tawaran menjadi general manager sebuah hotel butik di Luang Prabang, Laos, namanya The Khmer.

Ini hotel baru. Turisme Laos baru mulai berkembang. Apa yang dilakukannya semacam usaha rintisan.

Tawaran sudah cukup lama, dia perlu waktu untuk mempertimbangkan baik-baik. Katanya ia mengajak Stella ke Luang Prabang, agar ikut mempertimbangkan.

Adriana tak pernah mendengar soal itu. Stella tidak pernah cerita.

“A humble beautiful town,” Stella nimbrung bicara.

Sejak menginjakkan kaki di Luang Prabang katanya Stella langsung jatuh cinta. Jatuh cinta pada pandangan pertama.

Adriana terkesiap, ingat pernah ada seseorang mengucapkan kata serupa.

Luang Prabang dilukiskan sebagai kota kecil sederhana dengan bangunan-bangunan lama di bawah perlindungan UNESCO.

Tidak ada kendaraan bermotor di dalam kota. Orang jalan kaki di antara toko, restoran, kafe, umumnya bergaya Perancis.

“Dan bendera merah bersimbol palu arit,” kata Stella. “Socialism is great,” tambahnya dalam nada penuh pemujaan.

Laos pernah mengalami kolonialisasi Perancis. Tinggalannya sekarang antara lain roti-roti Perancis yang dijajakan di kaki lima.

Adriana tertegun-tegun mendengar cerita mereka berdua.

Petang hari kota menjadi syahdu. Lampu jalanan tidak terlalu terang. Kafe dan restoran tidak boleh menyetel musik keras-keras. Penduduk setempat umumnya juga bicara pelan.

“Soft spoken people,” ucap Stella.

Faktor Stella ini yang kata Naja membuat dia mantap memutuskan menerima pekerjaan dan akan pindah ke Luang Prabang.

Dia ingin memulai hidup yang benar-benar baru dengan Stella.

Memulai yang baru, meninggalkan yang lama.

Stella katanya paling suka jalan-jalan ke pasar.

Adriana tahu, satu kesukaan Stella yang justru kurang disadari bahkan oleh si pelaku adalah masak.

Bukan fotografi, film, fashion, atau apa saja yang dia pernah mengambil pendidikan maupun kursus.

Petang hari jalan di tengah kota ditutup dijadikan pasar rakyat yang menjual segala rupa termasuk berbagai cenderamata untuk turis.

Sebelum matahari terbit, Stella ikut bersimpuh di pinggir jalan, berpartisipasi dalam upacara alms giving, memberi persembahan kepada para biksu berupa makanan untuk hari itu.

Sore dia menikmati matahari tenggelam di Sungai Mekong.

“Airportnya sederhana, seperti Blang Bintang, airport Banda Aceh zaman dulu,” cerita Naja. “Suatu saat ibu harus ke Luang Prabang.”

“We just want to lead a simple life,” Stella menimpali.

Adriana membayangkan betapa romantik kota yang mereka ceritakan tersebut. Juga, betapa romantik mereka berdua menghayatinya.

Ia teringat episode hutan jatinya. Romantisme yang pernah melintas dalam hidupnya.

Bedanya, dia waktu itu tidak menuruti kata hati mengikuti panggilan cinta.

Apakah pengalaman tadi berbuah penyesalan?

Tidak lagi sekarang.

Apalagi kini ia melihat bagaimana putrinya, Stella, dengan mata berbinar-binar siap menyongsong masa depannya.

Setiap orang berhak membuat sejarahnya sendiri. Bukan masa depan yang sama-sama tidak kita ketahui, melainkan kegairahan untuk menjalani masa kini, saat ini.

Stella telah menentukan pilihannya.

Hari pernikahan telah ditetapkan.

Mata Adriana berkaca-kaca.

Dia mengucap doa untuk mereka berdua.

Diiringi lagu “Smoke Gets in Your Eyes” cerita sampai di sini.

 

TAMAT

Join the discussion 2 Comments

Leave a Reply