Ah, sebenarnya tak perlu Elina atau siapa saja mengungkapkan sesuatu. Percayalah. Radar perasaan wanita mampu menangkap segala-galanya.
Tanda-tanda sehari-hari ditangkap Adriana. Nyanyian burung kecil sampai telinga.
Entah berkah atau kutukan, kepekaan seperti itu selain memperkuat juga membuat hati mengeras.
Ketika Lambang mengakui hubungan spesialnya dengan Sandra, Adriana tidak lagi membuka kesempatan untuk bicara mengenai tingkat dan intensitas hubungan mereka, kemungkinan terbaik yang bisa dicari mengingat dirinya tengah hamil, dan tetek bengek lain.
Saya tak membutuhkan omong kosong, ucapnya dalam hati.
Hatinya telah patah. Sikapnya tegar dan dingin laksana gunung es.
“Ceraikan saya,” kata Adriana pada Lambang.
Sambar geledek.
Lambang kaget luar biasa. Ia kehilangan kata.
“Apakah kita tidak bisa bicara?” tanyanya.
“Kalau aku jadi kamu aku akan memilih tidak usah ada pembicaraan. Lebih baik engkau angkat kaki dari rumah ini. Kamu harus keluar sebagai konsekuensi kesenangan yang engkau cari di luar,” ucap Adriana menohok.
Lambang bak anak ayam menghadapi induk elang.
“Bagaimana dengan anak kita?” ucapnya lirih menatap perut Adriana yang membesar.
“Janin di dalam perutku bukan untuk menyandera dirimu. Aku tidak sehina kamu kira,” jawab Adriana.
Lemas Lambang.
Tidak jelas dia merasa sial atau beruntung. Apakah ia menyesal, bahwa dengan Adriana sejatinya ia telah menemukan perempuan yang tepat, atau sebaliknya: telah salah memilih pasangan. Andai berlanjut, bisa jadi dia semata-mata berada di ketiak Adriana seumur hidup.
Dari sejak itu dan sampai selama-lamanya, begitu tekad Adriana, episode Lambang Adilukito telah berakhir.
Urusan dia kini adalah janin dalam perutnya yang kemudian lahir, cantik tak kurang tak lebih dari dirinya, namanya Stella Maharani.
“Aku sanggup membesarkanmu my love,” kata Adriana penuh keteguhan.
Ibarat mesin, tekadnya dilengkapi turbo berupa bara sakit hati.
Bagusnya, kobaran niat tersebut tidak menenggelamkan akal sehat.
Dia tahu apa yang harus ia perbuat. Saat itu passion dia adalah benda antik dan barang seni.
Ia telah cukup mengenal dunia furnitur. Dicarinya perajin untuk mewujudkan gagasannya, membikin furnitur baru dengan cita rasa lama, kuno, antik.
Berbagai eksperimen teknis dilakukan. Ia mencontoh model-model furnitur khususnya Eropa. Kecuali menterjemahkan desain, perajin ia minta menggarap tekstur agar kelihatan kuno dan rustic.
A lady of detail. Ia mengajari perajin bagaimana menciptakan retakan-retakan kayu yang sekilas tampak tak tersengaja. Atau kelupasan-kelupasan warna yang memberi kesan lama.
Retakan, cacat, harus memiliki irama. Jangan seperti mesin. Gunakan hati, begitu cara dia memerintah. Jadikan retakan, cacat, luka, menjadi keindahan.
Siapa bisa menandingi produk yang mempribadi seperti itu?
Melalui jaringan pertemanan terutama pada tingkat atas, perlahan-lahan produknya dikenal orang.
Perlahan-lahan pula, nama Adriana diasosiasikan dengan art and curio—seni dan barang antik.
Dari jaringan pertemanan sekaligus bantuan teman ekspatriat, Adriana melakukan ekspor produk ke beberapa negara Eropa.
Dia mengenang, bagaimana masa itu ia berbisnis sembari menenteng Stella kecil kemana-mana.
Kalau dia tidak menduga bahwa perkawinannya bisa melempem dalam sesaat, kini ia tidak mengira bahwa bisnisnya bisa meroket dalam semalam.
Paruh kedua tahun 1990an Indonesia dilanda krisis ekonomi. Rupiah melemah. Nilai tukar dollar AS menguat berkali-kali lipat, dari sekitar Rp 2.300 menjadi lebih dari Rp 16.000.
Pendapatan ekspor Adriana dalam dollar berlipat-lipat luar biasa ketika dirupiahkan.
Saat sebagian besar orang terpuruk, Adriana memasuki masa gilang-gemilang, cemerlang seperti Champs-Elysees.
Membangun kerajaan bisnis agaknya lebih gampang dibanding membangun mahligai rumah tangga, pikir Adriana.
Ia membatin, cari uang itu sebenarnya gampangnya setengah mati.
Bersambung
Radar perasaan wanita mampu menangkap segala-galanya….bahaya